Malang Posco Media – Bulan Ramadan adalah bulan latihan. Latihan untuk menahan diri dari segala godaan duniawi, sekaligus pendidikan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga dapat kembali fitrah dan menjadi insan takwa selepas ramadan usai. Itulah mengapa para ulama menyebutnya sebagai syahrut tarbiyah (bulan pendidikan).
Menahan diri dari godaan duniawi bukanlah perkara mudah. Seharian kita dilatih untuk sabar, tidak boleh mengonsumsi segala jenis makanan dan minuman, termasuk membatasi segala perilaku dan perkataan negatif. Hal itu berulang sebulan penuh. Hikmahnya, kita akan semakin pandai mengendalikan diri, juga lebih cerdas mengelola konsumsi sehari-hari.
Dengan logika seperti itu, semestinya konsumsi masyarakat muslim selama ramadan mengalami penurunan. Namun kita semua pastinya menyadari, faktanya berkata lain. Ramadan justru ditandai dengan gejala konsumerisme umat Islam, yang dicirikan dengan meningkatnya daya konsumsi, terutama menjelang akhir ramadan dan datangnya hari raya Idul Fitri.
Dalam kaitan ini, hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2021 menunjukkan adanya peningkatan permintaan kebutuhan pokok yang signifikan selama ramadan, yang mencapai puncaknya di akhir ramadan dan saat Idul Fitri. Meningkatnya permintaan itu beriringan dengan tingginya tingkat konsumsi masyarakat.
Sejalan dengan itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa rata-rata generasi muda mengeluarkan dana bulanan tambahan sebanyak satu sampai tiga juta untuk konsumsi selama ramadan.
Dana tambahan itu, menurut temuan Google Indonesia, selama ramadan paling banyak digunakan untuk keperluan buka bersama (35,7 persen), pakaian (20,7 persen) dan sedekah (17 persen). Sedangkan saat Idul Fitri paling banyak digunakan untuk perjalanan (30 persen), pakaian (29 persen) dan barang elektronik (24 persen).
Fenomena itu tentu amat menarik. Ramadan yang semestinya menjadi momentum untuk mengurangi sifat konsumtif justru mendorong kita untuk semakin konsumtif. Ramadan sebagai momentum untuk membiasakan perilaku positif, termasuk gaya hidup halal (halal lifestyle), justru bisa membawa seorang muslim untuk bersikap berlebih-lebihan, demikian pula dalam hal konsumsi.
Sebenarnya, perilaku konsumtif saat ramadan dapat dimaklumi, selama hal itu diniatkan untuk apresiasi diri sebagai bagian dari rasa syukur pada Allah, sekaligus sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.
Harus diakui, daya konsumsi masyarakat muslim selama ramadan sulit untuk ditekan, atau malah hampir tidak mungkin. Karena itu, yang menjadi tantangan adalah bagaimana tingginya tingkat konsumsi itu menjadi momentum membangun gaya hidup halal yang saat ini kian digandrungi anak muda muslim Indonesia.
Yang harus disadari adalah bahwa ramadan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun, sehingga antusiasme umat Islam tentu tak terhindarkan. Yakni antusiasme untuk lebih rajin beribadah, maupun antusiasme untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Terkadang, antusiasme itu diikuti dengan, misalnya, membeli gamis baru, tasbih baru, Alquran baru, mukena baru, yang tidak lain untuk meningkatkan motivasi dalam beribadah.
Begitu juga, saat berbuka puasa kita juga terbiasa untuk mencoba memasak menu baru atau menu yang paling lezat. Kadang pula, bersama teman-teman atau keluarga, kita mencari tempat berbuka puasa yang paling bagus atau yang paling populer. Tentu saja, pengeluaran meningkat. Hal itu juga tak bisa disalahkan, karena merupakan bagian dari self-reward setelah seharian berlapar dahaga.
Terlebih, peningkatan konsumsi itu berdampak positif bagi pemasukan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang sebelumnya lesu akibat dihantam pandemi. Selama ramadan kita bisa lihat banyak pasar takjil laris manis di jalan-jalan, yang umumnya didominasi pedagang UMKM. Artinya, secara garis besar tingginya tingkat konsumsi selama ramadan tidak menjadi persoalan, justru menjadi berkah.
Yang menjadi persoalan adalah jika konsumsi itu dilakukan secara berlebih-lebihan atau hanya sebatas untuk kepentingan gengsi dan status sosial belaka, atau dalam terminologi Islam disebut dengan riya. Di sinilah seorang muslim harus berpola dan bergaya hidup sesuai dengan kemampuan, serta diawali dengan niat yang baik, yakni sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah kepada Allah.
Itulah gaya hidup halal yang sesungguhnya. Gaya hidup halal tidak sekadar makan dan minum yang halal, atau membeli produk-produk Islami. Gaya hidup halal juga harus diikuti dengan kesadaran halal (halal awareness).
Kesadaran halal itu terbentuk mulai dari niat, mengapa kita mengonsumsi produk tersebut misalnya. Apakah merupakan bentuk dari rasa syukur dan apresiasi, atau justru karena riya dan untuk menyombongkan diri.
Apa jadinya jika halal lifestyle tidak diikuti dengan halal awareness? Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, sekalipun memiliki dampak positif, tingginya gaya hidup halal jika tidak dibarengi dengan kesadaran halal, seorang muslim dapat terjebak menjadi konsumen yang tidak cerdas dan irasional.
Gejala tersebut ditandai dengan pemikiran, misalnya, makin banyak konsumsi selama itu halal maka semakin baik atau semakin soleh. Hal itulah yang sering dimanfaatkan oleh produsen atau perusahaan produk halal yang dengan sengaja menggembar-gemborkan branding Islami demi kepentingan pasar.
Sasaran utamanya yaitu konsumen muslim yang hobi berbelanja. Selama bulan ramadan, ciri itu juga terlihat pada, misalnya, banyaknya produsen yang merilis brand halal, demikian juga banyaknya iklan produk yang sengaja memasukkan unsur Islami dalam tayangannya.
Memang, sifat konsumtif umat Islam selama ramadan adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Namun, jika tidak diiringi dengan kesadaran halal maka jangan-jangan ramadan hanya menjadi momentum komodifikasi agama, di mana konsumen muslim hanya menjadi komoditas bagi produsen untuk kepentingan marketing belaka. Semoga tidak. Semoga ramadan kita bermakna.(*)