MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Kasus bunuh diri di Malang Raya, menjadi sorotan. Di Kabupaten Malang, angka kasus bunuh diri terbilang cukup tinggi. Sejak Januari 2021 hingga Mei 2023, Satreskrim Polres Malang mencatat ada 43 kasus bunuh diri. Rata-rata dipicu karena sakit menahun, disusul faktor depresi.
Kasatreskrim Polres Malang, Iptu Wahyu Rizky Saputro memaparkan, kasus bunuh diri di tahun 2022 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2021. Di tahun 2021, kasus bunuh diri terjadi sebanyak 16 kali, sedangkan tahun 2022 sebanyak 22 kali. “Sedangkan tahun 2023 sampai bulan Mei ada lima kasus,” ungkapnya.
Dari total 43 kasus sejak Januari 2021 hingga Mei 2023, faktor pemicunya didominasi oleh stres akibat sakit menahun, yakni 23 kasus. Disusul depresi dengan 13 kasus, sisanya faktor yamg tidak diketahui. Sedangkan dari segi usia, paruh baya yang mendominasi dengan 14 kasus di usia korban 41 hingga 50 tahun.
Kasi Humas Polres Malang, Iptu Ahmad Taufik menuturkan, pihaknya telah berupaya melakukan upaya menekan kasus bunuh diri di wilayah hukum Polres Malang. Salah satunya dengan penyuluhan-penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan Satbinmas. Peristiwa bunuh diri menjadi perkara yang dipengaruhi banyak faktor.
Menurut Psikolog Universitas Islam Negeri Malang, Fuji Astutik, M.Psi, faktor bunuh diri bisa jadi bukan hanya satu faktor. “Misalnya faktor keterampilan korban dalam penyelesaian masalah yang belum berkembang dengan optimal. Bisa juga faktor yang disebabkan karena ada traumatik, atau pengaruh lain seperti imbas karena ada perundungan,” ujarnya.
“Terlebih bila merasa masalahnya terlalu berat dan tidak mampu selesai. Lingkungan juga dirasanya sudah tidak mampu lagi untuk membantu dia,” papar Fuji, sapaannya. Mengenai tanda-tanda khusus, Fuji menuturkan bahwa setiap individu memiliki cara ekspresi sendiri. Kebanyakan, berlainan dengan kebiasaan.
“Menunjukkan putus asa, juga menjadi salah satu yang harus segera dilakukan pendampingan dari keluarga. Mereka yang depresi, bukan lagi hanya butuh support, tapi juga butuh terapi. Jadi preventifnya memang membantu dia untuk menyelesaikan masalahnya. Caranya menjalin komunikasi dengan teman,” katanya.
Menurut dia, perlu adanya kerjasama semua pihak baik psikolog, psikiater, tenaga pendidik, dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. “Proses intervensi itu tidak bisa sekali. Apalagi kalau dengan permasalahan yang berat. Konsultasi berkala dan diidentifikasi lagi. Semuanya harus berubah kalau ingin mendapatkan hasil yang baik,” urai Fuji.
“Harus didorong pola pikirnya bahwa masalah bukan diselesaikan dengan cara yang seperti itu. Membangkitkan kesadaran berubah dengan pendampingan dan dibangun lingkungannya. Jadi harus ada kesadaran dan kehendak untuk berubah. Lagi-lagi kesadaran dan kehendak itu juga bisa dibangun oleh lingkungan,” imbuhnya. (tyo/mar)