.
Thursday, December 12, 2024

Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan; Jadi Tulang Punggung Keluarga

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA- Korban selamat dan keluarganya masih trauma. Bahkan ada yang tak mau menonton sepak bola. Di sisi lain, mereka yang ditinggalkan sosok penting seperti tulang punggung keluarga harus berjuang demi kelangsungan hidup. Juga tetap menuntut keadilan.

Fisik Nur Saguanto  sudah kembali normal.  Warga Tegalsari  Kepanjen Kabupaten Malang itu salah satu korban selamat Tragedi Kanjuruhan dengan luka retak pada kaki kiri dan iritasi serius pada mata dan kulit sertamemar pada dada.

Kini pria 20 tahun itu sudah  kembali beraktivitas, berusaha membantu kehidupan keluarga. Berdiri tegak, berjalan dengan lancar dan menjabat tangan saat Malang Posco Media datang ke kediamannya, Jumat (29/9) kemarin siang. Pemuda yang disapa Aan itu tetap berusaha ramah.   

“Fisiknya itu sudah kembali normal. Alhamdulillah, sudah bisa jalan dan kerja bantu bapak,” katanya didampingi ibunya, Dewi Fitriyah.

Ia terus berupaya mensyukuri kesembuhannya setelah proses panjang untuk  pemulihan.

“Melihat ke Kanjuruhan (stadion) rasanya tak seperti dulu. Sebelum tragedi itu kan masih bawaannya senang, nonton sepak bola. Sekarang kesannya suram dan tidak enak begitu,” ungkap Aan.

Ia sempat mengalami  kondisi sulit dengan penderitaan sakit pada engkel yang retak ketika dalam kondisi suhu udara dingin. Hal itu berlangsung sekitar enam bulan lamanya. Dia dibantu anggota Tim Gabungan Aremania (TGA) yang mendampingi penanganan luka hingga pulih.

“Sama tukang pijet juga, tak boleh kecapekkan takutnya nanti keseleo lagi, dan tambah sulit menanganinya. Meskipun sekarang sudah tidak terapi. Saat pemulihan memang sempat bengkak lagi kalau lama tidak digerakkan, katanya normal,” tuturnya.

Orang tuanya, khususnya sang ibu, Dewi ikut merasakan trauma karena kondisi anaknya pada saat tragedi. Tak kuasa menahan tangis karena anaknya selamat dari tragedi satu tahun lalu.

Kini, Aan selalu mengintenskan komunikasi dengan sang ibu untuk mengindari rasa khawatir. Aan belum berkeinginan menonton sepak bola lagi karena kekecewaannya. Ia terus berupaya menghilangkan trauma dengan berbagai kegiatan kesukaannya.

“Kadang orang tua heran apapun dibela, beli kaos mahal, dan sekarang dibelain begini. Mungkin saya tidak menonton sepak bola lagi sampai sekitar dua tahun, mungkin baru bisa, karena masih kecewa,” tuturnya.

Kini sehari-hari ia beraktivitas membantu sang ayah di sawah. Sebab, selama ini ia cukup sulit mencari pekerjaan.  Entah apa alasannya, Aan tak memahami betul.

Sempat melamar di pabrik di Kepanjen sebanyak tiga kali. Namun  ia hanya mendapatkan satu kali panggilan. Itu  pun belum bisa diterima.

Ia berharap akses pekerjaan dapat dipermudah oleh pihak berwenang. Termasuk akses pelayanan kesehatan korban dan keluarga korban yang lain. Juga berharap agar terus ada upaya usut tuntas lebih jauh. Ia merasa sebagai korban hanya mendapatkan bantuan sosial dan tak bisa lega dengan rasa keadilan.

“Pada 1 Oktober nanti saya akan datang ke Kanjuruhan untuk doa bersama. Setelah setahun tidak ke sana dan ingin mendoakan yang lain, Meski tidak kenal, tapi dalam kondisi yang sama,” imbuh Aan.

Selain korban selamat seperti Saguanto, ada pula keluarga korban yang harus ditinggalkan tulang punggung keluarga. Seperti Rizal Putra Pratama asal Tumpang. Ia kehilangan dua anggota keluarganya yakni ayah kandung dan adiknya yang berusia belasan tahun. Beberapa waktu berselang setelah Tragedi Kanjuruhan, adiknya yang lain turut mengembuskan napas terakhir pasca trauma berat dan stres. Kini, Rizal harus menggantikan sang ayah untuk mencari nafkah keluarga.

“Setelah Tragedi Kanjuruhan selama setahun ini yang saya rasakan bersama ibu saya.  Terus terang saja menjalani kehidupan seperti dulu lagi  sangat susah,” lirihnya.

“Ini ujian yang sangat berat bagi saya dan ibu saya. Kehilangan ayah dan adik saya 1 Oktober dan berselang 28 hari adik saya yang terkecil pun ikut menjadi korban karena dia tekanan batin, trauma berat ditinggal ayah,” sambung Rizal.

Adik Rizal, Rifky meninggal di Kanjuruhan saat kejadian. Ia merasa kehilangan kebahagian yang dirasakan bersama ibunya. Total ada tiga anggota keluarganya yang berpulang. “Kedua adik saya, umur mereka masih 13 tahun dan 11 tahun yang masa depannya masih panjang, dan telah kehilangan tulang punggung keluarga, hingga saya harus menafkahi sampai saat ini,” terangnya.

Sebelum Tragedi Kanjuruhan, Rizal bercerita, dulu ia bekerja  membantu ayahnya menjadi sopir jip wisata Bromo hingga truk.  Kini, sembari melakukan  hal yang sama harus ditambah open trip dan private trip Bromo. Ia juga  banting tulang dengan membantu sang ibu berjualan tahu petis sehari-hari.

“Alhamdulilah cukup, intinya kita bersyukur yang utama, kalau untuk pekerjaan lain, masih tetap belum,” sebutnya.

Mengenai bantuan sosial dari pemda dikatakannya hanya ia terima pada  Oktober tahun lalu.  Seiring berjalannya waktu, belum pernah ia menerima  lagi bantuan sejenis. “Mungkin saya tidak berharap mendapat bantuan dari pemda. Yang saya harapkan cuma hanya satu, keadilan ini ditegakkan seadil-adilnya, karena belum memenuhi rasa adil bagi keluarga korban yang telah kehilangan,” tegas Rizal.

 Dia berharap kejadian tragedi kelam 1 Oktober itu tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Ia juga menagih janji Presiden Jokowi yang akan mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Ia ingat betul diucapkan Presiden Jokowi  saat di RSSA Malang. Langkah keluarga korban di jalur hukum selama setahun ini masih harus terus berjuang. Itu karena prosesnya dirasa masih berbelit-belit.

“Sedangkan laporan saya laporan model B di Polres Malang diberhentikan penyelidikannya. Saya juga meminta semua elemen masyarakat agar memperingati tanggal 1 Oktober sebagai hari duka persepakbolaan nasional,” pungkasnya. (tyo/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img