Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan ramadan merupakan ibadah yang cukup mendalam bagi seorang muslim yang menjalaninya. Sehingga tidak salah jika puasa dikatakan sebagai salah satu pembentuk jiwa keagamaan dan menjadi sarana tarbiyah seumur hidup. Puasa merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan yang maha hadir (omnipresent) sehingga ini merupakan ibadah yang sifatnya personal.
Puasa bertujuan mendidik agar manusia mendalami keinsafan akan Tuhan yang selalu menyertai dan mengawal kita setiap saat dan tempat. Dengan bekal keinsyafan inilah hendaknya kita menjalani hidup dengan penuh kesungguhan, tanggung jawab dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan kita pertanggugjawabkan secara pribadi.
Hal ini linier dengan berbagai penegasan dalam Islam bahwa manusia dihargai dalam pandangan Tuhan menurut perbuatannya berdasarkan tingkat ketakwaannya. Hal ini menunjukkan bahwa puasa memberi penegasan tentang ajaran terhadap orientasi prestasi dengan tegas, dalam pengertian pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan pada apa yang dapat diperbuat dan dicapai oleh seseorang.
Sebaliknya ajaran Islam melawan orientasi prestise, atau cara pandang menghargai seseorang atas dasar pertimbangan segi-sesi askriptif (keturunan, daerah asal, warna kulit, bahasa dan berbagai atribut bawaan lahir). Orientasi prestasi berdasarkan akhlak ini kemudian dikukuhkan dengan ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi di kemudian hari.
Lebih jauh kita tentu ingat bahwa manusia dianugerahi 4 nafsu; nafsu kebaikan, nafsu kesenangan, nafsu amarah, nafsu ketamakan atau serakah sehingga apapun yang dilakukan manusia semua didasari oleh nafsu. Jika kita berpikir lebih mendalam lagi “kebaikan pun didasarkan oleh nafsu.” Kita sering kali berbuat baik, namun dorongannya adalah nafsu entah itu nafsu ingin dipuji, nafsu ingin pahala berlimpah, bahkan nafsu ingin surga.
Jika kita mengingat sebuah segmen dalam cerita pewayangan, ada dimana saat Kresna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh 4 kuda dan “disupiri” oleh Setiyaki. Dalam penerjemahannya Kresna di sini merupakan perlambangan dari ruh, Setiyaki merupakan analogi dari jiwa, sedangkan kereta Kencana merupakan perwujudan dari Raga, dan 4 kuda merupakan perlambang dari nafsu-nafsu tadi (yang dalam terminologi Islam disebutkan nafsu mutmainah, lawwamah, amarah dan sufiyah).
Secara lahiriyah pun, puasa yang dijalani secara syar’i dengan melatih diri untuk menahan sesuatu yang disukai dalam rentang waktu tertentu (al-imsak). Yang diawali dari menahan diri untuk makan, minum serta berhubungan suami-istri. Tujuannya adalah bagaimana manusia harus sehat dulu jasmaninya sebelum masuk ke dalam aspek lain. Sebagaimana Imam Al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulumiddin mengungkapkan bahwa manfaat saat perut dalam kondisi lapar yang dalam hal ini kita maknai puasa secara jasmani bisa menaklukkan hawa nafsu yang berpotensi untuk menjerumuskan dalam perbuatan maksiat. Menurut Al-Ghazali, sumber utama perbuatan maksiat adalah hawa nafsu dalam diri manusia. Sementara ‘bahan bakar’ hawa nafsu itu sendiri adalah makanan.
Dengan mengurangi mengonsumsi makanan, maka hawa nafsu akan meredup dan seseorang mampu mengendalikan dirinya. Jika seseorang mampu mengendalikan diri, maka ia mampu arahkan tubuhnya untuk melakukan kebaikan dan menghindari perbuatan maksiat.
Di sisi lain salah satu faedah berpuasa adalah bisa mengangkat derajat manusia ke level yang lebih tinggi, karena ia mampu membimbingkeinginan yang ada sehingga menampilkan akhlak yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Kita tentu paham bahwa nafsu merupakan fitrah manusia, tetapi kita masih diberikan kesempatan melatih kemampuan untuk mengendalikannya, di antaranya dengan berpuasa.
Proses ini terus berlanjut sampai manusia merasa masih banyak hal yang harus diperbaiki dan harus terus bermetamorfosa. Sebuah proses untuk mengomposisi setiap elemen kehidupan dan aspek ke-Ilahi-an sehingga mampu membuat habits/ kebiasaan baru yang merupakan perbaikan dari mekanisme sebelumnya.
Hal yang paling sederhana kita lakukan sehari-hari adalah melakukan sesuatu yang mampu meningkatkan kualitas hidup kita. Dalam hal ini tentunya akan sia-sia jika berpuasa dengan berbagai konsekuensi lapar dan menahan dari sesuatu yang halal di siang hari jika tidak ada perubahan dalam tingkah laku, akal budi, sifat-sifat kita.
Harus diakui jika kita belum mampu memaknai puasa di bulan Ramadan sebagai sebuah proses tarbiyah berarti telah kehilangan satu elemen dalam hidupnya yang cukup substansial. Paling tidak telah kehilangan kesempatan dan kesadaran secara personal untuk memperbaiki diri sebagai manusia menuju Rabb-nya melalui sifat-sifat ke-Tuhanan yang bisa didekati manusia.
Kembali ke analogi cerita Kresna tadi, jangan sampai kereta, kusir, kuda bahkan Kresna sudah beralih peran menjadi Kuda karena idealnya yang mengendalikan adalah Jiwa (kusirnya). Alhasil, tawadldlu’, takabur, kerendahan hati, sikap pamer, uswatun hasanah, qulil-haqq walau kana murran, dan sebagainya harus senantiasa ditempatkan pada konteks dan nuansa yang tepat atau dalam falsafah jawa disebut dengan “empan papan.”
Inilah mengapa Tuhan meminta manusia untuk berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan ini dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai puasa di luar bulan Ramadan.(*)