spot_img
Wednesday, March 26, 2025
spot_img

Puasa dan Mentalitas Rakus

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Rakus semakna dengan serakah, tamak, dan loba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna utama rakus adalah suka makan dengan nafsu yang berlebihan. Makna substansialnya adalah keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang sesuai, sepantasnya, atau selayaknya. Rakus digunakan secara kiasan untuk menggambarkan seseorang yang sangat ingin memperoleh sesuatu, seperti harta atau kekuasaan, melebihi batas yang wajar.

Korupsi, Manifestasi Rakus

-Advertisement- Satu Harga Tiga Media

Korupsi adalah manifestasi dari mentalitas rakus itu. Seorang pejabat yang gajinya sudah tinggi dan menikmati segala fasilitas negara tetap tergoda untuk menilap uang negara karena nafsu duniawi yang tak terbendung adalah orang yang rakus. Kasus korupsi yang hampir setiap hari tersiar di berbagai media dan membuat publik tercengang adalah bentuk kerakusan itu.

Itulah sifat alamiah manusia yang tidak pernah merasa cukup bahkan sekalipun telah hidup jauh melampaui segala bentuk kecukupan. Karena rakus, serakah, dan sejenisnya adalah sifat alamiah manusia, maka ia tidak bisa dihilangkan. Tetapi, ia bisa diatur dan dikendalikan, oleh pemilik sifat itu sendiri.

Berkebalikan dengan itu, puasa mengajarkan kesederhanaan, yakni makan dan minum secukupnya, berbagi dengan yang kurang mampu, serta mengikis mentalitas berlebihan. Dalam Islam, ada konsep qonaah, sebagai lawan kata dari rakus. Qonaah berarti menerima dengan lapang dada, tidak tamak, dan tidak selalu menginginkan sesuatu yang lebih melampaui batas kewajaran. Puasa, salah satunya, adalah upaya untuk menumbuhkembangkan sifat qonaah itu.

Dengan demikian, puasa Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi para pejabat publik dan penyelenggara negara untuk menata, mengatur, dan mengendalikan potensi kerakusan yang dimilikinya. Menata ulang gaya hidup, meninggalkan kemewahan yang tak perlu, dan meneguhkan kembali nilai-nilai kesederhanaan.

Ketika seorang pejabat terbiasa dengan gaya hidup sederhana, setidaknya dorongan untuk melakukan korupsi akan berkurang. Studi dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) 2023 menunjukkan bahwa negara-negara dengan budaya konsumtif yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih besar. Ini karena pola pikir konsumtif mendorong individu untuk mencari sumber pendapatan tambahan dengan cara apa pun.

Ironisnya, ketika rakyat kecil tengah berjuang untuk bertahan hidup dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, para pejabat dan kaum elite justru berlomba-lomba mempertontonkan gaya hidup hedonistik. Tak jarang, momen Ramadan yang seharusnya menjadi ajang refleksi justru berubah menjadi pesta pora dan dipolitisasi untuk memfasilitasi nafsu berkuasa. Ironisnya, ketika tersandung kasus korupsi, banyak dari mereka kemudian kerap tampil religius di depan publik, mengenakan peci atau kerudung, bahkan rajin mengutip ayat-ayat suci dalam pidato mereka.

Perilaku Konsumtif

Fenomena kerakusan ini juga tercermin dalam bagaimana Ramadan dikomodifikasi oleh kapitalisme. Alih-alih menjadi bulan pengendalian diri, Ramadan justru menjadi momen eksploitasi ekonomi. Pusat perbelanjaan berlomba-lomba menawarkan diskon besar-besaran, iklan makanan dan minuman bertebaran di mana-mana, dan ajakan konsumsi semakin menggila. Banyak masyarakat yang akhirnya terjebak dalam pola konsumsi berlebihan hanya demi mengikuti tren. Itu juga adalah manifestasi mentalitas rakus dalam bentuk yang lain.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk makanan dan minuman meningkat sekitar 15 sampai 20 persen selama bulan puasa. Fakta ini menunjukkan, alih-alih mengajarkan hidup sederhana, puasa justru menjadi momen untuk berpesta makanan saat berbuka. Fenomena ini mencerminkan bagaimana mentalitas rakus tidak serta-merta hilang saat seseorang berpuasa.

Jika di siang hari ia menahan diri dari makan dan minum, di malam hari ia melampiaskannya dengan konsumsi berlebihan, ditambah belanja berlebihan dengan alasan menyambut hari raya. Padahal, esensi puasa bukan menunda kesenangan, melainkan mengendalikan diri dan memahami batas kebutuhan.

Jika mentalitas rakus pejabat, salah satunya, termanifestasi dalam bentuk korupsi, maka mentalitas rakus masyarakat biasa terwujud lewat perilaku konsumtif, flexing, dan lainnya. Akibatnya, alih-alih bekerja keras dan berusaha dengan jujur, banyak orang yang akhirnya tergoda untuk mencari jalan pintas yang salah, misalnya dengan mencuri dan melakukan kejahatan.

Puasa sebagai Momentum

Agama mengajarkan, jika puasa dijalankan dengan baik dan benar, ia seharusnya mampu menjadi sarana untuk menekan mentalitas rakus itu. Hal itu hanya jika puasa dimaknai lebih dari sekadar ritual menahan lapar dan haus. Puasa yang ideal seharusnya mendorong seseorang untuk lebih peduli terhadap sesama, menumbuhkan empati, dan menekan keinginan berlebihan yang tidak perlu. Puasa adalah momentum untuk menekan nafsu, meredam kemewahan, menumbuhkan kepekaan, meneguhkan empati, dan menguatkan solidaritas. Oleh karena itu, puasa selain sebagai kewajiban ritual umat Islam, harus menjadi momentum bersama untuk melakukan refleksi dan jalan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Jika puasa hanya menjadi ritual tahunan tanpa perubahan substansial dalam pola pikir dan perilaku, Ramadan tidak akan pernah menjadi momentum perbaikan bagi bangsa ini. Karenanya, diperlukan kesadaran kolektif bahwa kerakusan dalam bentuk apa pun adalah sumber kehancuran sosial.(*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img