MALANG POSCO MEDIA – Malang yang dingin tiba tiba sesak. Pikiran sesak, perasaan sesak, suasana juga menjadi sangat menyesakkan. Salah ucap, salah kata, salah tulis sedikit bisa menyulut emosi. Perasaan dan pikiran Malang Raya lagi sesak, karena itu hati-hati bersikap dan bertindak apapun. Malang butuh perlakuan khusus. Malang butuh sentuhan lembut yang menyentuh hati.
Siapa yang kemudian menduga kalau pertandingan derby Jatim antara musuh bebuyutan Persebaya vs Arema FC, Sabtu (1/10) malam lalu itu berakhir menyesakkan juga. Tak hanya air mata yang jatuh terurai, tapi tangis memecah keriuhan malam bercampur asap Gas Air Mata yang menyesakkan hingga 131 penonton pertandingan dinyatakan meninggal dunia.
Secara logika pertandingan bola, derby seru malam itu bukan kali pertamanya digelar di Malang atau di Surabaya. Pertandingan ini selalu menarik karena rivalitas kedua tim memang sangat tinggi. Selalu ditunggu dan menyedot puluhan ribu penonton. Tiket dipastikan selalu habis. Apalagi 23 tahun Arema FC mencetak sejarah tak pernah kalah dari Persebaya.
Karena rawan, Panpel pertandingan beserta aparat keamanan pun memutuskan tak ada suporter Persebaya. Antisipasi ini sukses dilakukan sebelum pertandingan. Meski psywar antara pendukung ramai di media sosial. Faktanya hingga pertandingan, tak ada Bonek sebutan suporter Persebaya yang datang ke Malang, apalagi masuk Stadion Kanjuruhan.
Karena tak ada Bonek itulah, pertanyaan besarnya adalah mengapa setelah pertandingan ini berakhir, timbul tragedi yang menelan ratusan korban jiwa. Ironisnya ratusan korban itu adalah penonton bola yang baru saja melihat serunya pertandingan Arema FC vs Persebaya.
Ya fakta malam itu Arema FC memang kalah 2-3 dari Persebaya. Penonton yang di stadion maupun yang di rumah pasti kecewa. Singo Edan gagal menang. Tapi lantas mengapa ada Gas Air Mata yang membuat Malang Raya, Jawa Timur, Indonesia bahkan dunia berurai Air Mata?
Aturan FIFA sudah sangat jelas, bahwa Gas Air Mata tidak boleh digunakan untuk pengamanan di dalam stadion bola. Kalau yang dikhawatirkan sebelumnya adalah bentrokan antar suporter Bonek dan Aremania saja bisa diantisipasi dengan baik oleh panpel dan pihak keamanan, mengapa prosedur tetap pengamanan bisa lalai dan lolos?
Sementara yang menonton di stadion Kanjuruhan adalah 100 persen Aremania. Ada yang tua, pemuda, remaja bahkan anak-anak kecil yang orang tuanya gila bola. Laki dan perempuan. Mereka semua membayar tiket dengan tujuan menonton tim kebanggaannya Arema FC. Harapannya tentu Arema FC bisa menumbangkan Persebaya. Tapi tragis! Arema kalah dan endingnya ratusan Aremania meninggal dunia secara mengenaskan.
Beragam pertanyaan pun muncul. Apakah sebelum pertandingan tidak dilakukan simulasi dan antisipasi bila terjadi hal-hal yang mengarah pada kerusuhan? Apakah tidak diperiksa senjata atau peralatan apa saja yang digunakan petugas keamanan sebelum melakukan pengamanan di stadion Kanjuruhan? Apakah koordinasi Panpel dengan pihak keamanan sudah satu kata. Apakah prakiraan dan dugaan sebelum pertandingan, saat pertandingan dan pascapertandingan sudah dihitung secara matang?
Kalau pihak keamanan belum mengetahui bahwa Gas Air Mata tidak boleh dipakai saat pengamanan bola di stadion, apakah Panpel pertandingan sudah melakukan sosialisasi dan koordinasi standar pengamanan pertandingan kepada pihak keamanan sesuai standar FIFA? Kalau jawabannya semua tidak tahu, maka betapa banyak kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan saat gelaran pertandingan Arema FC vs Persebaya.
Tapi kalau jawabannya semua sudah tahu dan membiarkan bahwa ada Gas Air Mata memang dipersiapkan untuk mengamankan pertandingan bola, maka betapa semakin jelas dugaan pelanggaran yang dilakukan di dalam pengamanan pertandingan bola malam itu. Terutama sang pemberi instruksi kepada para personel yang menembakkan Gas Air Mata yang makin memicu keributan dan kepanikan malam itu.
Sementara penonton saat masuk stadion, semuanya diperiksa. Yang memeriksa juga aparat keamanan bersama panitia. Maka karena sudah melewati pemeriksaan ketat, lantas apa yang kemudian perlu dikhawatirkan dalam stadion? Bonek sudah pasti tidak ada. Penonton juga sudah tidak membawa benda benda membahayakan yang secara aturan tidak boleh dibawa ke stadion.
Maka logikanya tak perlu merespon pengamanan secara berlebihan terhadap penonton. Aparat keamanan sudah dilatih untuk menghadapi massa yang memang kadang brutal seperti demo misalnya. Tapi di stadion, psikologi massa penonton sudah bisa dipelajari sebelumnya. Termasuk bagaimana mengantisipasinya agar tidak sampai timbul korban. Dan sekali lagi, pertandingan Arema vs Persebaya bukan sekali ini saja digelar di stadion kebanggaan Malang ini.
Karena itu, semua pasti sepakat, ada faktor kelalaian yang dilakukan dalam prosedur pengamanan di akhir pertandingan Arema FC vs Persebaya tersebut. Itulah yang kemudian memunculkan gerakan Aremania yang mendesak ‘Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan.’
Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat sudah dicopot dan dimutasi ke Mabes Polri, 9 personel Brimob dari Danyon, Danton dan Danki dicopot, Panpel dihukum seumur hidup, Arema FC didenda, 18 personel operator pelontas gas Air Mata diperiksa.
Semua masih belum melegakan masyarakat Malang yang sudah terlanjur sesak dengan Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Masyarakat Malang, khususnya Aremania dan keluarga korban menuntut adanya tersangka, orang orang yang harus bertanggungjawab atas Tragedi Kanjuruhan.
Dahlan Iskan Begawan Media mengatakan, dalam pertandingan bola yang harus digunakan adalah Bahasa Bola. Bukan Bahasa Gas Air Mata. Psikolog mengatakan penggunaan Gas Air Mata dalam pengamanan pertandingan bola adalah berlebihan. Pakar Kimia mengingatkan bahaya Gas Air mata bisa menyebabkan kelumpuhan dan sesak napas.
1 Oktober layak dijadikan hari berkabung nasional karena korban yang jatuh adalah ‘pahlawan-pahlawan’ pecinta sepakbola sejati di bumi Arema. Oktober hitam akan selalu dikenang dan dicatat sejarah oleh Arema FC, Aremania dimana saja, dan dunia. Kini yang ada hanyalah Sesak dan Air Mata.(*)