Saat perjalanan jauh di jalan tol, kita mengenal satu titik singgah yang sangat penting yakni rest area. Sebuah tempat yang tentunya tidak menjadi tujuan, tetapi krusial untuk mencapai tujuan. Rest area bukan tempat kita menetap, tetapi kerap menjadi penyelamat dalam perjalanan panjang. Di tempat itulah kita berhenti sejenak untuk melepas lelah, membersihkan diri, pergi ke toilet, menunaikan salat, atau sekadar duduk semata.
Rest area adalah momen-momen jeda yang terkadang kita lupakan. Di tengah target, ambisi, rutinitas, dan dorongan untuk terus produktif, kita seringkali melaju terlalu cepat kita lupa bahwa tubuh, pikiran, dan jiwa pun punya hak untuk berhenti. Memang, dalam hidup ini kita pada titik tertentu kadang singgah di rest area. Entah karena dipaksa keadaan: sakit, kehilangan, kegagalan, burnout atau karena kita dengan sadar memilihnya.
Apa pun alasan dan bentuknya, jeda bukanlah kelemahan dan kemunduran. Karena jeda adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan. Bahkan, bisa dikatakan, jeda adalah jantung dari keberlangsungan hidup itu sendiri.
Fungsi utama rest area adalah memberi ruang bernapas. Demikian pula dengan hidup. Jeda adalah saat kita menarik napas panjang dalam hiruk-pikuk dunia yang serba cepat. Hal tersebut bukan cuma soal waktu istirahat, tapi tentang memberi ruang untuk memulihkan makna.
Dalam jeda, kita bisa bertanya ulang ke mana sebenarnya kita melangkah? Apa yang sedang kita kejar? Apakah tujuan ini masih sesuai dengan arah hati kita? Tanpa jeda, hidup hanya menjadi barisan tugas yang dipenuhi tanda centang tapi kosong dari kesadaran. Kita bisa menyelesaikan banyak hal, tetapi kehilangan rasa dalam menyelesaikannya.
Lihat saja bagaimana tubuh manusia bekerja. Tidur adalah jeda yang membuat kita tetap waras. Detak jantung pun memiliki ritme. Ada waktu kontraksi, ada waktu relaksasi. Bahkan alam mengajarkan ritme jeda: malam untuk menenangkan siang, musim dingin untuk memulihkan bumi sebelum kembali mekar.
Namun sering kali kita lupa. Kita menganggap istirahat sebagai hal yang kerap tak dirasa. Kita merasa bersalah saat berhenti. Kita membandingkan kecepatan kita dengan orang lain tanpa sadar bahwa mereka pun butuh jeda. Padahal sesungguhnya, jeda adalah strategi bertahan. Mereka yang tahu kapan harus berhenti jauh lebih mungkin untuk sampai pada tujuan tanpa kehilangan jati diri.
Penting untuk dipahami, bahwa rest area bukan tempat tinggal. Ia adalah tempat persinggahan, dan bukan pemberhentian akhir. Kita tidak diminta berhenti selamanya, tapi berhenti sejenak agar bisa melanjutkan dengan lebih baik.
Dalam filsafat Timur khususnya Zen dan praktik mindfulness, ada kesadaran mendalam tentang jeda. Mengheningkan diri bukan hanya untuk tenang tapi untuk kembali hadir penuh. Hanya dengan being bukan terus-menerus doing, manusia bisa benar-benar sadar akan hidupnya.
Begitu pula dalam agama-agama. Salat dalam Islam adalah jeda spiritual yang terstruktur. Ia hadir lima kali sehari, bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai pengingat agar manusia tidak terlalu larut dalam dunia. Meditasi dalam Buddhisme, Sabat dalam tradisi Yahudi, maupun retreat dalam agama lain. Semuanya mengandung prinsip yang sama: kita perlu berhenti untuk kembali menjadi manusia.
Momen jeda sering kali menjadi titik temu kita dengan diri sendiri. Ketika keramaian dunia diredam, kita bisa mendengar suara yang lebih dalam suara hati, suara keyakinan, suara masa lalu yang belum selesai, dan suara masa depan yang masih samar.
Banyak keputusan besar dalam hidup justru muncul dalam jeda. Banyak pemulihan tidak terjadi dalam kerja keras, tetapi dalam keheningan. Banyak pemahaman spiritual tidak ditemukan dalam keramaian, melainkan dalam kesendirian. Kita tidak bisa menemukan makna sambil terus berlari.
Oleh karena itu, pertanyaannya kini bukan lagi “perlukah kita berhenti?” melainkan “beranikah kita mengizinkan diri untuk berhenti?” Berhenti bukan hanya untuk yang kelelahan bahkan saat kita merasa kuat dan sanggup, tetaplah belok ke rest area. Tetaplah ambil jeda. Karena mungkin tubuhmu belum bicara sekarang. Tapi suatu saat ia akan menagih perhentian yang pernah Kamu abaikan.
Ketika itu datang sebagai penyakit, krisis mental, atau kehampaan eksistensial, hal itu bukan akhir. Itu adalah alarm bahwa sudah saatnya Kamu berhenti sejenak. Kita tidak harus jatuh untuk istirahat. Kita tidak perlu hancur dulu untuk merenung. Kadang, keputusan paling bijak adalah mencegah keterpurukan dengan berhenti sejenak lebih awal.
Perjalanan kita panjang dan hidup tidak selalu landai. Jalan menuju tujuan sering kali melelahkan. Maka saat keadaan atau hati sendiri mengajak untuk berhenti sejenak, jangan tolak. Anggaplah saat ini kita sedang harus singgah di rest area. Entah karena lelah atau bahkan ketika kita sedang merasa baik-baik saja.
Jangan tunggu rusak untuk diperbaiki. Jangan tunggu hilang untuk mencari arah. Berhentilah sejenak. Salatlah. Tidurlah. Menangislah. Merenunglah. Bernapaslah. Lalu, ketika waktunya tiba, kita akan kembali ke jalanan dengan tubuh yang lebih tenang dan ringan.(*)