MALANG POSCO MEDIA – Era digitalisasi identik era kebebasan informasi. Apalagi dibarengi dengan UU Informasi Publik. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan informasi secara transparan, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. Media massa menjadi salah satu penyambung informasi ke masyarakat dengan UU No 40 Tahun 1999.
Namun di era serba cepat dengan perkembangan teknologi yang setiap saat makin maju, masih ada kebijakan informasi publik yang tidak transparan. Kasus tewasnya mantan mahasiswi FMIPA Universitas Brawijaya, Kamis (14/12) lalu adalah contohnya. Betapa tidak, kampus UB yang menjadi TKP dugaan bunuh diri, bersikap tidak kooperatif.
Respon pihak UB atas kejadian mengenaskan di lingkungan pendidikan itu tak cepat dan tak adaptif. Bahkan terkesan sengaja ditutup-tutupi secara rapat. Padahal kejadian ini, bukan serta merta aib bagi UB. Bukan serta merta juga kesalahan UB. Bisa jadi UB juga menjadi korban, karena pelaku bunuh diri memilih UB menjadi lokasi bunuh diri.
Sampai hari kedua pasca kejadian, pihak UB masih belum bisa kooperatif soal informasi tewasnya mantan mahasiswi FMIPA ini. Akibatnya informasi yang ditulis dan dipublish media ke masyarakat sangat polisi. Artinya sumber utamanya adalah dari pihak kepolisian, khususnya Polsekta Lowokwaru.
Padahal idealnya, kampus ternama di Indonesia ini bersikap cepat, elegan dan kooperatif. Tak perlu menutupi semua informasi yang ada. Apalagi ini kejadian yang tak mungkin ditutup-tutupi. Karena sudah menjadi ranah publik. Justru dengan membuka secara lengkap peristiwanya, terutama terkait dengan data diri korban, maka akan diketahui secara lebih luas informasi, latar belakang persoalan dan sebagainya.
Padahal banyak hal yang ingin dikonfirmasi oleh media. Terutama terkait dengan apa keperluan korban ke kampus? Bagaimana standar operasional gedung FILKOM, sehingga korban leluasa mengakses sampai lantai 12 tanpa diketahui satpam? Kalau peristiwa yang nyata terjadi di UB saja ditutupi, bagaimana masyarakat bisa mengetahui peristiwa-peristiwa lainnya.
Kebijakan penyampaian informasi inilah yang layak dikaji ulang. Sudah bukan saatnya era sekarang menutup nutupi kejadian yang sudah lebih cepat beredar di media sosial. Semakin ditutup-tutupi semakin liar informasi yang berkembang. Karena itulah, kasus bunuh diri di UB ini harus menjadi pelajaran bagi civitas akademika lainnya di Malang Raya. Sehingga apapun yang terjadi di kampus tetap disikapi dengan profesional, bijak dan cepat.
Karena menutupi peristiwa sama juga dengan aksi ‘bunuh diri.’ Kampus yang mengajarkan kebebasan berpikir dan berpendapat secara logis justru bersikap tidak logis. Image kampus akan semakin buruk. Sebaliknya, bila kampus memberikan informasi apa adanya, tentu dengan kebijakan kampus, maka media dan masyarakat juga akan menerima dengan senang hati.
Bagi media dan masyarakat, lengkapnya informasi akan memperjelas persoalan. Tapi minimnya informasi akan menimbulkan disrupsi informasi yang itu justru sama berbahayanya dengan peristiwa bunuh diri itu sendiri.(*)