Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMM
Akhirnya lirik lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” diganti dengan “Mbah Amir Ngarit Suket.” Perubahan syair ini dilakukan oleh pencipta lagu untuk mengakhiri polemik panjang terkait lagu ini. Ronald Dwi Febriansyah sebagai pencipta lagu telah meminta maaf kepada publik karena telah membuat banyak pihak tersinggung dan dianggap melecehkan ulama tokoh besar pendiri dan raja pertama kerajaan Pajang yakni Joko Tingkir.
Seperti telah diberitakan sejumlah media, sang pencipta lagu Joko Tingkir yang awalnya viral di platform TikTok itu, mengaku tidak mengetahui di balik nama Joko Tingkir. Ronald saat menulis lirik lagu itu tak mengetahui bahwa nama Joko Tingkir adalah sosok ulama besar yang dihormati di Jawa. Banyak pihak menilai tak tepat menggunakan nama Joko Tingkir yang hanya disandingkan dengan aktivitas ngombe (minum) dawet itu.
Tak semua orang yang mengetahui tentang sosok Joko Tingkir. Tokoh ulama besar itu kini jadi pembicaraan banyak orang. Namun sayang, yang dibicarakan dan diketahui ternyata Joko Tingkir hanya dikaitkan dengan aktivitas minum dawet. Hal inilah yang sempat memicu keberatan dari sejumlah tokoh agama dan masyarakat. Lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” dinilai tak etis dan dianggap melecehkan ulama besar.
Di samping banyak pihak yang menggugat, sejumlah kalangan menilai bahwa dalam lagu yang banyak di cover sejumlah penyanyi dangdut dan diunggah di kanal YouTube itu hanyalah guyonan atau parodi. Ada yang menilai hal ini adalah bentuk kreativitas seniman dalam menuangkan gagasan seninya.
Ada juga yang berpandangan bahwa lagu ini tak bermakna melecehkan sang tokoh, tetapi justru menempatkan sosok Joko Tingkir sebagai sosok yang inklusif dan merakyat karena berkenan minum minuman rakyat kelas bawah yakni dawet.
Hal Sensitif
Ada pelajaran berharga dari munculnya polemik terkait lagu Joko Tingkir ini. Inilah Indonesia. Di negeri ini jangan pernah coba-coba memainkan sesuatu yang sensitif. Banyak hal di masyarakat yang bernilai sensitif atau tabu. Ada hal yang memang aman digunakan sebagai lelucon atau parodi, namun banyak hal yang tak pantas digunakan sebagai bahan candaan. Hal inilah yang perlu disadari dan dipahami oleh masyarakat, termasuk para seniman.
Indonesia dengan jumlah budaya, adat istiadat, agama, dan beragam perbedaan menuntut semua orang agar menjunjung dan menghormati keberagaman itu. Karena keberagaman itulah terkadang sesuatu yang dinilai sebagai hal yang biasa-biasa saja akan dimaknai berbeda karena terjadi cara pandang dan latar belakang yang berbeda di antara orang yang mencipta makna dan sang penafsirnya.
Memahami heterogenitas masyarakat akan menjadikan dalam sebuah proses komunikasi akan berlangsung minim hambatan. Dalam kasus lagu Joko Tingkir, pemahaman terkait siapa sejatinya sang tokoh dan bagaimana posisi sang tokoh tersebut di masyarakat menjadi penting diketahui oleh sang pencipta lagu. Seumpama hal itu terjadi, polemik terkait kasus ini tak akan muncul.
Selama ini sudah banyak kasus yang bermula dari hal-hal yang sensitif. Tak hanya dalam dunia musik, dalam industri seni yang lain juga pernah terjadi. Bahkan pernah muncul kasus gegara desain cover sebuah lagu salah satu penyanyi terkenal tanah air telah menimbulkan protes dari pengikut agama tertentu karena pemakaian gambar tertentu dari desain sampul lagu tersebut yang dinilai telah melecehkan tokoh dalam ajaran agama tertentu.
Karya dalam bentuk fotografi, seni pertunjukan, film, teater, drama, sinetron, video klip, iklan, dan banyak produk karya seni lain pernah menjadi polemik. Konflik muncul karena persoalan etik, soal materi yang vulgar, mengandung muatan pornografi, melanggar SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar golongan), dan menyinggung agama serta budaya tertentu. Heterogenitas masyarakat perlu disikapi dengan hati-hati agar tak menyulut munculnya konflik.
Batas Kreativitas
Kreativitas dalam bidang apapun tak bisa bebas tanpa batas. Selalu ada rambu-rambu yang harus dipedomani dalam menghasilkan karya. Di negeri ini sangat banyak rambu-rambu yang perlu diperhatikan agar para kreator dan inventor dapat mengasilkan karya yang bermanfaat dan dapat diterima oleh masyarakat. Karena karya apapun memang harus bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam kasus lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” memang bisa dilihat sebagai sebuah kreativitas dalam bermusik, namun perlu diingat bahwa banyak rambu-rambu di masyarakat yang perlu diperhatikan. Perspektif masyarakat juga berbeda-beda dalam memaknai lagu ini karena beragam perbedaan juga melekat dalam diri setiap orang. Munculnya fenomena terkait lagu ini bisa akan terulang seperti halnya terjadi pada karya-karya seni yang menjadi polemik sebelumnya.
Yang utama bahwa atmosfir untuk terus berkarya dalam bidang apapun tak boleh mati. Kreativitas perlu terus tumbuh. Lingkungan yang kondusif agar lahir aneka kreasi dan inovasi harus terus tercipta. Tak boleh ada ruang-ruang kreativitas yang coba dimatikan. Kebebasan dan kemerdekaan berkreasi harus terus dibangun dengan syarat para kreatornya juga tetap mengikuti rambu-rambu yang ada.
Kalau lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” dianggap sebagai masalah, semoga dengan permohonan maaf sang pencipta akan dapat mengakhiri polemik ini. Di sejumlah pertunjukan musik dan konten di YouTube lagu ini juga telah berubah dengan banyak versi yang tak bernilai sensitif.
Kini syair “Joko Tingkir Ngombe Dawet” telah berganti menjadi “Mbah Amir Ngarit Suket.” Bahkan ada juga yang menggantikan kata “Joko Tingkir” dengan kata “Pak Sopir”, “Pak Amir”, “Tukang Parkir” dan kata-kata lain yang berakhiran “ir” yang lain.
Saat kata “Joko Tingkir Ngombe Dawet” telah diganti dengan “Mbah Amir Ngarit Suket” atau syair versi lain, sesungguhnya ini merupakan bentuk permohonan maaf dan kompromi untuk kegembiraan semua. Jadi masalah seperti ini tak perlu di bawah terlalu serius. Dinikmati saja, agar imun tubuh tetap terjaga di tengah banyak persoalan hidup yang semakin pelik menerpa masyarakat saat ini. (*)