.
Thursday, December 12, 2024

Tak Ada Peragaan Penembakan Gas Air Mata ke Tribun Penonton

Rekonstruksi Dianggap Janggal

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Desak Rekonstruksi Ulang di Stadion Kanjuruhan

Rencana Otopsi Korban Batal

MALANG POSCO MEDIA- Pengusutan Tragedi Kanjuruhan jadi sorotan. Rekonstruksi yang digelar di Mapolda Jatim di Surabaya, Rabu (19/10) kemarin mengundang sederet pertanyaan. Otopsi korban pun dipastikan batal.

Pelaksanaan rekonstruksi berlangsung di lapangan bola Mapolda Jatim. Penyidik gabungan Bareskrim Polri dan Polda Jatim fokus memperagakan peran  tiga anggota polisi yang jadi tersangka Tragedi Kanjuruhan.

Yakni mantan Kabagops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Danki 3 Sat Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan  dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi. 

Mereka memeragakan 30 adegan rekonstruksi. Namun dalam proses rekonstruksi tak ada adegan atau peragaan penembakan

gas air mata ke arah tribun penonton. 

Pada reka adegan 19 hingga 25, tembakkan gas air mata hanya diarahkan ke sentel ban atau lintasan lari sisi selatan.

“Adegan ke 19, sekitar 22.09 atas perintah tersangka Hasdarmawan, saksi menggunakan senjata laras kaliber 38 mm menembakkan satu kali dengan amunisi warna biru ke arah sisi selatan,” kata penyidik melalui pengeras suara.

“Selanjutnya saksi MKI menembakkan satu kali dengan amunisi warna silver ke arah sentel ban lintasan lari selatan belakang gawang,” lanjut penyidik.

Adegan dalam rekonstruksi ini berbeda dengan temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Yakni menyatakan polisi menembakkan gas air mata secara tak terukur ke arah tribun penonton.

TGIPF juga mengatakan gas air mata jadi faktor utama jatuhnya korban tewas dan luka-luka dalam insiden di Stadion Kanjuruhan. Penonton panik, berlarian, dan berdesak-desakan menuju pintu keluar hingga terinjak-injak.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan hal itu merupakan materi penyidikan berdasarkan keterangan para tersangka dan saksi.

“Secara materi penyidikan, itu penyidik yang akan menyampaikan. Kalau misal tersangka mau menyebutkan seperti itu (tidak menembak ke arah tribun), itu haknya dia, tersangka punya hak ingkar,” kata Dedi di Mapolda Jatim.

Dedi mengatakan penyidik memiliki keyakinan sendiri. Ia menuturkan segala kesaksian dan alat bukti yang didapatkan penyidik akan dipertanggungjawabkan di pengadilan.

Selain menghadirkan tiga tersangka dalam rekonstruksi kemarin, polisi juga menghadirkan 54 orang saksi dan 30 pemeran pengganti sebagai suporter.

Rekonstruksi itu langsung disorot berbagai kalangan. Di antaranya Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka menolak hasil rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan tersebut.

Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan mengatakan rekonstruksi tidak fair. Karena rekonstruksi ini  cenderung bersifat tertutup, dan banyak yang tidak tepat. 

Andy mengatakan pihak kepolisian sebelumnya telah menyampaikan surat terkait saksi yang diundang untuk mengikuti rekonstruksi. Dari seluruh Aremania yang diundang, empat di antaranya menyerahkan kuasa kepada KontraS untuk memenuhi hak hukumnya.

“Jadi ada empat orang Aremania yang diundang telah memberikan kuasa ke kami. Masalahnya mereka ini sedang sakit, ada yang masih perawatan dan ada yang masih patah tulang. Akhirnya saya melarang mereka untuk mengikuti rekonstruksi,” jelasnya.

Andy menegaskan bahwa selama ini dirinya dan tim Aremania membuka diri  untuk petugas kepolisian bisa berkoordinasi. Termasuk pemilihan saksi atau pihak yang dilibatkan dalam proses rekonstruksi.

“Ini sangat tidak wajar bagi kami. Kami selalu siap sedia diajak berkoordinasi. Dan seharusnya polisi tahu kami ada di sini di Posko Tim Gabungan Aremania (TGA) di Gedung KNPI Kota Malang,” lanjutnya.

Pihaknya mempertanyakan tidak adanya adegan penembakan gas air mata ke arah tribun. “Saya menganggap bahwa ada upaya polisi untuk melakukan obstruction of justice. Di sini kami melihat ada upaya pengaburan fakta. Dan  kami meminta agar rekonstruksi ini dilakukan di Stadion Kanjuruhan, atau di area tersebut. Untuk membuktikan fakta yang sesungguhnya,” kata Andy.

