MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU – Kota Batu sempat mendapat sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun hal tersebut malah menjadi titik balik bagi Kota Batu melakukan perbaikan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu Dian Fachroni mengatakan sanksi administrasi diberikan karena pengelolaan sampah masih menggunakan open dumping. Namun pengelolaan open dumping sudah tidak dilakukan setahun lalu setelah TPA Tlekung ditutup.
“Memang harus diakui Kota Batu sempat mendapat sanksi dari KLH. Namun kami langsung berbenah dan melakukan berbagai langkah perbaikan hingga membuat Kota Batu masuk kategori kota dengan respons tercepat atas instruksi Menteri LH,” ujar Dian kepada Malang Posco Media, Jumat (5/9) kemarin.
Perbaikan dibuktikan dengan sekitar 70 persen sampah di Kota Batu sudah berhasil tertangani melalui Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R), Bank Sampah Unit, serta fasilitas pengelolaan di hulu. Sedangkan untuk 20-30 persen lainnya, lanjut dia, masih ditangani di hilir atau di TPA Tlekung.
“Meski begitu kami mencatat masih terdapat sekitar 10-15 ton sampah per hari yang belum tertangani. Terutama dari sektor usaha. Untuk menuntaskan masalah tersebut, DLH tengah menyiapkan program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) dengan Malang Raya,” terangnya.
Sisa PR tersebut, lanjut dia, akan dilakukan secara bertahap dengan waktu sekitar 1–2 tahun ini. 100 persen sampah di Kota Batu terkelola dengan baik. Saat ini capaian Kota Batu sudah masuk kategori Sertifikat Adipura. Namun DLH menargetkan lebih tinggi, yakni Piala Adipura bahkan Adipura Kencana.
Rencananya penilaian Adipura berlangsung hingga Desember 2025. Sedangkan hasil akhir akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada Februari 2026 mendatang. “Kami optimis dengan berbagai langkah yang dilakukan, Kota Batu bisa mencapai target tersebut. Meski untuk sistem penilaian Adipura kini lebih kompleks dibanding sebelumnya,” imbuhnya.
Untuk penilaian Adipura meliputi tata kelola sampah menjadi indikator utama dengan bobot 50 persen. Kemudian 20 persen dari SDM dan pembiayaan operasional. Sedangkan sisanya dari sarana prasarana pendukung. “Bedanya penilaian dulu lebih hanya beberapa titik tertentu yang sudah ditetapkan. Tapi sekarang ini lebih ke melihat situasi riil di berbagai titik. Bahkan tim penilai juga hadir secara acak ke wilayah tanpa pemberitahuan,” pungkasnya. (eri/lim)