Cerpen Oleh Anna Jihan Oktiana
Teka teki adalah kesukaanku. Terlebih jika aku berhasil memecahkan teka-teki itu. Rasanya sangat puas. Dan ingin terus menerus memecah suatu teka-teki. Kali ini aku harus menyusun puzzle yang tak sengaja terjatuh dan berantankan. Menyusunnya dengan benar untuk membentuk suatu gambar atau kata.
“Nah kok puzzlenya kurang satu?” pekikku. Aku mencoba mencari dibawah kotak puzzle itu. Tapi tidak ada. Tangan aku gerakan dengan cepat. Bola mata juga terbuka lebar untuk membantuku mencari kepingan puzzle ini. Saat kubuka buku catatanku, aku terdiam sejenak, memandang foto yang tersimpan diantara lembaran kertas itu.
Aku mencoba mengingat pemilik wajah dan senyum ini. “Gilang?” kataku dengan spontan. Ya. Gilang adalah sahabat baikku. Yang sempat pernah kutaksir. Namun aku pendam perasaanku dan sampai sekarang Gilang tidak mengetahuinya.
Aku ingat, sudah lima tahun lamanya Gilang pergi meninggalkanku. Dia harus melanjutkan sekolah di Amerika. Dan sekotak puzzle ini adalah kenangan terakhir yang ia berikan padaku.
Aku baru menyadari, bahwa bagian puzzle yang hilang itu dibawa oleh Gilang ke Amerika. Katanya sih buat kenangan. Hei bagaimana kabarmu?
***
Bintang bertaburan memancarkan sinarnya. Mengingkari bulan yang tampak tersenyum sumringah. Malam ini langit sangat mempesona. Mungkin dia hanya mau memperkenalkan perempuan barunya. Hahh! Sungguh, itu hal yang sangat kubenci.
Tak ada hal istimewa ataupun seorang perempuan yang aku lihat. Hanya kegelapan pekat yang terus mencoba menyentuh mataku.
“Untuk apa kau membawaku kemari? Dimana perempuan barumu itu?” celotehku tidak suka.
“Ah kau ini, bukan itu yang akan aku tunjukkan padamu,”
“Lantas?” kataku memasang muka penasaran dihadapannya.
“Pejamkan matamu,” ucapnya pelan. Akupun menurut dengan perintahnya. Lalu dengan pelan Gilang menuntunku untuk berjalan. Sebenarnya hal istimewa apa yang ingin Gilang tunjukkan padaku? Rasa penasaranku semakin bertambah.
“Sekarang buka matamu,”
Perlahan aku buka mataku, secercah sinar mulai terlihat di depanku. Saat mataku terbuka sempurna, mataku terbelakak melihat hal yang begitu romantis di depanku.
Lilin-lilin yang ditata rapi mengelilingi karpet merah di tengahnya. Bermandikan cahaya lampu taman yang terpancarkan.
Aku menengok ke arah Gilang dengan menunjukkan raut muka bahagia padanya. Diapun tersenyum padaku, dan menarikku dalam rangkulan hangatnya.
Seketika tubuhku serasa gemetar. Desiran nafas terasa berantakan. Terlebih jantung yang tiba-tiba berdetak begitu cepat, tidak seperti biasanya.
Preuitt!
Perlahan satu persatu lampion mulai muncul dari balik semak-semak. Berterbangan di gelapnya malam. Sungguh, Gilang berhasil membuatku terpelongo menyaksikan ini semua.
Kami beradu pandang dan saling bertukar senyum. “Kan aku sudah membawamu kemari, lain kali kamu temani aku bertemu dengan seseorang ya,” ujarnya.
Aku melirik kearahnya, “yahh seorang perempuan,” timpalnya.
Bug! Aku menyiku dadanya dengan sikuku. Dan menunjukkan raut muka jengkel padanya. Bukannya marah ataupun apa, Gilang malah tertawa renyah padaku. Romantisme yang tersaji membuatku lupa bahwa hawa dingin terus mencoba memaksa masuk ke persendian tubuh.
***
Menit berganti jam, hari melanjutkan ke peraduan tahun. Sudah terlampau lama aku dan Gilang bersahabat. Tapi persahabatan itu mengalami keretakkan karena diriku.
“Hei Gilang ya?” sapa seorang perempuan cantik.
“Iya, kamu Sarah?” perempuan itu mengangguk, dan mereka saling berpelukan.
Ah! Aku sebal dengan moment ini! Aku seperti lalat yang sedang mengitari mereka. Hahh. Aku mendengus sebal.
“Oh ya malam ini bisa bertemu?” ketus Gilang.
“Hmm bisa,”
Aku mencubit perut Gilang dan menunjukkan raut muka sebal. Tetapi Gilang tidak memperdulikanku.
