Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang menyejarah,
namun bagaimana kita bisa tahu sejarah,
jika kita tidak membaca?
Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit
dan berani menjelajah,
namun bagaimana kita tahu akan yang luas,
dan inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca?”
(Sindhunata)
Ungkapan Sindhunata, seorang biarawan Yesuit sekaligus seorang budayawan asal Kota Batu ini menggambarkan bahwa betapa kuatnya pengaruh membaca dalam kehidupan manusia. Sebab dengan membaca kita dapat memahami sejarah dengan pijakan hidup yang kokoh. Jika dikaitkan dengan era digital, berkaki kuat artinya tidak mudah goyah dan percaya pada hembusan berita hoaks yang selalu diiringi nyinyiran netizen.
Betapa luasnya dunia yang terkandung dalam sebuah buku, sehingga jika kita menjelajah isinya akan mendapatkan petualangan dan pelajaran yang berharga. Kita akan memiliki cakrawala wawasan yang luas bahkan akan mendapat motivasi dan solusi ketika kita kehilangan harapan di tengah masalah yang menimpa.
Pada momen Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2022 ini, ada sisi yang dapat dikulik tentang peran seorang pustakawan sebagai pribadi yang membantu membangkitkan motivasi seseorang yang tengah mengalami problema hidup melalui buku yang memiliki esensi dan pesan penting sebagai sarana yang membantu proses sebuah penyembuhan (healing).
Biblioterapi
Biblioterapi adalah sebuah treatment dengan media buku. Biblioterapi dikenal dengan banyak nama seperti bibliocounseling, biblieducation, bibliopsychology, library therapeutic, biblioprophylaxis, tutorial group therapy, dan literatherapy (Rubin, 1978).
Asal kata Biblioterapi dari kata biblion yang artinya buku atau bahan bacaan dan therapeia artinya penyembuhan. Biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan melalui buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan di bawahnya ada manuskrip berbunyi “The Healing Place of The Soul” (tempat penyembuhan jiwa). Pada zaman itu, Plato mencetuskan ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi. Hal ini merupakan bukti bahwa biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno.
Selanjutnya melalui percobaan-percobaan medis Rush dan Galt (1815-1853), keduanya menyimpulkan bahwa bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses bimbingan konseling. Terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam.
Tujuan dari proses konseling itu sendiri adalah untuk membantu individu agar menjadi pribadi yang lebih fungsional, mencapai integritas diri, identitas diri, dan aktualisasi diri. (perpusnas.go.id/magazine-12/2011)
Healing dengan Biblioterapi
Setiap orang selalu mengalami problema kehidupan, baik internal (psikologis) maupun eksternal (lingkungan). Biblioterapi terbukti dapat membantu orang yang sedang mengalami masalah dengan memperluas pengetahuannya dan membawa efek penyembuhan. Biblioterapi dapat mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku, serta merangsang pembaca untuk berpikir.
Proses healing tidak melulu dengan jalan-jalan atau cuci mata ke suatu tempat yang nyaman dan menyenangkan. Untuk saat ini perjalanan ke tempat tertentu sangat diperlukan banyak pertimbangan, mengingat kondisi pandemi dan perlunya manajemen keuangan yang baik di masa krisis.
Biblioterapi merupakan salah satu cara ekonomis dan cukup baik untuk dipertimbangkan. Ketika telah terjalin sebuah hubungan individu dengan isi buku, biblioterapi menjadi media yang ampuh untuk menyembuhkan berbagai macam masalah kehidupan.
Peran Pustakawan
Di era digital seorang pustakawan bukan lagi dipandang sebagai penjaga buku. Pesatnya kemajuan teknologi menuntut seorang pustakawan untuk lebih cakap digital dan melek teknologi. Bagaimana tidak? Saat ini seluruh transaksi perpustakaan dapat dilakukan secara online melalui sistem. Pustawakan diharapkan mempunyai kecakapan digital untuk dapat menyelaraskan profesionalismenya dengan kondisi terkini.
Peran pustakawan era milenial antara lain adalah sebagai penggerak literasi informasi dan mengembangkan kemampuan serta keahliannya dalam literasi digital. Tidak hanya harus mampu menguasai teknologi namun ia juga dituntut untuk mampu memberi konsultasi maupun referensi pencarian informasi dan mengidentifikasi dengan tepat kemauan dan kebutuhan milenial. (dispersip.pangkalpinangkota.go.id-2/12/2019).
Dalam konteks healing melalui biblioterapi, pustakawan memiliki potensi sebagai konsultan biblioterapis. Peran pustakawan sebagai konsultan dalam mencari referensi bahan bacaan adalah bekal utama. Pustakawan dapat merekomendasikan buku terapi untuk pembaca yang membutuhkan penyembuhan psikologis.
Pustakawan yang telah melakukan seleksi bacaan dan menguasai isi koleksi bahan bacaan di perpustakaannya, akan menjadi seorang biblioterapis yang moncer jika ia juga mendalami ilmu pendekatan psikologis.
Sebagai sumber daya manusia yang berperan penuh dalam sebuah perpustakaan, pustakawan dapat menjadi biblioterapis yang handal dengan menerapkan strategi sebagai berikut.
Pertama, Meningkatkan sumber dayanya sebagai seorang pustakawan yang layak sebagai biblioterapis. Kedaua, Menguasai koleksi bahan bacaan dalam perpustakaannya. Ketiga, Berkolaborasi dengan tim konseling dalam lembaga. Keempat, Mengevaluasi kinerjanya, sehingga dapat mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan selama proses biblioterapi dan melakukan perbaikan jika ada koreksi.
Tidak hanya menuntut kepiawaian seorang pustakawan, semua akan terlaksana dengan baik jika perpustakaan sebagai penyedia bahan pustaka mempunyai koleksi bahan pustaka yang berkualitas dan bervariasi dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang nyaman. Hal ini sangat membantu proses pengentasan permasalahan dan pencapaian pengembangan diri melalui layanan konseling berbasis biblioterapi.
Ingat Healing Ingat Buku
Mulai abad ke-20, psikolog mulai melakukan penelitian formal tentang potensi manfaat membaca secara lebih umum dan biblioterapi secara khusus. Secara keseluruhan, literatur menyarankan bahwa membaca buku, terutama yang menawarkan perspektif baru atau membawa pembaca keluar dari zona nyaman mereka, dapat meningkatkan empati, toleransi terhadap orang lain, dan keterampilan interpersonal, seperti kemampuan membaca emosi orang lain. (merdeka.com-10/12/2020).
Membaca buku yang tepat dapat mengeluarkan energi positif yang mempercepat sebuah proses healing. Gabut? Galau? Perlu healing? Ayo, baca buku saja! Dijamin asyik, produktif dan menyenangkan.(*)