Kisah Soemadi, Komandan Kompi Macan Putih
Hidup Soemadi untuk bangsa dan Tanah Air. Berpangkat Lettu bertempur habis-habisan bikin pasukan kolonial kocar-kacir. Hingga berpangkat Mayjen TNI tetap mengabdi. Bahkan ketika pensiun dari militer, Soemadi tetap jadi pejuang rakyat dengan menjadi anggota DPR RI.
MALANG POSCO MEDIA – Serangan umum Kompi Macan Putih di Mendalan Kabupaten Malang tak hanya mengusir penjajah Belanda. Usai penyerangan pada 25 Desember 1948, Kompi Soemadi sempat menarik pasukan untuk siaga di garis pertahanan baru yang masuk kawasan Kasiman.
Belanda yang masih melakukan agresi militer, kembali berusaha menguasai beberapa wilayah di Jawa Timur. Usai meyerang kawasan Pare Kabupaten Kediri, tentara penjajah itu kembali mencoba masuk ke kawasan Malang Barat, dengan target sasaran Pujon.
“Pasukan dari Kompi Soemadi yang sempat tergabung dengan Komando Hayam Wuruk berhasil dikumpulkan oleh Mayor Kadim Prawirodirjo. Ayah saya saat itu sudah berpangkat Kapten, dan diperintahkan berkumpul di daerah Ngoro Pujon Kabupaten Malang,” cerita putra Soemadi, Yudo Nugroho.
Pertempuran kembali pecah pada 1 Juni 1949. Kala itu Kompi Soemadi kembali merangsek masuk ke daerah Pujon karena serangan tentara Belanda. Para pejuang kemerdekaan itu masuk melalui berbagai jalur.
Sampai pada saat gelegar bunyi terompet terdengar, tentara Indonesia langsung menghujani penjajah dengan tembakan. Adu tembak terjadi sengit. Sampai membuat tentara pejuang gugur beberapa orang. Namun, dari pihak Belanda jumlah prajurit gugur justru lebih banyak.
“Kemudian saat itu, tanggal 1 Agustus 1949 mencuat informasi bahwa Belanda kembali masuk melalui Gunung Loksongo, menuju Ngantang. Aksi baku tembak kembali terjadi, namun para tentara Indonesia saat itu menggunakan senjata Watermantel 7,62,” lanjut Yudo.
Serangan beruntun ke pihak Belanda, membuat pasukan penjajah tak berdaya. Di Desa Bendosari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang, saksi bahwa Belanda menyatakan menyerah atas TNI dan rakyat Indonesia saat itu, khususnya kepada Kompi Soemadi alias Kompi Macan Putih.
Keberhasilannya mengusir penjajah, membuat nama Soemadi makin dikenal banyak orang. Usai pertempuran panjang yang dijalani, Soemadi sempat mengemban berbagai jabatan strategis. Terutama setelah Indonesia merdeka.
Di antaranya pernah menjabat sebagai Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 083/Baladhika Jaya Malang. Selain itu, ia juga pernah ditugaskan sebagai Kasdam XIII/Merdeka, Kasdam VIII/Brawijaya (kini jadi Kodam V/Brawijaya). Soemadi kemudian dipercaya menjabat Pangdam XII Tanjungpura (TPR) dengan pangkat
Mayor Jenderal (Mayjen) TNI.
“Kemudian jabatan terakhir ayah saya di militer sebagai Wakil Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Wapang Kowilhan) I. Setelah itu, melanjutkan karir sebagai politikus negarawan. Saat itu menjadi anggota DPR RI sejak tahun 1977 hingga 1982,” jelas Yudo.
Kisah perjuangan sang ayah dari Yudo, ini juga dituangkan dalam berbagai buku karya Soemadi. Seperti salah satunya yakni buku berjudul “Menyerang Pertempuran PKI/Madiun”, Belanda di Mendalan Waimgate, Pasukan Brawijaya Serta Pertempuran di Dearag Kawedanan Batu, Ngoro dan Pare Tahun 1948-1949.
“Kenyang pengalaman di medan tempur, membuat ayah saya selalu mengenangnya di nama sang anak. Dalam bahasa sansekerta Yudo alias Yuda, berarti peperangan. Semua anak ayah saya, ada nama Yudo-nya. Sebagai pengingat, bahwa Indonesia merdeka karena perjuangan pahlawan di medan perang,” lanjutnya.
Sang ayah menutup usia di umur 63 tahun, tepatnya t 15 Mei 1988, dengan nama lengkap Mayjen TNI (Purn) Drs. H. Soemadi. Karena saat wafatnya sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun 1408 Hijriah, akhirnya proses membawa kembali ke Malang cukup sulit.
“Kemudian sebagai bentuk penghormatan negara, ayah saya dimakamkan di Jakarta. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama Kalibata Jakarta. Semangat juangnya masih mengalir sampai sekarang,” jelasnya.
Ia mengatakan, bahwa banyak pejuang yang tidak menurunkan kisahnya kepada keturunannya. Banyak aksi heroik yang yang terpendam, karena tidak diwariskan. Oleh sebab itu, Yudo memiliki visi melestarikan kisah perjuangan yang terjadi di Indonesia.
Termasuk visi sang ayah, yang terus menyampaikan nilai dan esensi perjuangan. Ia berusaha memberikan cerita yang detail dan mendalam, serta bisa memberikan gambaran nyata bagaiman pahlawan Indonesia berjuang sampai titik darah penghabisan. “Kalau Bung Karno pernah bilang, yakni Jas Merah. Ungkapan ini merupakan singkatan dari Jangan Sampai Melupakan Sejarah. Karena melalui sejarah, manusia jadi tahu perubahan. Mengetahui perkembangan dan tentunya, memahami kondisi dan semangat perjuangan,” pungkasnya. (rex/van/selesai)