“Eh jangan mau pergi sama Gilang, dia itu banyak perempuan simpenan,” ketusku dengan seenaknya.
Sontan mereka berdua langsung memandangiku. “Kau ini sukanya merusak suasana saja! Tidak bisa melihat sahabat sendiri senang!” ucap Gilang dengan tegas dan tatapan memerah.
“Oh jadi gini, aku hanya dimanfaatkan olehmu untuk menemanimu bertemu dengan setiap perempuan barumu?” kami saling beradu pandang “ok! Aku akan pergi dari sini!” aku segera berlari meninggalkannya.
“Pergi saja dan jangan kembali!” teriaknya dari jauh.
Aku terus berlari sejauh mungkin dengan linangan air mata. Tak peduli dengan ribuan mata yang terus memandangiku.
Selebihnya setelah kejadian itu aku dan Gilang tidak pernah bersama lagi. Aku cukup kesal dengan perilaku Gilang waktu itu.
Tapi sebenarnya Gilang terus berusaha mencoba menemuiku, sekedar untuk meminta maaf padaku. Namun, aku tak pernah mau untuk menemuinya. Aku hanya ingin sendiri dan merenungi, sebenarnya ini salah siapa.
Hingga suatu hari Gilang mengirim pesan padaku bahwa dia akan bertolak ke Amerika. Tapi aku mencoba untuk mengabaikannya, karena aku pikir, mungkin ini salah satu caranya agar aku mau menemuinya lagi.
Entah kenapa hatiku meronta-ronta ingin mencegah agar Gilang tidak pergi. Dengan segera aku mencoba mendatangi rumahnya. Sayang. Gilang sudah terlanjur pergi ke bandara. Segera aku menyusulnya berharap dia belum terbang dengan pesawatnya.
Dengan nafas yang terengah-engah aku terus berlari diantara ramainya orang berlalu lalang. Disini, di bandara. Aku tak kunjung menemui Gilang.
Air mata kembali menetes, harapanku pupus sudah. Mungkin Gilang sudah pergi dan meninggalkanku disini sendiri. Aku putuskan untuk pulang, sesekali aku menengok ke belakang. Berharap Gilang muncul dihadapanku, ah itu semua tak mungkin.
“Dinda!”
Aku tersenyum dibalik air mata. Karena aku pikir itu hanyalah halusinasiku semata. Tapi panggilan itu terus menerus menghantam telingaku, akhirnya kucoba untuk menengok.
Ternyata benar itu Gilang. Segera aku berlari untuk menghampirinya. Dengan air mata haru yang mengalir dari mataku. Hap! Aku segera memeluk Gilang erat dan memintanya agar tidak pergi.
Gilang mengusap kepalaku pelan dan memegang wajahku. “Jangan menangis lagi,” Gilang menghapus air mataku.
“Maafkan aku. Ini semua salahku,” sahutku penuh rasa bersalah.
Dia mengangguk dan tersenyum padaku. “Mmm aku punya sesuatu untukmu,” dia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya dan memberikannya padaku.
“Itu puzzle untukmu. Tapi satu keping puzzle itu ada pada diriku. Jadi jika kau memainkan puzzle ini, kau akan selalu teringat padaku,” jelasnya.
“Jangan pergi!” aku menarik tangan Gilang saat dia akan berlalu pergi. Gilang membelai wajahku “aku tidak akan pergi. Aku selalu disini, di hatimu,” dia menunjuk ke arah hatiku.
Hap! Aku kembali memeluknya erat. Dan membiarkan air mata terus membanjiri wajahku. Aku benar-benar tidak mau Gilang pergi.
“Tunggulah sampai aku kembali. Kau sahabat baikku,” katanya dengan melepas pelukanku. Aku mulai mengerti, bahwa aku harus merelakannya. Aku mengangguk, walau sebenarnya aku berat melalukannya.
Dia melambaikan tangan padaku dan berangsur menghilang dari hadapanku. Seketika bulir bening kembali mengalir, kali ini tampak senyuman yang terpancar dari wajahku. Selebihnya, aku jalani hari-hariku sendiri dan akan menunggu kedatangannya sampai kapanpun. Puzzle ini akan selalu mengingatkanku pada kenangan yang pernah aku ukir bersama dengan dirinya. Sekaligus pelipur rasa rindu padanya.
Ibarat puzzle yang berantakan. Jika disusun akan menjadi sesuatu yang indah kembali. Seperti itulah kenangan, seberantak apapun jika serpihan kenangan itu menyatu maka akan menjadi sebuah cerita indah yang sulit untuk dilupakan.
Terimakasih atas kenangan berharga yang engkau berikan. (*/cerpenku/bua)