“Pakai sepatu itu lagi?”
Riri yang sibuk mengelap sepatunya harus rela mendongak, ia mendengus malas manakala mendapati Dewi bertolak pingggang di depannya. Sahabatnya ini selalu saja mengomentari. Memang apa salahnya memakai sepatu yang sama setiap hari?
“Iya, emangnya kenapa? Kamu iri, aku pakai sepatu ini?” sahut Riri, penuh percaya diri.
Bola mata Dewi bergulir malas. Siapa juga yang mau sama sepatu buluk itu, erangnya dalam hati.
“Ini udah berapa hari? Dan kamu nggak pernah ganti sepatu. Tuh lihat, bagian depannya udah koyak begitu. Kamu nggak malu apa?”
“Biarin, ini sepatu kesayangan aku. Aku nggak mau ninggalin dia di rumah, takut ada yang nyuri.”
Riri mendapatkan sepatu yang kemudian ia klaim sebagai ‘kesayangan’ itu, di sore yang hujan beberapa minggu lalu sepulang sekolah. Hari itu, Riri terpaksa menerobos raungan air dari langit menuju tempat pemberhentian bus. Ia terburu-buru, khawatir tertinggal bus terakhir.
Sampai di persinggahan yang diniatkan, Riri masih belum bisa tenang. Sepatu yang ia pakai tiba-tiba rusak parah. Sudah basah kehujanan, bagian depannya menganga lebar pula, sungguh memprihatinkan. Riri terpaksa melepas sepatu sebelah kanannya, ia tidak mau terus membiarkan sepatu tidak layak pakai itu membungkus kakinya.
Riri yang sibuk dengan sepatu, tidak melihat tidak pula mendengar bus yang merayap semakin mendekati halte. Riri terlalu dikuasai suara-suara dalam ruang sanubarinya yang terus berbisik bahwa: ia bernasib sial hari ini, bagaimana besok ia bersekolah disaat dirinya tidak punya sepatu cadangan, mau beli tapi tidak punya uang, minta ke orangtua, Riri tidak yakin bakal diberi.
Bus yang sudah berhenti namun lama diabaikan, akhirnya memutuskan untuk tancap gas. Menunggu yang tidak pasti, adalah sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh pak supir bus tersebut. Nahasnya, Riri baru terlepas dari lamunan saat mesin bus meraung, melenggang pergi, menjauh, meninggalkannya dengan malang.
Riri panik, ia berusaha memanggil bus yang pergi hingga kerongkongan terasa kering dan perih. Percuma, bus sudah sangat jauh, mustahil jikalaupun Riri kejar. Ditambah dengan kondisi sepatu yang memprihatinkan, semakin mengubur dalam-dalam semangat perjuangan dalam jiwa muda Riri.
***
Riri menyerah, ia terduduk pasrah di kursi halte. Pundaknya layu tiada energi. Habislah sudah, ia tidak bisa pulang…. Riri menatap sendu jalanan yang diguyur hujan, menitip harap pada genangan air di lubang jalanan: semoga saja ada satu ojek yang lewat.
Sambil menanti datangnya keberuntungan, Riri mengambil ponselnya yang terbungkus plastik dalam tas. Menyalakannya, mencari aplikasi musik, dan…, Sebelum berkesempatan mendengar lantunan musik mellow, detik itu lah Riri baru menyadari kebodohannya.
Mengapa tidak sedari tadi menggunakan ponsel ini untuk menelepon seseorang agar datang menjemputnya?! Mengutuk kebodohan diri sendiri, dengan geram Riri segera mencari kontak ayahnya. Menemukan kontak yang dicari, Riri cepat-cepat meneleponnya. Namun belum sempat terhubung dengan ayah, ponsel Riri hilang kesadaran. Layarnya menggelap, memantulkan wajah kelelahan Riri yang berhias panik. Mati. Ponselnya lowbat!
Riri ingin meraung sekencang-kencangnya. Dan ia akan melakukan itu kalau saja kak Raka tidak muncul secara tiba-tiba di depannya, bersama motor gedenya yang gagah. Riri hilang kata. Melihat seseorang yang ia suka sejak Sekolah Dasar dalam situai sial ini, membuatnya merasa seperti diguyur hujan saat terjebak bertahun-tahun di padang pasir.
“Nih, sepatu buat kamu,” kata kak Raka tiba-tiba, sembari menyodorkan sebuah kotak yang dia ambil dari tasnya.
