Wednesday, October 15, 2025
spot_img

Sedang Alami Titik Terendah, Tapi Pertahankan Kualitas Produk

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Perajin Rotan Kota Malang Bertahan di Tengah Anjloknya Pemesanan

Moch R. Mardian bertahan di tengah sepi usahanya. Perajin rotan kelahiran Februari 1964 merasakan anjloknya omzet usaha yang ditekuninya. Ia berharap pemerintah turun tangan melalui kebijakan yang memproteksi kerajinan rakyat.

-Advertisement- HUT

MALANG POSCO MEDIA– Ramainya arus lalu lintas Jalan Raya Balearjosari Kota Malang, belum bisa mengubah sepi dan sunyinya suasana sederet kios kerajinan rotan di sana. Sudah hampir menjelang sore, dagangan kriya olahan rotan di salah satu kios di sana hanya berkurang satu produk saja. Kondisi itu setali tiga uang dengan delapan kios lain yang ada deretannya.

Hal itu yang dirasakan Moch R. Mardian, salah satu perajin sekaligus pengusaha rotan yang kini tengah meredup usahanya. Tahun ini menjadi titik terendahnya, karena penjualan sangat anjlok dibandingkan 15 tahun silam. Ia bertahan sekuat tenaga untuk tetap setia menjadi seorang perajin rotan, yang kini juga makin langka.

“Mulai tahun 2024 sama tahun 2025 ini titik terendah saya. Sepi sekali. Sampai jam 2 hampir jam tiga ini saja, baru terjual satu. Itu pun yang harganya cuma Rp 40 ribu. Untungnya hanya seberapa, ya disyukuri,” ucap Mardian, yang tampak mencoba tegar dengan senyum tipisnya.

Kondisi ini, jauh berbeda dibandingkan saat awal ia bersinar menjadi perajin rotan di Kota Malang. Sekitar tahun 2005, Mardian pertama menjadi perajin rotan di Cirebon. Namun saat itu, ia statusnya hanya seorang pekerja karena ikut dengan bosnya.

Baru pada tahun 2009, dengan berbekal empat tahun pengalaman di Cirebon, Mardian langsung membuka galeri sekaligus kiosnya di Jalan Raya Balearjosari. Saat itu, belum banyak kios yang menjual rotan. Mardian satu satunya yang punya keterampilan berbeda dengan perajin rotan lokal Malang. Dengan bekal pengalaman itu, Mardian dengan ulet membuat beragam produk rotan.

Tidak hanya meja, kursi, lemari, atau rak buku saja. Tapi juga ada tempat lampu, miniatur bunga, bahkan miniatur menara Eiffel.

“Untuk membuat miniatur menara Eiffel ini butuh waktu satu bulan. Kalau yang biasa, ada yang satu hari, ada juga yang beberapa jam saja. Kebetulan saya  empat tahun di Cirebon, itu kan pusat rotan yang paling bagus di Indonesia. Jadi waktu itu saya buka sendiri di sini,” beber pria asli Malang tersebut.

Gayung bersambut, hasil karya Mardian rupanya banyak diminati oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Tidak hanya untuk kebutuhan pernikahan atau parcel hari raya, saat itu banyak perhotelan dan beragam dunia usaha yang memborong hasil karya Mardian.

Sehingga, Mardian dalam waktu singkat memiliki banyak pelanggan. Cukup melalui telepon, ratusan kriya rotan hasil kerajinan Mardian terjual tiap harinya.

“Satu hari waktu itu bisa terjual 200 pieces, 300 pieces, sampai 400 pieces juga sering. Apalagi untuk baki itu cepat terjual di hotel-hotel. Dulu habis pakai buang, jadi cepat pesan lagi. Sekarang sudah jauh beda. Sehari hanya satu-dua saja, bagus itu pernah terjual 10 pieces, itu pun jarang sekali,” sebut pria kelahiran 28 Februari 1964 tersebut.

