Fenomena antrean panjang pelamar kerja mencerminkan kenyataan yang sangat pahit: jumlah penganggur di Indonesia masih tinggi, sedangkan lapangan kerja belum cukup. Ribuan orang, dari lulusan SMA hingga sarjana, rela berdiri berjam-jam demi satu peluang pekerjaan. Jumlah pencari kerja di Indonesia jauh melebihi kapasitas penyerapan lapangan kerja yang tersedia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83 ribu dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara nasional turun tipis dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen, peningkatan angka mutlak pengangguran menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja baru.
Lebih memprihatinkan lagi, berdasarkan data BPS per Februari 2025, kelompok usia 15-24 tahun menjadi penyumbang terbesar pengangguran, dengan TPT mencapai 16,16 persen atau tertinggi dibandingkan usia 25–59 (3,04 persen) dan usia ≥ 60 tahun (1,67 persen). Data ini menunjukkan bahwa generasi muda yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru masih mendominasi antrean pencari kerja.
Di saat yang sama, dari total 145,77 juta angkatan kerja yang terserap, mayoritas bekerja di sektor informal (59,40 persen), yakni sekitar 86,6 juta orang, sedangkan pekerja formal masih di bawah 41 persen. Kesenjangan antara lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan dunia kerja menjadi akar masalah struktural yang tak kunjung terselesaikan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, solusi parsial tak lagi memadai. Yang dibutuhkan adalah transformasi sistemik melalui integrasi vertikal dan horizontal antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja dan pejabat terkait. Integrasi vertikal merujuk pada keterpaduan dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, agar setiap tahap pendidikan membentuk rantai nilai yang saling berkesinambungan.
Sejak di bangku SD hingga SMA/ SMK, peserta didik perlu diperkenalkan pada dunia keterampilan, kewirausahaan, dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan industri masa kini. Di tingkat perguruan tinggi, pendekatan multidisipliner dan pembelajaran berbasis proyek dapat mendorong terciptanya lulusan yang adaptif dan inovatif.
Sementara itu, integrasi horizontal menuntut sinergi lintas sektor meliputi dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, orang tua dan masyarakat, integrasi antar wilayah, serta mitra internasional. Lembaga pendidikan tidak dapat berjalan sendiri. Dinas pendidikan dan dinas tenaga kerja daerah perlu menyediakan data real-time tentang kebutuhan pasar kerja lokal, agar kurikulum bisa disesuaikan secara dinamis.
Kolaborasi erat dengan DUDI sangat krusial, tidak hanya dalam bentuk kerja sama magang atau praktik kerja industri, tetapi juga dalam penyusunan kurikulum, penyediaan instruktur tamu, hingga uji kompetensi dan sertifikasi. Selain itu, keterlibatan masyarakat, termasuk orang tua siswa, penting untuk membangun kesadaran bersama bahwa pendidikan hari ini harus menjawab tantangan pekerjaan masa depan, bukan sekadar mengejar ijazah.
Tak kalah penting adalah membangun jaringan yang solid dengan mitra internasional dan antarwilayah. Kolaborasi lintas negara menawarkan berbagai peluang pelatihan, magang, dan riset kolaboratif yang tidak hanya memperkaya pengalaman, tetapi juga meningkatkan daya saing lulusan Indonesia di pasar global.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2023, terdapat lebih dari 100.000 mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam program magang internasional, yang menunjukkan adanya potensi besar untuk memperluas jaringan global ini. Selain itu, skema kerja sama regional juga sangat penting, mengingat ASEAN, yang terdiri dari 10 negara anggota, memiliki berbagai peluang untuk saling mendukung dalam sektor pendidikan dan pekerjaan.
Demikian pula, kolaborasi antar daerah di Indonesia dengan keunggulan sektor ekonomi yang berbeda dapat memperluas penyerapan tenaga kerja lokal dan regional. Misalnya, daerah dengan kekuatan di sektor perikanan, seperti Sulawesi Selatan dan Maluku, bisa menjadi pusat pelatihan magang bagi siswa dari daerah non-pesisir yang ingin mengembangkan keterampilan di bidang perikanan dan kelautan.
Program-program magang yang terhubung dengan industri perikanan dapat memberikan pengalaman langsung bagi peserta didik dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa sektor perikanan Indonesia menyumbang 4,22 persen terhadap PDB nasional, dengan lebih dari 2 juta pekerja terlibat di sektor ini. Dengan memperkuat kolaborasi antar daerah, Indonesia dapat menciptakan peluang kerja yang lebih beragam dan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Tentu, semua ini membutuhkan political will dan komitmen jangka panjang. Jika strategi integratif ini dapat dijalankan secara konsisten, kita bisa berharap antrean pelamar kerja akan semakin pendek. Pengangguran bukan semata statistik, tetapi cermin dari sistem pendidikan dan pembangunan yang belum berpihak pada masa depan generasi muda.
Jika seluruh elemen, pemerintah, lembaga pendidikan, industri, masyarakat, orang tua, serta mitra lokal dan global saling bersinergi, maka antrean panjang pelamar kerja tak lagi menjadi pemandangan rutin.(*)