Malang Posco Media – Tinggal dimana di Swiss? Di kota mana? Pertanyaan ini beberapa kali sering didapat dari teman dan keluarga di Indonesia. Saat menyebutkan Lausanne sedikit yang tahu. Maklum karena Lausanne bukan tempat wisata turis terkenal seperti Zurich, Bern, Luzern, atau daerah wisata favorit interlaken dan sekitarnya. Paling gampang memberikan ancer-ancer yaitu Lausanne dekat dengan Geneva hanya sekitar 40 menit naik kereta.
Lausanne terletak paling selatan, akses menuju Evian Perancis cukup ditempuh dengan kapal boat dari Lac Leman atau Danau Geneva. Walau begitu juga ada yang jadi wisata andalan untuk turis Internasional. Yaitu Musee Olympique atau Museum Oliympic. Sekaligus Lausanne sebagai Kantor Pusat IOC Penyelenggara Olympiade.
Sejak menginjakkan kaki di Lausanne pada Juli 2021 sudah antusias keliling Swiss untuk mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal. Malah di Lausanne sendiri masih jarang. Yang sering kelewatan ya Museum Olympic ini. Banyak Museum berskala lokal maupun Nasional di Lausanne. Sebetulnya saat awal datang di Lausanne bulan Juli tahun lalu bila berkunjung ke Museum Olympic akan pas momentnya. Bersamaan dengan penyelengggaraan Olimpiade 2020 yang diselenggarakan di Tokyo Jepang tahun 2021.
Musee Olympique atau Museum Olympic yang berada di Ouchy dekat Lac Leman. Museum Olympic merupakan museum olimpiade yang menampilkan obor olimpiade, asal usul olahraga dan permainan serta medali olimpiade. Lausanne ditunjuk sebagai tuan rumah IOC (International Olympic Committee).
Kebetulan sekali di Swiss ada sebuah program setiap hari sabtu di awal bulan beberapa museum yang awalnya harus membeli tiket pada hari tersebut gratis. Kami langsung semangat menuju Museum Olympic untuk cari gratisan. Lumayan hemat 40 CHF untuk tiket 2 orang dewasa. 1 CHF : Rp. 15.500. Museum ini termasuk mahal dimana museum lain harga tiketnya 10-15 CHF malah ada juga yang gratis sejak awal. Sedangkan untuk anak-anak dibawah 15 tahun free apabila didampingi orang tua.
Sesampai di museum ternyata kami langsung diarahkan untuk menuju loket. Disebutkan untuk membayar 40 CHF. Yaaah gagal gak dapat gratisan niih. Ternyata Musee Olympique tidak pernah gratis sepanjang tahun. Dia salah satu museum private yang tidak dikelola oleh pemerintah langsung. Jadi tidak menerapkan promo tersebut. Ada museum yang serupa juga yaitu Fifa Football Museum yang ada di Zurich.
Zirco cukup bingung saat masuk ke museum ini. Di lantai 1 langsung melihat piala, medali, foto para atlet dari jaman dahulu hingga terkini. Bergeser menuju cuplikan video olimpiade dari jaman Athena dahulu kala hingga dari tahun ke tahun. Tahun 2020 silam Lausanne menjadi tuan rumah The Youth Olympic Games. Pada tahun ini (bulan Februari) Olimpiade 2022 diselenggarakan di Beijing. Nuansa Musee Olympique juga dihiasi dengan hewan panda yang menandakan khas Beijing.
DoubleZ mulai menyukai museum saat berada di lantai 2. Ada permainan interaktif yang bertujuan untuk melatih keseimbangan, konsentrasi, memori, dan juga gerakan tubuh. Zirco suka dengan permainan memencet lampu yang menyala. Dalam waktu 1 menit dihitung berapa jumlah lampu yang dapat terpencet. Sama seperti permainan di Timezone dalam waktu 1 menit berapa kali kepala buaya kena pukul palu. Hehe.
Sedangkan Zygmund yang masih senang belajar jalan bisa bebas berlarian kesana kemari menikmati luasnya museum. Papi Fariz memilih untuk mencoba bermain ski virtual. Harus bersabar antri karena banyak pengunjung. Terlihat beberapa pengunjung asia dari Jepang dan Korea. Meskipun virtual hanya gerak-gerak kaki saja ternyata berat dan susah. Membayangkan betapa kerennya para olahragawan ski saat bertanding di gunung yang super dingin.
Di Indonesia memang tidak ada gunung salju. Supaya berasa dingin seperti di negara 4 musim, beberapa mall menyediakan wahana permainan ice skating. Zirco bersama tante Nugky (adik satu-satunya) pernah bermain ice skating sampai Zirco ketagihan.
Karena kami tidak berani bermain salju di gunung maka lebih memilih menikmati Ice Skating di Lausanne secara indoor dan kali ini mencoba ice skating indoor. Kebetulan Zirco sudah pernah bermain jadi kali ini dia excited sekali.
Bermain ice skating kali ini juga tidak hanya berempat namun rame-rame dengan keluarga Mbak Yuniarti Yuskar yang sedang menempuh PhD di University of Lausanne (UNiL). Meskipun indoor namun perlengkapan musim dingin tetap melekat di tubuh. Ada beberapa tempat untuk ice skating di Lausanne. Kami memilih di Vaudoise Arena – Prilly. Jarak dari apartemen sekitar 3 kilometer. Harus oper bis dari nomor 25 depan apartemen ke Renens Gare dan dilanjutkan dengan bis nomor 33. Waktu tempuh total sekitar 30 menit.
Vaudoise Arena adalah tempat indoor serbaguna. Bisa digunakan sebagai tempat olahraga, kalau musim dingin begini dipakai untuk hockey, tempat konser, dan acara-acara penting yang dapat menampung banyak orang. Kalau di Surabaya sudah mirip dengan DBL Arena di Jalan Ahmad Yani.
Tiket memasuki wahana per orang dikenakan biaya 8 CHF baik dewasa dan anak-anak. Sedangkan untuk sewa sepatu ice skating sebesar 7 CHF. Papi Fariz dengan sigap mendampingi Zirco untuk bermain. Meskipun keduanya juga sama-sama belum bisa, hehe. Selama 15 menit pertama pemanasan belajar jalan dengan berpegangan dinding. Syifa dan Hafsah – putri Mbak Yuni juga dengan sabar membantu Zirco untuk berjalan pelan-pelan. Mereka berdua sudah lebih mahir, sudah bisa dengan lancar kesana kemari layaknya profesional.
Sudah satu jam berlalu, sudah capek, puas, dan kedinginan. Zygmund sudah rewel ingin turun ke arena ice skating karena bosan digendong terus. Sebelum arena ditutup pada jam 17.00 CET (Central European Time), kami sudah mulai berkemas. Dingin-dingin begini paling enak makan bakso hangat, kata Mbak Yuni. Tapi karena tidak ada abang bakso jadilah kami berdelapan makan di sebuah restoran kebab. Restoran Halal – Maxxi Kebab di daerah Renens. Menu andalan yang dipesan adalah nugget box, pizza kebab, dan tacos. Rata-rata per-porsi harganya 10-15 CHF. Sangat terjangkau dengan porsi besar yang didapatkan. Bahkan untuk pizza kebab bisa untuk 2x makan saya dan suami. Karena saat dine-in tidak habis dan akhirnya dibawa pulang. Hidup di Eropa yang serba mahal tidak boleh sampai menyia-nyiakan makanan. Bijak dalam berbelanja, beli secukupnya. (Okky Putri Prastuti/MPM)