Di antara tugas kehambaan manusia adalah sebagai pemimpin, menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Amanah yang diemban dari orang-orang yang memberikan amanah. Dalam konteks paling kecil, tentu amanah itu diberikan oleh diri kepada diri sendiri sebagai manusia dan khalifah Allah di bumi.
Dalam konteks yang lebih luas, menjadi pemimpin itu Amanah, baik dalam lingkungan keluarga, institusi, perusahaan, organisasi, masyarakat dan negara sekalipun. Allah Swt berfirman dalam QS. 4:58 yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Imam Ibnu Jarir al-Thabari menjelaskan bahwa sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada para pemegang urusan orang-orang Muslim. Mereka harus menunaikan, melaksanakan apa yang telah orang-orang Muslim itu amanahkan kepada mereka, baik berupa hak-haknya, hartanya, dan lain sebagainya.
Imam Thabari juga menegaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan agar para pemimpin ini tidak menzalimi para pemilik amanah itu. Tidak pula boleh menyelewengkan apa-apa yang telah diamanati kepada mereka. Termasuk mengambil sesuatu dari amanah itu tanpa izin dari sang pemilik amanah tersebut. Kalaupun harus menghukum, tentu harus dengan hukuman yang adil.
Ditataran institusi maupun organisasi tentu para calon-calon pemimpin terpilih harus menunaikan segala apa yang menjadi harapan dan cita-cita dari mereka pemberi amanah. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda: “Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberikan amanah. Dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”.
Menurut Imam Ibnu Katsir, hadits di atas berlaku umum kepada semua manusia atas amanah yang wajib bagi mereka, baik terhadap hak-hak mereka kepada Allah Swt, maupun hak-hak orang terhadap orang lainnya. Ada sebuah ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bagaimana karakter kepemimpinan Rasulullah sebagai penyampai risalah sekaligus pemimpin, tertera dalam QS. 9: 128 yang artinya : “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
Uswah Hasanah
Ayat di atas setidaknya mengungkap empat hal; Pertama, Allah menurunkan risalah kepada umat manusia melalui sosok mulia yang juga manusia, bukan jin ataupun malaikat yang sukar dijangkau. Ini mengandung hikmah untuk memudahkan umat manusia dalam meneladani sosoknya. Nabi Muhammad SAW adalah figur yang sangat dekat dengan umatnya, memahami dan sanggup berkomunikasi (berbahasa) secara baik dengan sasaran dakwahnya.
Sebagaimana manusia lainnya, Rasulullah merasakan apa yang dirasakan makhluk fisik pada umumnya: lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, kedinginan, dan lain sebagainya. Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar biasa tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, keberanian, kejujuran, kedermawanan, dan sifat-sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata. Rasulullah tampil dalam wujud yang manusiawi, tapi sekaligus syarat nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, Rasulullah memiliki empati yang amat tinggi terhadap penderitaan umatnya. Beliau memberi teladan kepemimpinan yang tidak memberatkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengaitkan kalimat ‘azîzun ‘alahi mâ ‘anittum dengan dua hadits yang artinya : “Aku (Muhammad SAW) diutus untuk membawa agama yang lurus dan toleran”, dan “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah kemudahan”.
Dengan bahasa lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang menyulitkan umatnya, bahkan untuk urusan ibadah sekalipun. Sebagai contoh, tentang salat tahajud yang Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid. Begitu tahu sahabat-sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya, Rasulullah beberapa hari kemudian tak pergi ke masjid. Alasan beliau, tak ingin memberi kesan bahwa salat tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di kemudian hari. Rasulullah juga pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu panjang saat memimpin salat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam harus mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang yang mempunyai keperluan.
Ketiga, Nabi juga merupakan sosok yang sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi umatnya. Ibnu Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum menghubungkannya dengan hidayah dan kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Beliau mendorong adanya proses kesadaran ilahiyah dalam setiap embusan nafas manusia, juga tersingkirnya mudarat atau kerugian bukan hanya secara duniawi tapi juga ukhrawi.
Keempat, ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi rahîm (penyayang) kepada umatnya. Kita tahu bahwa dua sifat itu adalah bagian dari 99 asmaul husna. Ini sekaligus menunjukkan keistimewaan derajat Nabi Muhammad. Dua nama indah Allah dilekatkan pada diri beliau. Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud dalam karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar menghadapi masyarakat.
Beliau juga gemar memaafkan dan memohonkan ampun ketika umatnya yang berlaku salah, bersedia bermusyawarah, dan bertawakal kala tekad sudah bulat. Seperti yang dijelaskan dalam QS. 3: 159 yang artinya “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”. Karakter Nabi Muhammad SAW yang kita yakini sebagai teladan paling ideal bagi umat manusia, bahkan menjadi role model yang sempurna. (*)