Mengenal Lebih Dekat Sekolah Tanoko, Sekolah Gratis untuk Anak Yatim-Piatu
Jalanan berliku dan sempit yang harus ditempuh seolah menggambarkan perjuangan menuju tempat ini. Sebuah sekolah yang jauh dari sorotan, tapi penuh dengan harapan SMK Tanoko, sekolah gratis untuk anak-anak yang telah kehilangan orang tua mereka, namun tidak kehilangan masa depan.
MALANG POSCO MEDIA – Bangunan sekolah berdiri kokoh di atas lahan luas, dikelilingi hijau perbukitan dan kebun produktif. Sepintas, tak ada yang menyangka bahwa di tempat sunyi inilah, seorang taipan mengukir jejak sosialnya secara diam-diam. Hermanto Tanoko, nama besar di balik merek-merek cat ternama dan jaringan hotel mewah di Indonesia, memilih jalur berbeda saat berbicara tentang kontribusi. ia mendirikan sekolah untuk anak-anak yatim piatu. Tanpa publikasi, tanpa sorotan kamera.
“Pak Hermanto selalu berkata, ‘Anak-anak ini hanya kurang kesempatan. Bukan kurang kemampuan’,” tutur Aris Cahyono, S.Pd., M.Pd., Kepala SMK Tanoko, saat menyambut Malang Posco Media di ruang tamu sekolah yang sejuk.
Sekolah ini berdiri pada tahun 2023, jauh sebelum pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat di tahun 2025. Di sinilah, anak-anak yang kehilangan tempat bersandar diberi kembali hak mereka untuk bermimpi tanpa harus membayar sepeser pun.
Hermanto Tanoko tidak main-main. Visi besarnya sederhana tapi berani, mencetak satu juta pengusaha masa depan dari nol. Maka SMK Tanoko dibangun bukan sekadar tempat belajar akademik. Lebih dari itu, sekolah ini dirancang sebagai laboratorium hidup, tempat anak-anak belajar menjadi mandiri, kreatif, dan tangguh.
“Siswa di sini kami didik layaknya calon entrepreneur. Selain kurikulum perhotelan, mereka juga ikut kegiatan seperti school farming. Mereka tanam kopi, sayur hidroponik, hingga ternak lele. Hasilnya disuplai ke jaringan hotel milik Pak Hermanto,” jelas Aris.
Pria asal Bojonegoro itu menepis tentang isu yang beredar di luar sana jika Sekolah Tanoko hanya menerima satu agama tertentu. Sekolah Tanoko menerima siswa dari berbagai agama. Bahkan, di dalam area sekolah didirikan enam rumah ibadah untuk fasilitas para siswa.
Di balik kebun kopi yang mereka rawat sendiri, ada tangan-tangan kecil yang mulai memahami arti tanggung jawab, keberanian, dan nilai kerja keras. Semua ini bukan pelajaran dari buku teks, melainkan dari kehidupan yang mereka jalani setiap hari.
SMK Tanoko kini menampung 66 siswa dari berbagai penjuru negeri. Mereka semua tinggal di asrama, makan bersama, belajar bersama, dan menjaga lingkungan sekolah bersama. Di tempat ini, mereka tidak hanya mendapat ilmu, tetapi juga menemukan kembali arti keluarga.
“Hidup di sini mengajarkan kami saling bantu. Kami piket, bersih-bersih, dan belajar jadi orang yang bisa diandalkan. Karena ini adalah rumah kedua bagi kami,” ujar salah satu siswi sambil tersenyum malu-malu.
Tak ada cleaning service di sekolah ini. Setiap sudut bersih karena siswa yang merawatnya. Mulai pagi dengan senam bersama, lalu belajar di sekolah hingga sore hari. Malam diisi dengan kegiatan keagamaan, diskusi, dan mentoring. Bahkan enam rumah ibadah berdiri berdampingan di dalam kompleks sekolah, menegaskan bahwa keberagaman adalah nilai dasar yang dirawat di sini.
Yang membuat sekolah ini berbeda adalah cara sang pendiri terlibat. Proses seleksi siswa misalnya, tidak hanya dilakukan oleh guru dan kepala sekolah. Calon siswa juga harus menjalani wawancara langsung dengan Hermanto Tanoko.
“Beliau tidak mau sekadar diberi data. Harus bertemu langsung dengan anak-anak. Katanya, ia ingin melihat mata mereka, semangat mereka,” kenang Aris.
Tak semua bisa masuk. Hanya mereka yang benar-benar sesuai kriteria, anak yatim, piatu, atau yatim piatu dari keluarga tidak mampu. Seleksi dilakukan ketat: mulai administrasi, psikotes dua kali, hingga interview. Setelah diterima, semua biaya dari makan, asrama, perlengkapan, hingga pelatihan entrepreneur ditanggung penuh oleh Hermanto Tanoko Foundation.
Di tengah gegap gempita CSR yang sering jadi ajang pencitraan, langkah sunyi Hermanto Tanoko justru terasa lebih nyaring. Ia memilih membangun masa depan secara diam-diam, satu anak, satu mimpi, satu harapan dalam sekali waktu.
Di sekolah yang berdiri tenang di kaki bukit di Pasuruan ini, generasi baru tengah tumbuh dengan keyakinan bahwa masa lalu tak harus menentukan segalanya. Bahwa menjadi yatim bukan akhir, tapi awal dari cerita hebat yang akan mereka tulis sendiri. Dan seperti jalan menuju Sekolah Tanoko yang berliku, perjuangan mereka tak mudah. Tapi bukankah jalan yang sulit sering membawa kita ke tempat yang paling indah.(noer adinda zaeni/aim)