Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah melewati masa pencoblosan. Data pelaksanaan Pilkada di sejumlah tempat menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan hal suaranya tak terlalu menggembirakan. Angka partisipasi publik di banyak daerah berada di bawah 70 persen. Kurang maksimalnya partisipasi pemilih ini bisa mengindikasikan telah terjadi kemunduran (regresi) kualitas penyelenggaraan Pilkada.
Secara umum, regresi bisa berarti kemunduran atau kembali pada kondisi sebelumnya yang dianggap lebih rendah, buruk, atau tidak maju dibandingkan dengan keadaan saat ini. Regresi Pilkada bisa berkorelasi dengan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Jika Pilkada menunjukkan tanda-tanda regresi itu artinya kualitasnya hampir pasti rendah. Sebaliknya, Pilkada berkualitas tinggi jika menunjukkan tidak adanya regresi.
Kemunduran dalam pelaksanaan Pilkada menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara Pilkada, masyarakat, dan beberapa pihak terkait. Perlu evaluasi yang mendalam dari pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini guna menemukan solusi dalam melakukan perbaikan kualitas Pilkada di masa yang akan datang. Perlu dicermati sejumlah indikator untuk melihat kualitas Pilkada dan menghindari terjadinya regresi.
Indikator Regresi Pilkada
Salah satu indikator mundurnya kualitas Pilkada adalah rendahnya partisipasi publik dalam Pilkada. Partisipasi ini bisa dalam bentuk aktif datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos maupun partisipasi dalam ikut melakukan pemantauan dan pengawasan dalam pelaksanaan Pilkada. Salah satu yang menjadi sorotan dalam Pilkada serentak kali ini adalah soal turunnya partisipasi pemilih kalau dibandingkan dengan Pilpres atau Pilkada sebelumnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 tak sampai 70 persen berdasarkan rata-rata nasional. Walaupun ada juga daerah yang partisipasinya mencapai 77 persen dan 81 persen. Sementara ada juga daerah yang tingkat partisipasinya hanya 54 persen. Di DKI Jakarta, partisipasi pemilihnya terendah sepanjang sejarah, yakni sekitar 57,6 persen.
Banyaknya pasangan calon (paslon) Pilkada yang hanya melawan bumbung kosong juga dapat mengindikasikan minimnya minat sejumlah orang dalam mencalonkan diri. Pilkada dianggap regresif jika hanya diikuti calon tunggal atau ketika paslon hanya melawan kotak kosong. Banyaknya calon tunggal terjadi karena kurangnya keberanian politisi bersaing dalam kontestasi Pilkada.
Menurut data KPU, terdapat 36 pemilihan kepala daerah yang diikuti paslon tunggal, dua di antaranya dimenangkan oleh kotak kosong yakni di pemilihan walikota dan wakil walikota Pangkalpinang dan pemilihan bupati dan wakil bupati kabupaten Bangka. Kontestasi Pilkada 2024 yang dimenangkan kotak kosong akan digelar proses Pilkada ulang pada September 2025.
Tentang rendahnya kualitas paslon, minimal terlihat saat kampanye debat publik, juga turut memberi andil terjadinya kemunduran kualitas Pilkada. Sejumlah paslon Pilkada di beberapa daerah telah mempertontonkan ide dan gagasan konyol dalam kampanye debat dan viral di aneka platform media sosial. Kualitas buruk yang ditunjukkan sejumlah kandidat dapat memicu banyak orang tak tertarik menggunakan hak suaranya karena merasa tak punya calon yang layak dipilih karena kualitasnya buruk.
Indikator lain dari terjadinya regresi Pilkada adalah maraknya kecurangan dalam proses Pilkada di beberapa daerah. Ketika kecurangan dilakukan secara masif dan terencana maka hal ini bisa berpengaruh pada kualitas dan legitimasi hasil Pilkada. Apalagi kalau aneka bentuk kecurangan itu tak diproses dan ditindak oleh lembaga yang berwenang menangani masalah kecurangan tersebut.
Literasi Politik
Terjadinya regresi Pilkada juga bisa berkorelasi pada tingkat melek politik (literasi politik) masyarakat. Literasi politik merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menganalisis, dan berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Melek politik ini mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam berperan sebagai warga negara yang sadar dan bertanggungjawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang melek politik (political literate) adalah masyarakat yang tidak cuek pada urusan politik (apolitis). Masyarakat merasa punya tanggungjawab dalam kehidupan politik sehingga mereka ikut terlibat aktif dalam proses-proses politik. Kemampuan melek politik ini memungkinkan masyarakat mampu membuat keputusan yang lebih rasional sehingga proses demokrasi bisa menjadi lebih sehat.
Dengan kemampuan literasi politik yang baik, masyarakat tak hanya menjadi penonton dalam proses Pilkada. Masyarakat yang melek politik akan menjadi aktor yang aktif dan kritis, berpartisipasi menggunakan hak pilihnya dan terlibat dalam pengawasan proses politik dan jalannya pemerintahan. Masyarakat yang punya tingkat melek politik yang tinggi tak akan mudah dipengaruhi oleh propaganda, hoaks, dan kampanye yang menyesatkan.
Pada masyarakat yang punya literasi politik yang tinggi akan memilih pemimpin yang lebih didasarkan pada kompetensi dan integritas. Melalui cara ini hasil Pilkada dapat mencerminkan kepemimpinan yang berorientasi pada kinerja dan pelayanan publik. Sebaliknya, pada masyarakat yang literasi politinya rendah berpotensi menghasilkan pemimpin yang tak kompeten atau terpilih melalui cara-cara yang tak etis.
Upaya peningkatan literasi politik menjadi penting terus dilakukan oleh semua pihak. Tingkat literasi politik masyarakat yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Sikap melek politik masyarakat dapat menekan terjadinya regresi Pilkada yang berkorelasi pada regresi demokrasi karena Pilkada merupakan salah satu bentuk perwujudan demokrasi. Pencegahan regresi Pilkada juga bisa dilakukan dengan reformasi struktural dalam sistem politik dan Pilkada. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat perlu terus diupayakan. Perlu juga dilakukan pengawasan ketatuntuk memastikan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas Pilkada. Kolaborasi antara pemerintah, penyelenggara Pilkada, partai politik, masyarakat sipil, dan media massa diperlukan guna menciptakan Pilkada yang berkualitas dan menghindari terjadinya regresi Pilkada.(*)