MALANG POSCO MEDIA- Sejak dulu Kota Malang memang kota pendidikan. Terutama memasuki era tahun 1900-an. Saat pendudukan kolonial Belanda muncul sejumlah sekolah. Sekolah khusus untuk pribumi pun ada, salah satunya Sekolah Kartini.
Sekolah-sekolah Belanda sendiri sangat beragam. Mulai dari sekolah umum seperti Hoogere Burger School (Sekolah Menengah Belanda) atau Algemeene Middlebare School (Sekolah Menengah Umum). Selain itu ada juga sekolah agama seperti Neutrale Lagare School (SD Santa Maria). Namun begitu di periode 1900-an juga sudah bermunculan sekolah pribumi.
Pemerhati sejarah Kota Malang Agung Harjaya Buana mengatakan yang sangat menarik justru Kota Malang juga memiliki sekolah yang mengangkat model pembelajaran dan pendidikan tentang kerumahtanggaan atau keputrian. Yakni dibangun sebuah sekolah bernama Malangsche Kartinischool atau Sekolah Kartini yang berlokasi di sekitar Jalan Kelud atau Bareng Kartini.
“Dalam kurikulumnya tidak hanya pendidikan umum seperti baca tulis hitung, tapi juga memberikan pendidikan keputrian. Seperti menjahit, memasak dan kegiatan yang mempersiapkan wanita siswa menjadi sesorang yang terampil kehidupannya. Ini yang menarik dan tidak semua kota memiliki Sekolah Kartini. Pusatnya di Jepara dan Semarang,” terang Agung.
Sekolah Kartini dibuka di Malang dan menerima murid pertama pada tahun 1915. Didirikan oleh Kartinifonds, yayasan yang didirikan tahun 1913 di Belanda. Salah satunya Mr JH Abendanon. Dia menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1900-1905) serta yang menerbitkan kumpulan surat-surat RA Kartini menjadi buku Habislah Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911.
Keberadaan Sekolah Kartini itu pun akhirnya memberikan inspirasi pada daerah tersebut. Sehingga di daerah atau kawasan itu juga lekat disebut dengan Bareng Kartini. Namun karena di dekatnya terdapat gudang kopi dan membutuhkan perluasan, beberapa waktu kemudian akhirnya Sekolah Kartini ditutup. Aktivitasnya berpindah ke Jalan Kawi yang sekarang menjadi SDN Bareng 2 di samping Kantor KNPI.
Tidak hanya itu, sekolah milik dari etnis Tionghoa juga muncul. Masing-masing suku atau marga banyak membangun lembaga pendidikan untuk warga non Belanda. Sekolah-sekolah untuk warga Tionghoa ini banyak ditemukan di sekitar wilayah Jalan Martadinata.
“Yang tertua ada di belakang Kantor BRI Jalan Martadinata, depan eks Bioskop Garuda. Di situ tidak hanya satu, tapi dua sekolah,” bebernya. Termasuk juga salah satu bangunan di SMAN 2 Malang. angunannya persegi delapan dan usianya diduga sudah lebih dari 100 tahun karena bangunan itu juga tercantum dalam foto udara tahun 1920.
Dikatakan Agung, sistem pendidikan saat itu di Kota Malang juga terbilang relatif maju. Menyaingi beberapa kota besar di Indonesia. Misalnya seperti Batavia atau Jakarta yang sudah mempunyai sekolah kedokteran lalu juga menyaingi Bandung yang telah memiliki institut teknik dan Bogor atau Magelang yang juga mempunyai banyak sekolah bagus. Di luar Jawa ada juga seperti di Padang dan Medan dengan banyak sekolah bagus.
“Di Malang itu sistem sekolahan dibandingkan dengan di Surabaya atau kota lain di sekitar itu justru lebih lengkap di Malang. Indikatornya banyak pelajar berasal dari sekitar Malang dan wilayah Indonesia bagian timur. Seperti Lombok, Sumbawa, hingga NTT. Maka juga disebut kota pelajar,” ungkap Agung.
Pendidikan di Kota Malang terus berkembang hingga makin banyak jenis sekolah dengan berbagai disiplin ilmu. Pada sekitar tahun 1920-an, Kota Malang memilki sekolah perkebunan. Baik sekolah perkebunan kopi, sekolah perkebunan tebu hingga sekolah perkebunan karet. Jauh kedepan selanjutnya atau periode 1960-an bahkan Kota Malang mempunyai sekolah setingkat SMA dengan jurusan kehakiman dan jaksa. (ian/van)