Riri tercengang. Kak Raka memberinya sepatu? Secara mendadak? Disaat sepatu miliknya sedang sekarat? Di sore yang hujan itu, udara dingin sedang melingkupi, namun tetap tak bisa mengelak kehangatan yang menjalar di hati Riri. Diam-diam Riri menyimpulkan sendiri, apakah ini sebuah pertanda, cinta dalam diamnya mulai terbalas?
“Ketinggalan bus, kan? Yuk, kakak antar pulang. Karena rumah kita sebelahan, kamu nggak boleh nolak,” ajak kak Raka, sambil terkekeh tampan.
Riri masih hilang kata, ia semakin berbunga-bunga.
***
Jam istirahat di kafetaria sekolah, Riri melihat kak Raka duduk seorang diri sibuk bersama ponselnya. Setelah tega meninggalkan Dewi, Riri datang menghampiri sang pujaan hati dan menyapanya, disertai senyum yang manis sekali.
“Eh, Riri? Ada apa?” sambut Raka.
Riri menggeleng, tersenyum tambah lebar, ia duduk berhadapan dengan kak Raka. Jika Riri menjawab jujur, bahwa niat kedatangannya kemari adalah karena ingin pedekate, Riri takut senior tercintanya merasa tidak nyaman, dan berakhir meninggalkannya karena jijay. Jadi, Riri lebih memilih untuk menyimpan alasan itu untuk dirinya sendiri.
Saat Riri membuka mulut hendak memulai pembicaraan, sesosok gadis cantik yang langsing nan glowing tiba-tiba datang, duduk di samping kak Raka dengan ringan tanpa beban. Siapa dia? Riri bertanya-tanya, besamaan dengan senyumnya yang perlahan luntur. Mereka tampak akrab, terlalu akrab untuk seukuran ‘hanya teman sekolah’.
Seolah dapat membaca makna dari air muka Riri, Raka besuara,
“Eh, Ri. Kenalin, ini Felisha, pacar kakak. Kita udah pacaran hampir sebulan setengah,” Raka beralih pada gadis disebelahnya. “Felisha, ini tetangga aku, namanya Riri.”
Guntur menggelegar, bumi bergetar. Bagaikan ikan terdampar, Riri hampir megap-megap sebab tak tahu mesti berkata apa. Menatap sepatu yang membungkus kakinya, satu memori terbesit di benak Riri: saat dimana kak Raka tercinta mempersembahkan padanya sekotak sepatu baru, mengantarnya pulang, dan memperlakukannya dengan manis.
Apalah arti sepatu, apalah arti berboncengan di bawah rintik hujan itu, apalah arti senyum manis itu. Riri telanjur percaya pada persepsi bahwa itu semua adalah pertanda, untuk cintanya yang tak lagi bertepuk sebelah tangan.
Riri kepalang menarik tali simpul: ada secuil rasa yang terselip dibalik pemberian sepatu. Nyatanya, bagi kak Raka, ia tak lebih dari hanya sekadar tetangga.
Sepertinya, inilah waktunya Riri perlu bersua dan bercakap dengan hati, menasihati diri, agar tidak terlampau percaya diri. Alam pikiran Riri beranjak kosong, hingga tanpa sadar ia bergumam,
“Sepatu…”
Tentu saja Raka mendengar gumaman Riri. Seakan baru saja teringat sesuatu, Raka menjentikkan jari,
“Oh, sepatu yang kakak kasih kemarin, muat di kaki kamu kan? Kak lupa ngasih tahu, toko sepatu Mama kakak, awal bulan kemarin kebetulan lagi cuci gudang. Yang kakak kasih ke kamu itu, sisa satu-satunya karena nggak ada yang beli. Akhirnya Mama nyuruh kakak buat ngasih sepatu itu ke kamu, Ri. Mama tiba-tiba ingat anak tetangga, katanya. Gimana, kamu suka kan, sama sepatunya?”
Riri tersenyum aneh. Gadis ngenes itu hanya bisa mengangguk berat, seolah tengah berjuang menelan satu kontener pil paling pahit sedunia.
Usai berakhirnya jam pelajaran terakhir, Riri mengajak Dewi ke belakang sekolah untuk menemaninya melakukan sesuatu. Sesampainya di sana, Riri membuka sepatunya dengan kesal dan brutal. Sejurus kemudian, sepatu putih itu ia lempar kasar ke tempat pembuangan sampah, sepenuhnya Riri abaikan Dewi yang menjerit lebay tidak percaya di sebelahnya.
“Lho! Kok di buang! Katanya itu sepatu kesayangan kamu?!” (*/cerpenku/bua)