Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
Seorang muslim selayaknya memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah tatkala mencintai Allah SWT. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut adalah dengan mengenal Allah (ma’rifatullah). Bagi seorang muslim ma’rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-tingginya. Sebaliknya tanpa ma’rifatullah tak mungkin seorang muslim memiliki keyakinan dan keteguhan hidup.
Ma’rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah SWT. Jika seseorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip ma’rifatullah ini, Insya Allah alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya.
Dengan fasilitas itulah dia kemudian akan memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapinya. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang senantiasa berusaha mengenal Allah, sehingga kedekatannya dengan Allah senantiasa dipisah oleh tabir yang semakin tipis. Bagi orang yang dekat dengan Allah, dia akan dianugerahi ru’yah shadiqah (penglihatan hati yang benar).
Dengan kekuatan iman, seorang pengecut tiba-tiba bisa berubah menjadi pemberani. Seorang pemalas tiba-tiba bisa berubah menjadi bersemangat. Sehingga siapapun yang menginginkan perubahan positif yang cepat dalam dirinya, kuncinya adalah membangun keyakinan yang kuat kepada Allah SWT. Banyak contoh berbicara tentang betapa kuatnya peran keyakinan dalam mengubah pribadi seseorang.
Pembimbing Akal dan Tubuh
Di dalam tubuh ini ada akal, jasad, dan qolbu. Akal membuat orang bisa bertindak lebih efektif dan efisien dalam melakukan apa yang ia inginkan. Sedangkan tubuh bertugas melakukan apa yang diperintahkan oleh akal. Sebagai contoh, apabila akal menginginkan tubuh mampu berkelahi, maka tubuh akan berlatih agar menjadi kuat. Sayangnya, tidak sedikit orang yang cerdas, orang yang begitu gagah perkasa, tapi tidak menjadi mulia, bahkan sebagian di antaranya membuat kehinaan karena berbuat jahat. Mengapa? Sebab ada satu yang membimbing akal dan tubuh yang belum diefektifkan, itulah qolbu.
Jadi, yang terpenting dari manusia ternyata bukan kecerdasannya saja, tapi yang membimbing cerdasnya otak menjadi benar, yang membimbing kuatnya fisik menjadi benar. Disitulah fungsi qolbu. Oleh karenanya, menjadi cerdas belum tentu mulia, kecuali kecerdasannya dipakai untuk berbuat kebenaran. Menjadi kuat belum tentu mulia, kecuali kekuatannya di jalan yang benar.
Jika dikaitkan dengan ESQ, Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian dari emosi. Emosi dicetuskan dari pandangan seseorang terhadap suatu kejadian, adanya reaksi fisiologis yang kuat. Ekspresi berdasarkan pada mekanisme genetika, merupakan informasi satu persatu orang ke orang lainnya dan membantu seseorang beradaptasi terhadap perubahan situasi lingkungan.
Emosi adalah suatu keadaan yang kompleks yang berlangsung biasanya tidak lama, yang mempunyai komponen pada badan dan pada jiwa individu, pada jiwa timbul keadaan terangsang atau “excitement” dengan perasaan yang hebat serta biasanya juga terdapat impuls untuk berbuat sesuatu tertentu, pada badan timbul gejala-gejala dari susunan saraf vegetative, misalnya pada pernafasan, sirkulasi, dan ekskresi.
Emosi merupakan suatu keadaan yang kompleks, berlangsung biasanya tidak lama yang dicetuskan dari persepsi seseorang terhadap suatu kejadian dan disertai dengan reaksi fisiologis maupun psikologis. Pada hakikatnya emosi manusia terdiri dari dua jenis, yaitu, peratama, emosi positif (emosi yang menyenangkan ), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan positif pada orang yang mengalaminya, di antaranya adalah cinta, saying, senang, gembira, kagum, dan sebagainya; kedua, emosi negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan perasaan negative pada orang yang mengalaminya, di antaranya adalah sedih, marah, benci, takut, dan sebagainya.
Cukup banyak ahli yang mengungkapkan teori tentang dasar-dasar emosional dari munculnya agama dan keberagamaan seseorang, pandangan yang paling umum adalah bahwa manusia itu sangat lemah mengahadapi berbagai macam persoalan dalam kehidupan maupun menghadapi fenomena-fenomena alam. Musibah, bencana alam, penyakit, kesulitan makanan, peperangan, dan berbagai persoalan kehidupan sosial lainnya memang akan memacu manusia untuk mencari pemecahannya. Tetapi sampai pada titik tertentu usaha tersebut menemui jalan buntu, maka berpalinglah manusia pada pemikiran religius.
Kecerdasan Spiritual
Bahkan di zaman sekarang, dimana ilmu dan teknologi berkembang sedemikian pesatnya untuk mengatasi berbagai problem kehidupan manusia, tetapi ternyata semuanya tidak bisa dikendalikan manusia. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan daerah Asia lainnya merupakan salah satu bukti ketidakberdayaan manusia di tengah musibah alam. Hal seperti itu membuat yakin akan adanya kekuatan lain yang turut mengendalikan kehidupan manusia.
Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa menghadapi berbagai macam persoalan. Baik dalam masalah ekonomi, kesehatan, sosial maupun politik. Menghadapi hal-hal seperti ini kehidupan religious biasanya akan tumbuh subur. Manusia merasa sudah tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan ini. Manusia mohon pertolongan pada Tuhan. Ketidak pastian masa depan yang dapat menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran itulah yang menurut Paul Johnson sebagai sumber utama kehidupan spiritual. Apalagi ketika manusia dihadapkan pada kematian yang sering menimbulkan apa yang disebut kecemasan eksistensial (existensial anxiety).
Agama merupakan tempat berlabuh bagi manusia ketika manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang tidak biasa diatasi. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru.
Kemudian sesuatu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi, menurut survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap perusahaan.
Qolbu dalam kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan. Melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”. (*)