Sementara itu Koordinator LBH pos Malang  Daniel Siagian menyayangkan rekonstruksi kemarin. Menurut dia harusnya dilakukan lebih terbuka.  

Menurut dia kenyataan yang terjadi justru miris. Itu karena dilakukan secara tertutup dan hasilnya cukup mengecewakan bagi publik dan korban. Ia menilai bahwa peoses tertutup di Mapolda Jatim menimbulkan keraguan soal transparansi.

LBH pos Malang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (LBH pos Malang,YLBHI, LBH Surabaya, IM57+ Institute, Lokataru) menilai keterlibatan publik   memantau jalannya rekonstruksi harus menjadi prioritas utama dalam pengusutan.

“Terlebih lagi, minimnya keterlibatan korban dalam rekonstruksi tersebut. Seharusnya keterlibatan publik dalam pemantauan rekonstruksi harus dilakukan terkhusus pihak saksi korban. Ini sangat penting untuk menjamin keadilan bagi korban serta agar fakta yang direkonstruksi secara terang-benderang dan tidak dikaburkan,” ungkapnya.

Sementara itu keluarga korban Aremania di Bululawang, Devi Athok Yulfitri  memutuskan untuk tidak melanjutkan otopsi. Ia menarik permintaan otopsi  untuk kedua anaknya, Nayla Devi Anggraeni (16) dan Natasya Febi Anggraeni (13) yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan.

Namun demikian Athok menuntut keadilan dan mendesak tragedi yang telah memakan korban jiwa 133 orang itu diusut tuntas.

Niatnya mencari keadilan dilatarbelakangi pernyataan pihak kepolisian yang menyebut kematian korban bukan karena gas air mata. Pernyataan itu membuatnya sakit hati sebagai ayah dari dua anak yang menjadi korban.

Ia menutut keadilan agar dapat membuat terang kasus tersebut, bukan hanya pada kedua putrinya. Melainkan untuk seluruh korban dan masyarakat.

Sebelumnya melalui pendampingan hukum tim advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) ia melapor dan mengajukan untuk otopsi. Tepatnya pada 10 Oktober 2022 lalu. Hingga pada 17 Oktober permintaan itu ditarik olehnya.

Dia juga mengkhawatirkan hasil yang didapat nantinya tidak memuaskan lantaran hanya dirinya yang mengajukan. 

Mengenai kabar adanya intimidasi yang diterimanya, Athok mengatakan tidak menerima secara langsung. Namun ia dan keluarganya tidak nyaman dengan perlakuan aparat kepolisian yang berdatangan ke kediamannya sejak upaya otopsi itu diajukan. Ia juga was-was saat keluar rumah. “Kalau didatangi sudah beberapa kali, mungkin tiga kali, dan itu tanpa pendampingan. Jadi saya dan keluarga, ya, takut. Apalagi ada orang tua dan keponakan,” ungkap Athok.

Kedatangan pihak kepolisian itu, kata Athok memang hanya menanyakan soal rencana otopsi. Namun dirinya tetap khawatir dapat memengaruhi psikis keluarga.

“Asalkan nanti ada yang tergerak, terutama keluarga korban ayo bareng-bareng. Agar ini bisa selesai dan diusut maksimal,” serunya.

Sementara itu Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mendatangi RSSA,  Rabu (19/10) kemarin. Ia mengungkapkan bela sungkawa kepada seluruh korban Tragedi Kanjuruhan.

“Saya baru tiba dari Jakarta pagi tadi (kemarin) dan langsung menuju ke rumah sakit. Sebagai salah satu bentuk simpati dan duka cita kami, usai kemarin ada satu korban (Tragedi Kanjuruhan) meninggal lagi,” kata dia.

Soal otopsi korban, ia menyampaikan pihaknya mendapatkan informasi adanya pencabutan atau pembatalan persetujuan keluarga terhadap rencana otopsi korban Tragedi Kanjuruhan. Saat ditanya soal adanya dugaan intimidasi dari petugas kepolisian, dia menegaskan tidak ada tindakan tersebut sama sekali. Kapolda Jatim yang baru dilantik ini meyakinkan bahwa petugas telah melakukan pendekatan sesuai dengan prosedur yang ada.

“Tidak benar (ada intimidasi) silakan bisa dikonfirmasi untuk informasi itu. Semua sudah diketahui publik, informasi-informasi itu silakan dikonfirmasi kembali kepada yang bersangkutan,” kata mantan Wakapolda Jatim ini. (cni/ tyo/rex/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img