spot_img
Thursday, May 29, 2025
spot_img

RESTITUSI vs JUSTIFIKASI

Berita Lainnya

Berita Terbaru

         Pendidikan menurut kamus Bahasa Indonesia adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak dapat dilakukan.

         Pendidikan yang harus mengedepankan perubahan peserta didik untuk memiliki skill kompetitif, berdikari, mandiri dan berdaya juang tinggi akan selalu menemukan dinamika sosial dalam penerapanya. Ada seringkali malah bermasalah dengan orang tua peserta didik, ada juga yang bermasalah dengan finansial ekonomi mengenai kesejahteraan guru itu sendiri.

         Mendidik adalah kata kerja yang sesungguhnya harus dipahami bersama adalah tanggung jawab setiap orang. Keunikan yang terjadi adalah stigma pemikiran orang dewasa yang kita sebut saja orang tua, guru dan civitas lainnya yang berselisih umur dengan anak, sering menganggap anak adalah sebagai subjek yang harus diberi nasehat, diberi ilmu, diberi arahan dan lain sebagainya.

         Diakui atau tidak, jika kita mendidik anak, lantas anak tersebut tidak sesuai dengan arahan, nasehat dan lain sebagainya maka akan timbul emosi, amarah, dan rasa jengkel. Di sini letak keunikan tersebut, ada sejenak kata yang tersirat menyindir sistem pendidikan kita dan patut juga dijadikan wacana muhasabah orang tua, guru, baik civitas pendidikan di dalamnya. Kata-kata tersebut adalah ‘’jangan samakan mengajar ikan berenang dengan mengajarkan singa berenang.”

         Lantas kita bisa contohkan sebagai peer teaching yang secara sadar sering kita lakukan. Ketika guru mengajar, ada salah satu siswa yang tidak fokus belajar, dan malah di sela-sela guru mengajar siswa tersebut berani untuk melakukan kegiatan lain di luar kegiatan belajar. Seperti bermain game, mendengarkan music di youtube atau malah asik menggambar serta aktivitas lainya yang tidak menghiraukan isi pelajaran.

         Maka apa yang akan dilakukan guru? Kebanyakan adalah akan menyita device atau gadget yang dipakai, lalu memberikan hukuman atas apa yang dilakukan siswa tersebut. Nah itulah yang dikategorikan justifikasi. Dan hal ini disadari atau tidak masih banyak orang tua di luar sana masih menerapkan hal ini.

         Ketika anak salah maka hal yang diberikan adalah langsung diberi hukuman dengan harapan jera. Namun tak ayal banyak sekali siswa kita malah timbul kenakalan lainya, karena tidak tertangani masalah yang menjadi akar permasalahanya.

         Senada dengan hal yang pernah digagas dalam tulisannya oleh Putut Wijaya, S.T menyatakan bahwa “Arti justifikasi dalam dunia pendidikan sangat penting karena untuk menganalisis dan menunjukkan bahwa setiap pernyataan tersebut benar atau tidak.

         Justifikasi sebenarnya sering Anda lakukan dalam kegiatan sehari-hari. Seperti contohnya, saat Anda melakukan justifikasi bahwa beberapa orang adalah teman baik Anda. Anda memberikan klaim tersebut karena beberapa hal baik yang telah dilakukan teman Anda terhadap Anda” pun berlaku sebaliknya.

      Selama ini kebiasaan kita adalah langsung memaafkan atau membuat mereka tidak nyaman. Perhatian kita cenderung pada kesalahan yang dilakukan daripada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Salah satu cara untuk memperbaiki diri agar terwujud disiplin diri dapat dilakukan melalui segitiga restitusi.

     Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)

     Restitusi pendidikan menjadi salah satu pendekatan alternatif yang bagus untuk menyelesaikan masalah pendidikan anak tanpa harus mengeluarkan atau menyebabkan masalah baru bagi anak atau siswa tersebut. Apakah yang dimaksud dengan Restitusi? 

     Jika murid melakukan pelanggaran, apakah langkah kita? Siapa yang mengingatkan? Apakah mereka kita beri hukuman langsung atau kita cari cepatnya saja dengan memaafkan? Contoh kasus, ketika melakukan pembelajaran praktik terdapat siswa menggunakan pakaian kerja tidak lengkap sesuai keyakinan kelas.

     Apakah siswa tersebut diperbolehkan praktik atau tidak? Jawabanya adalah tidak berhenti boleh praktik atau tidak, maka yang harus dilakukan adalah melalui restitusi dengan tiga tahap yakni 1) menstabilkan identitas; 2) validasi tindakan yang salah; 3) menanyakan keyakinan. Step praktikalnya adalah langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas.

     Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses. Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat seperti ‘’tidak ada manusa yang sempurna; saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.’’

     Ketika seseorang dalam kondisi emosional maka otak tidak akan mampu berpikir rasional, saat inilah kita menstabilkan identitas anak. Anak kita bantu untuk tenang dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan.

     Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/ tujuan tertentu (LMS Guru Penggerak, 2021).

     Ketika kita menolak anak yang berbuat salah, dia akan tetap dalam masalah. Yang diperlukan adalah kita memahami alasan melakukan hal tersebut sehingga anak merasa dipahami. Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan.        Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah 1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.

     Penting menanyakan ke anak tentang kehidupan ke depan yang dia inginkan. Ketika mereka sudah menemukan gambaran masa depannya, guru dapat membantu mereka untuk tetap fokus pada gambarannya. Melalui segitiga restitusi kita dapat mewujudkan mereka menjadi murid yang merdeka. Mereka mampu menyelesaikan masalah dengan motivasi internal dan bertanggung jawab terhadap pilihannya.

     Dalam mendidik bukan berarti kita harus mendikte, mendoktrin, atau mengklaim (justifikasi), melainkan dengan mendidik kita harus bisa bijak dalam mendewasakan anak atau siswa kita dalam beberapa hal, berpikir dewasa, bertanggung jawab, memiliki daya juang tinggi dan mampu memahami dan menyelesaikan masalah secara mandiri.        

Teruslah mendidik dengan hati wahai orang tua, guru dan civitas pendidikan di dalamnya, terus semangat. Karena prinsip dari Kebaikan akan kembali kepada kita dalam hal Kebaikan juga.(*)

-Advertisement-.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img