Bersinarnya usaha kerajinan rotan ini kemudian langsung redup tepatnya ketika pandemi Covid-19 melanda 2021 lalu. Mardian yang sebelumnya sempat mempekerjakan sedikitnya 10 orang pekerja dan memasok produk rotan dari puluhan perajin lokal, langsung jatuh tidak berdaya saat pandemi.

Penjualan merosot tajam hingga akhirnya ia hanya mampu mempekerjakan tiga  pekerja saja. Dari 60-an perajin rotan lokal, juga banyak yang alih usaha hingga akhirnya saat ini tersisa 15 perajin rotan saja termasuk dirinya yang masih aktif.

“Dulu pemasaran bisa sampai India, Nigeria, Malaysia, sampai Australia. Begitu pandemi, langsung berhenti. Semua daerah Indonesia pernah kami kirim. Lalu kami kan juga tergantung sama pasar Bali dan Jogja. Kalau di sana ramai, otomatis kami di sini juga ramai. Tapi sudah sejak pandemi, dari sana turun terus sampai sekarang sepi,” kata dia.

Redupnya usaha hasil kriya rotan ini, Mardian mensinyalir karena adanya pengaruh dari gempuran barang-barang impor serupa dari Cina. Barang masuk dari Cina ini dijual dengan desain yang mirip dan harga sangat murah, namun dengan bahan plastik.

Rupanya produk Cina itu sukses membanjiri pasar Indonesia dan akhirnya perajin rotan seperti dirinya tersingkir. Padahal, dari segi kualitas, sebenarnya rotan memiliki banyak keunggulan dibandingkan plastik. Meski memang, jika harus bersaing secara harga, tidak bisa semurah barang Cina.

“Plastik monoton itu saja. Kalau plastik, begitu rusak sulit dibuang. Kalau ini, ada rotan mudah dibakar, ada yang bahan pelepah pisang juga dibuang begitu saja bisa jadi pupuk,” tukasnya.

Akibat gempuran barang impor ini, usahanya pun sampai menemui titik terendahnya dua tahun terakhir ini. Banyak perajin rotan yang kemudian tidak betah dan akhirnya beralih usaha saking susahnya menjual produk rotan.

Mardian sendiri mengaku memang sengaja tidak menjual secara online karena dirinya tidak tega dengan tenaga pemasaran yang selama ini ia rangkul. Dia menyerahkan pemasarannya ke ‘tangan kedua’ tersebut sejak awal hingga saat ini. Kepercayaan yang ia bangun tidak ingin ia rusak.

Sementara dirinya, Mardian mengaku masih akan tetap menekuni kerajinan rotan tersebut. Selain karena kecintaannya pada kerajinan itu, Mardian juga masih punya semangat dan yakin masih memiliki ide-ide kreatif  dan inovatif yang diyakini bakal menjadi salah satu cara mengatasi sepinya usaha itu.

“Jadi kalau alih usaha sekarang itu, juga saya masih mikir-mikir usaha apa yang bisa jalan. Jadi saya ya bertahan saja. Yang kami lakukan ya sampai jemput bola. Semua hotel saya datangi, menawari, ya lumayan ada yang mau,” tutur dia.

Menyikapi kondisi yang berat seperti ini, Mardian mengaku tidak akan menyerah dengan keadaan. Ia siap melalui hari-hari yang sepi ini dengan semangat dan keyakinannya. Namun, Mardian juga berharap kepada pemerintah untuk bisa membantu menyikapi derasnya barang impor yang serupa seperti produknya tersebut. “Mungkin pemerintah bisa membantu pameran di berbagai kota. Kalau pameran hanya di dalam kota, orangnya tidak beli. Selain itu, kami juga berharap barang-barang plastik itu dikurangi oleh pemerintah. Kalau dikurangi, perajin saya yakin bisa ‘on’ lagi. Tidak hanya perajin rotan lho, perajin bambu juga sama, terdampak sekali,” pungkas dia.(ian/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img