Friday, September 19, 2025
spot_img

Sepak Bola, Luka dan Ideologi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

ANGKA 38 bukan sekadar angka biasa. Secara filosofis, angka 38 sering dikaitkan dengan kedewasaan, pengalaman dan perubahan. Bahkan, lebih jauh, dihubungkan dengan kepercayaan diri, kreativitas, ekspresi diri, optimisme, kegembiraan, keberanian, kelimpahan dan realitas. Perspektif filosofis tersebut, idealnya, Arema sebagai klub sepak bola telah berada dalam level kematangan, gembira, kreatif, dan optimis.

          Harus diakui secara objektif, Arema harus berjuang dengan susah payah untuk lebih matang. Apalagi, harus bisa gembira, kreatif dan optimis. Konsekuensinya, Arema dalam tiap langkahnya selalu memiliki cerita tersendiri dalam lembaran sejarahnya. Cerita suka. Cerita duka. Bahkan, luka.

          Sepak bola bukan sekadar olahraga, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat identitas, mempromosikan nilai-nilai, dan bahkan menyampaikan pesan ideologis. Ini bisa dilihat dari banyak fenomena di dunia sepak bola, baik di level klub maupun tim nasional.

          Arema bukan lagi klub sepak bola. Arema adalah ideologi. Sepak bola juga bisa digunakan untuk menyampaikan pesan ideologi politik. Sejarah mencatat bahwa banyak rezim totaliter atau otoriter menggunakan olahraga ini untuk memperkuat legitimasi mereka.

          Sepak bola juga memiliki potensi untuk menyatukan kelompok-kelompok yang terpecah oleh ideologi politik. Namun, ada juga banyak kasus di mana sepak bola menjadi ajang konflik ideologis. Banyak contoh dan pelajaran atas rivalitas dan konflik ideologis dari klub-klub di Eropa, Amerika Latin. Termasuk di Indonesia sendiri.

          Sepak bola juga bisa menjadi alat untuk menyuarakan isu sosial dan hak asasi manusia. Para pemain sepak bola, terutama yang memiliki pengaruh besar, sering kali menggunakan platform mereka untuk berbicara tentang masalah sosial. Seperti rasisme, ketidaksetaraan gender, atau perubahan iklim.

          Sepak bola bukan hanya sekadar permainan; ia adalah ruang dimana banyak isu besar bisa dihadirkan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

          Sepak bola adalah luka.  Sepak bola adalah cermin dari masyarakat tempat ia berkembang. Ketika masyarakat mengalami kesulitan —baik itu krisis ekonomi, ketegangan politik, atau kerusuhan sosial— sepak bola sering kali menjadi medan untuk mengekspresikan luka-luka kolektif tersebut.

          Misalnya, dalam konteks negara-negara yang dilanda konflik, seperti Kolombia atau Yugoslavia pada masa lalu, sepak bola menjadi cara untuk mengatasi atau bahkan melupakan luka sosial yang lebih besar. Meskipun sepak bola membawa luka, ia juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan.  

          Sepak bola, dengan segala luka yang ditinggalkannya, juga memiliki kemampuan untuk membawa kebahagiaan dan harapan. Di lapangan hijau, luka yang ada seringkali bisa sembuh dengan kemenangan, persahabatan, dan pencapaian kolektif. Sepak bola, meskipun penuh dengan tantangan, tetap menjadi olahraga yang bisa menyatukan, menghibur, dan memberikan kebanggaan, meskipun dalam bentuk luka yang harus diterima.

          Sepak bola di Indonesia adalah lebih dari sekadar permainan; ia adalah bagian dari identitas, simbol perlawanan, dan refleksi dari ideologi yang berkembang di masyarakat. Arema sebagai klub sepak bola memiliki pengaruh besar dalam peta sepak bola Indonesia. Tidak hanya dikenal karena prestasinya di lapangan, tetapi juga karena kedekatannya dengan penggemar, budaya lokal, dan perjuangan yang terhubung dengan luka kolektif.

          Narasi Arema tidak hanya sekadar tentang kemenangan dan kekalahan, tetapi juga tentang perjuangan melawan berbagai bentuk ketidakadilan, baik itu dalam dunia sepak bola itu sendiri maupun dalam konteks sosial-politik yang lebih besar.

          Di balik klub ini, ada luka-luka yang membekas, baik fisik, emosional, maupun ideologis, yang menciptakan sebuah identitas kuat yang mempersatukan Aremania —sebutan bagi suporter Arema—dalam satu perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

          Luka adalah bagian dari perjalanan Arema yang tidak bisa dipisahkan. Luka yang dimaksud tidak hanya yang terlihat pada diri pemain. Ataukah luka emosional dan sosial yang datang dengan setiap kekalahan atau ketidakadilan.

          Salah satu luka terbesar yang dialami oleh Arema adalah tragedi yang terjadi pada 2014, ketika sebuah peristiwa kelam menimpa Aremania. Tragedi Kanjuruhan, yang terjadi pada 1 Oktober 2022, merupakan salah satu luka terbesar yang dialami oleh suporter dan klub ini.   Ketika lebih dari 100 jiwa melayang dalam kerusuhan yang melibatkan suporter dan aparat keamanan, luka ini menggores lebih dalam daripada sekadar kehilangan pemain atau pelatih. Ini adalah luka kolektif yang membawa dampak tidak hanya pada Arema, tetapi juga pada sepak bola Indonesia secara keseluruhan.

          Sepak bola adalah olahraga yang penuh dengan ambivalensi. Ia memberi kegembiraan, tetapi juga bisa meninggalkan luka. Luka-luka itu—baik fisik, emosional, sosial, maupun kolektif—menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi sepak bola yang lebih besar.

          Namun, di balik setiap luka, ada harapan untuk pemulihan, kebangkitan, dan kemenangan yang lebih besar. Karena di dunia sepak bola, seperti dalam kehidupan, luka adalah bagian dari perjalanan menuju pencapaian yang lebih bermakna.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img