Kehidupan Elin Agus Tri Rahayu mendadak berubah ketika menginjak usia 15 tahun. Saat itu warga Kemantren Bandungrejosari Sukun Kota Malang ini terkena Glukoma hingga menyebabkan kebutaan. Namun dia tetap berjuang menggapai impian.
Kedua matanya total tidak bisa melihat. Padahal masih banyak impian dan cita-citanya. Termasuk yang paling diimpikannya menikmati pemandangan dengan mendaki gunung.
Di usia remaja itu, Elin masuk RS Bina Netra Janti Kota Malang untuk mengikuti pelatihan. Di situlah Elin mendapatkan keterampilan dan skill lain. Beberapa di antaranya adalah olahraga lari, lompat jauh dan tolak peluru.
Karena ketekunan dan optimismenya, Elin menjadi seorang atlet. Pernah mengharumkan nama Kota Malang. Yakni meraih medali emas di Kejurda Lari di Surabaya tahun 2014.
Lalu dalam Kejurda Paralympic pada tahun yang sama ia mempersembahkan medali perak. Medali tersebut didapat dari cabang olahraga lompat jauh dan tolak peluru.
Menjadi disabilitas netra bukan alasan menghentikan langkah menggapai impian. Elin berhasil menggapai asanya mendaki gunung.
“Ketika mendaki gunung itu saya lebih banyak pakai perasaan. Jadi hanya kira-kira dan membayangkan saja medannya. Apakah naik, rerumputan atau jurang 50 meter, saya bayangkan keadaannya karena dulu kan pernah bisa melihat,” terang Elin.
Ia biasanya mendaki gunung bersama suaminya. Sang suami yang juga disabilitas netra sangat mendukung aktivitas Elin. Suaminya masih bisa sedikit melihat karena kategori netra low vision.
“Dia yang selalu mendampingi saya. Justru saya yang selalu mengajak suami untuk mendaki,” kenangnya.
Sebelumnya wanita 31 tahun ini mulai mewujudkan impiannya itu sekitar tahun 2020. Persis beberapa saat setelah ia menikah. Meski awalnya sempat ragu, tapi karena keinginan dan tekad yang kuat, Elin pun tetap berangkat mendaki gunung.
“Awalnya memang waktu di panti tuna netra Janti (RS Bina Netra) satu angkatan sama suami sering bicarakan naik gunung. Suami sudah beberapa kali naik gunung dan sempat berangan bagaimana kalau mendaki gunung bersama apakah bisa. Saya pun langsung senang akhirnya bisa mendaki gunung,” ceritanya.
Mulanya mendaki Gunung Wedon untuk berlatih. Meski belum pernah naik gunung, Elin mengaku tidak kesulitan ketika awal mendaki. Sebab sering sekali mendengar YouTube tentang pendakian.
Termasuk untuk berbagai perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan. Elin mengaku sudah memilikinya.
“Saya sejak lama mendengarkan YouTube, video-video tentang pendakian horor, persiapan apa saja yang dibutuhkan, jadi awal mendaki sudah siap,” katanya. “Jaket, sepatu, tas carrier dan lainnya ada yang punya saya dan ada juga yang saya pinjam dari adik saya. Lainnya sudah disediakan atau menyewa,” sambung Elin.
Namun demikian bukan berarti semuanya mudah. Pendakian gunung memiliki risiko besar karena fisik maupun mental harus benar-benar siap. Sebab di gunung banyak sekali kontur yang cukup terjal, terlebih ketika pascahujan. Belum lagi faktor lain yang misterius. Ia sudah mengantisipasinya sejak awal.
“Yang paling penting etika ketika mendaki. Selain menjaga keselamatan, juga harus menjaga kesopanan di gunung. Cerita-cerita mistis kan juga banyak. Kalau BAB atau BAK, yang paling penting harus ada temannya,” sebut wanita yang pernah mengenyam pendidikan di MA Muhammadiyah ini.
Hingga saat ini dia sudah mendaki beberapa gunung. Yakni Gunung Wedon, Gunung Butak dan Gunung Kawi. Kesemuanya berhasil mencapai puncak dan memberi kesan tersendiri.
Ada beberapa gunung lagi yang masih menjadi incarannya. Ia sudah tidak sabar untuk naik gunung lagi.
“Kebetulan setelah Gunung Kawi saya mau ke Gunung Arjuno. Cuma ternyata waktu itu saya hamil, jadi saya memutuskan istirahat sementara. Ini anak saya sudah berusia satu tahun, nanti kalau sudah bisa dititipkan neneknya, saya ingin naik gunung lagi,” kata Elin optimis.
“Kebetulan saya sekarang tidak sekurus dulu sebelum hamil. Jadi sekarang badan terasa berat. Tapi saya tetap ingin naik gunung lagi. Gunung Arjuno dan Gunung Semeru yang belum,” sambungnya.
Ia begitu yakin bisa naik gunung lagi karena modal itulah yang selama ini menjadi pegangannya. Harus yakin dan punya niat yang kuat. Sehingga meski punya keterbatasan, disabilitas juga tetap bisa menaklukkan sesuatu yang belum tentu bisa dilakukan orang pada umumnya.
“Memang niatnya saja. Kalau merasa bisa, Insya Allah pasti bisa. Kalau merasa tidak bisa, akhirnya ya tidak bisa,” kata anak kedua dari pasangan Supateman dan Siti Sulikah ini.
Elin bahagia kala berhasil mendaki gunung. Ia akhirnya bisa mewujudkan impiannya, menikmati pemandangan dan mendaki gunung, meski ketika mewujudkan impian itu kondisinya sudah tidak bisa melihat lagi.
“Pendaki lain bilang ke saya, pemandangannya bagus, terus oh di sini pemandangannya juga bagus. Itu saya dengarkan dan saya menikmatinya meski saya tidak bisa melihat mimpi saya itu secara langsung. Cukup membayangkan,” tutur Elin. (ian nurmajidi/van)