Tak sedikit pejabat publik negeri ini yang sibuk bikin konten (ngoten) di media sosial (medsos). Sejumlah petinggi dari sekelas menteri, wakil menteri, gubernur, walikota, bupati, berlomba-lomba ngonten. Bahkan ada gubernur yang mendapat julukan sebagai “Gubernur Konten.” Saat pejabat publik pada sibuk ngonten, apakah cara ini cukup efektif dalam mengomunikasikan program kerja, ide, gagasan, dan beragam aktivitas sang pejabat?
Lahirnya beragam platform medsos memang telah mengubah cara orang berkomunikasi, termasuk cara para pejabat berkomunikasi dengan rakyatnya. Medsos yang pada awalnya banyak digunakan lebih untuk keperluan menjalin pertemanan, bersilaturahmi, dan mencari hiburan, kini telah banyak dimanfaatkan sebagai media yang mampu mendekatkan para pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya.
Tingkat aksesibilitas masyarakat yang cukup tinggi pada media digital menjadikan aneka pesan komunikasi di medsos terpaannya sangat kuat. Gaya komunikasi kebanyakan para pejabat yang dulunya kaku dan birokratif bisa lebih mencair melalui medsos. Pesan yang sifatnya top down, instruktif, dan satu arah, dengan melalui medsos bisa lebih interaktif. Keterlibatan masyarakat atau khalayak juga bisa terakomodasi.
Secara ideal, pengunaan medsos memang bisa optimal ketika media ini dimanfaatkan dengan tepat sesuai karakteristiknya. Alih-alih berkomunikasi secara efektif, sejumlah pejabat justru menggunakan medsos tak lebih hanya sebagai ajang narsis, pamer, dan beragam unggahan konten yang tak penting dan tak bermanfaat bagi masyarakat. Medsos lebih jadi ruang pencitraan yang tak menyentuh esensi dari peran seorang pejabat.
‘Show Your Work’
Bagi seorang pejabat publik, membuat konten dari aktivitas yang dilakukan bisa jadi cara menginformasikan program kerja dan peran yang dilakukan sang pejabat kepada masyarakat. Beragam kebaikan sebaiknya memang disampaikan kepada publik dan tak hanya dipendam, hingga tak banyak orang lain yang mengetahuinya. Saat sang pejabat publik ngonten, juga bisa untuk menjawab rasa keingintahuan masyarakat atas apa yang telah diperbuat oleh sang pemimpinnya.
Mengutip Austin Kleon (2014) dalam bukunya berjudul “Show Your Work”, menjelaskan tentang pentingnya berbagi karya secara terbuka kepada masyarakat luas. Dengan cara ini diharapkan bisa membangun inspirasi, partisipasi, kolaborasi, dan umpan balik dari masyarakat. Tentu karya yang dibagikan kepada publik adalah karya nyata dan bukan rekayasa demi mendapatkan pujian dan agar dibilang pejabat yang selalu memikirkan dan bekerja demi rakyat.
Melalui aneka konten medsos para pejabat bisa bermanfaat agar muncul dukungan, koreksi, dan partisipasi masyarakat. Dengan mengetahui apa yang dilakukan sang pejabat, masyarakat bisa punya rasa memiliki pada beragam program dari pemimpinnya. Selain itu, komunikasi publik yang dilakukan menjadi lebih terbuka dan dua arah karena medsos merupakan salah satu media yang mampu menciptakan interaktifitas.
Show your work yang dimaksudkan Kleon bukan berangkat dari ketidakjujuran. Memamerkan pekerjaan atau capaian yang telah dilakukan sang pejabat perlu kejujuran dan ketulusan bukan tipu-tipu dan rekayasa. Show your work ini perlu dilakukan dengan tepat agar tak muncul kesan pejabat narsis yang hanyak eksis di dunia digital dan tak punya imbas di dunia nyata. Memang tak dilarang pejabat publik sibuk ngoten, tetapi hal penting tak boleh dilupakan adalah prinsip berkomunikasi secara tulus dan jujur.
Bukan ‘Narsisto Ergo Sum’
Descartes, seorang filsuf Perancis pernah mengatakan “Cogito Ergo Sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Ungkapan ini saat ini banyak diplesetkan menjadi “Narsisto Ergo Sum” alias “aku narsis maka aku ada.” Kata-kata ini kiranya tepat guna memotret tren perilaku kebanyakan orang saat ini yang suka narsis demi dianggap eksis. Tak heran jika saat ini banyak orang, termasuk para pejabat yang tampil narsis agar eksis dan tak hilang ditelan zaman.
Dalam rangka narsis tersebut tak jarang orang menempuh beragam cara. Cara-cara manipulatif biasa ditempuh demi terlihat eksis di medsos. Tak heran jika foto dan video konten medsos direkayasa agar punya kesan tertentu sesuai yang diinginkan. Tak jarang realitas yang ditampilkan dalam unggahan medsos tak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Realitas yang tersaji di konten medsos seringkali ditampilkan lebih indah dari aslinya.
Realitas dalam medsos memang bisa jadi realitas berlebih, bahkan palsu. Jean Baudrillard (1981) dalam bukunya “Simulacra and Simulation” menjelaskan bahwa hiperrealitas merupakan keadaan dimana simulasi menjadi lebih nyata ketimbang kenyataan aslinya. Di medsos hal ini terlihat dari banyaknya konten manipulatif, editan, dan disajikan secara berlebihan untuk menciptakan kesan yang lebih baik dan sempurna. Hiperrealitas konten medsos bisa menciptakan ilusi dan ekspektasi yang tak realistis yang dapat memengaruhi persepsi atas realitas. Medsos punya sisi buruk di balik sisi baiknya. Pejabat yang sibuk ngoten di medsos bisa jadi positif namun bisa pula sebaliknya. Yang jelas, tugas utama pejabat publik adalah melayani rakyatnya secara nyata. Bukan pencitraan seakan-akan telah banyak berbuat demi rakyat namun semua itu hanya ada di ruang maya dan tak berimbas di alam nyata. Tak keliru pejabat eksis di ruang-ruang maya medsos, tetapi ia harus tetap menginjak bumi, beraksi lebih nyata dan berdampak pada penuntasan persoalan riil masyarakat.(*)