MALANG POSCO MEDIA – Salah satu program Gubernur Khofifah Indar Parawansa saat menjadi Gubernur Jawa Timur, adalah memberikan seragam gratis pada siswa. Pada tahun 2019 lalu, anggaran seragam gratis siswa SMA/SMK negeri dan swasta mencapai Rp 130 Miliar.
Ironisnya menjelang berakhirnya masa jabatan Gubernur Khofifah, justru persoalan seragam kembali menjadi masalah. Bedanya dulu Khofifah memberikan seragam gratis, namun kini protes dan keluhan wali murid soal pembelian seragam sekolah.
Bahkan kasus seragam sekolah ini sudah menelan korban, dicopotnya kepala sekolah di Tulungagung. Kalau ditelusuri di Malang Raya, bukan tidak mungkin sanksi yang serupa juga bisa kena pada banyak kepala sekolah. Karena mayoritas seragam sekolah memang membeli di sekolah. Entah melalui koperasi atau sejenisnya.
Pendidikan idealnya memang tidak memberatkan masyarakat. Bukan hanya soal biaya pendidikan, namun juga segala program dan perlengkapan sekolah lainnya juga tidak boleh memberatkan. Termasuk soal uang partisipasi pembangunan fasilitas sekolah serta uang sumbangan-sumbangan lainnya.
Dengan dalih apapun, segala hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan ideal memang seimbang. Pemerintah baik kota/ kabupaten mengalokasikan biaya untuk operasional pendidikan, sementara masyarakat juga ikut membantu berpartisipasi guna menyukseskan program pendidikan bagi anak-anaknya.
Namun perlu diingat, jangan pernah sedikit sedikit mengatur, menyeragamkan apapun soal biaya. Sebab kondisi siswa dan wali muridnya berlatar belakang berbeda. Baik tingkat pendidikan, terlebih ekonominya. Maka aneh rasanya kalau kemudian persoalan seragam ini sampai mencuat dan menjadi masalah krusial dalam ranah pendidikan.
Karena itulah, pemerintah harus turun dan bertindak tegas atas segala aturan yang dibuat oleh sekolah. Dulu sebelum ada Komite Sekolah, kepala sekolah sangat hati-hati dalam menerapkan kebijakan sekolah. Terutama terkait dengan biaya-biaya. Kalau diteliti lebih detail jumlahnya lumayan banyak.
Saat ada Komite Sekolah, maka kepala sekolah bersinergi dengan Komite Sekolah dalam menyusun program-program terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan. Semakin ke sini, Komite Sekolah seolah dijadikan ‘bemper’ bagi kepala sekolah untuk melegalisasi segala program yang disusun bersama sekolah.
Parahnya, Komite Sekolah yang awal dibentuknya adalah penyambung lidah wali murid dan memperjuangkan hal-hal yang memberatkan, kini semakin bergeser fungsinya. Justru seringkali wali murid kini harus berhadapan dengan Komite Sekolah.
Alih-alih berani protes, mayoritas wali siswa justru tak bisa berkutik ketika berhadapan dengan Komite Sekolah. Sebab mayoritas Ketua Komite Sekolah adalah orang yang punya pengaruh. Dan yang pasti kaya. Jarang Ketua Komite adalah orang biasa biasa saja. Komite Sekolah adalah orang-orang yang akomodatif, menjadi penengah dan pendamai jika ada persoalan, riak riak kecil, bahkan protes yang mengarah kepada Kepala Sekolah dan guru.
Maka persoalan seragam sekolah idealnya adalah ranah Komite Sekolah untuk memperjuangkan hak siswa dan wali murid. Jangan sampai Komite Sekolah justru disetir, diatur atur, dan dipaksa untuk bisa mengamini program-program Kepala Sekolah, yang kadang memberatkan wali siswa.(*)