Total Kerugian Rp 60 Miliar, User Geruduk Pengembang D’ Graha Artha Singosari
MALANG POSCO MEDIA – Emosi dan kekesalan bercampur aduk, saat para user atau pembeli properti D’ Graha Artha Singosari sewaktu audiensi dengan pengembang, Jumat (17/5) kemarin. Hal ini lantaran para user yang sudah membeli secara cash keras maupun in-house, tidak mendapatkan hak kepemilikan hingga wujud bangunan yang dijanjikan.
Salah satu user, Christian, mengatakan, komplek D’ Graha Artha dikembangkan PT Esa Santa Agrapana. Properti yang berlokasi di Jalan Lang-lang IV Kecamatan Singosari Kabupaten Malang ini, mulai dijual sejak 2020 lalu.
“Kebetulan saya membeli itu Mei 2021. Saya beli in-house, yang sudah lunas sejak September 2021. Janji awalnya seluruh proses pembangunan dan pemisahan (split) sertifikat kepemilikan memakan waktu 1 tahun 9 bulan,” kata pria 32 tahun asal Kota Malang ini saat ditemui Malang Posco Media.
Rata-rata para user ini tertarik dengan iming-iming yakni fasum yang memadai, pembangunan rumah jadi hingga seluruh proses transaksi dilakukan secara syariah. Banyak user yang tertarik dengan syariah ini, karena tidak menggunakan sistem bunga.
Nyatanya banyak user D’ Graha Artha yang tidak mendapatkan haknya. Dari jumlah kurang lebih lima blok bangunan dengan jumlah rumah mencapai 170 unit, hanya sekitar 10 rumah saja yang terbangun.
“Itu di Blok A saja, bahkan sekitar empat sampai lima di blok tersebut, dimiliki atau dihuni oleh pihak pengembang sendiri. Kami sempat berulang kali menanyakan, namun jawaban pihak manajemen berkelit dan tidak ada solusi,” lanjut Tian, sapaan akrabnya.
Sebanyak hampir 150 user yang ikut merasa dirugikan, bersepakat untuk meminta audiensi ke manajemen PT Esa Santa Agrapana. Sejak Minggu (12/5) lalu, rencana aksi dan audiensi sudah disiapkan oleh Christian dan user lainnya.
“Saya pribadi saat itu membeli di harga Rp 110 juta, namun harga itu naik sekitar tiga bulan sekali. Dan di blok tempat saya beli yakni di Blok D, dijual dengan harga mencapai Rp 400 juta. Dan semuanya masih berbentuk kapling, hanya ada beberapa unit yang terpasang susunan bata. Oleh sebab itu, kami meminta audiensi ini,” tegasnya.
Setelah audiensi, amarah user makin memuncak. Apalagi beberapa user yang pernah dimaki dan disambut dengan hal tidak menyenangkan oleh pengembang, saat menanyakan progres bangunan yang sudah dibelinya.
“Pihak pengembang mengatakan bahwa izin untuk menjalankan bisnis properti ini belum keluar. Padahal sudah menjual sejak 2020 lalu. Kami menghadirkan notaris yang sempat diminta bantuan untuk pengurusan perizinan, namun hanya berkas awal di tahun 2022 dan tidak pernah diurus lagi,” lanjutnya.
Menyambung hal tersebut Kuasa Hukum Paguyuban User D’ Graha Artha Singosari, Pudjiono mengatakan para kliennya ini sudah sangat geram. Selain tidak membangun sama sekali, klausul dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), juga dilanggar.
“Seperti adanya pengembalian uang (refund), kemudian pembangunan, hingga penyerahan surat kepemilikan kepada para user tidak ditepati. Dan pihak manajemen pengembang juga tidak ada komunikasi yang baik dengan kami,” jelasnya.
Ia mendapat informasi bahwa untuk proses split surat kepemilikan, membutuhkan biaya Rp 10 juta per unit. Sementara jumlah unit saat ini apabila ditotal, maka membutuhkan Rp 1,7 miliar, untuk kepemilikan saja. Belum biaya perizinan yang disahkan oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman Dan Cipta Karya (DPKPCK).
“Mereka ini mengaku tidak ada uang untuk memenuhi kewajibannya dan hak para user. Sementara, para user ini sudah hampir seluruhnya lunas dan menunaikan kewajiban pembayaran. Mereka telah terlalu banyak ingkar janji,” tegas Pudjiono.
Pertemuan antara user dan pengembang ini menuntut empat hal. Dalam poin tuntutannya dipastikan bahwa meminta agar unit dibangun, hingga 24 Mei 2024. Serta seluruh perizinan dan legalitas harus dipenuhi. Selain itu, kepada para user untuk segera diberikan sertifikat kepemilikan karena sudah lunas.
“Apabila memang tidak segera dipenuhi, maka kami akan menempuh jalur hukum. Baik di ranah perdata terkait kerugian materil dan di ranah pidana, terkait perbuatan kejahatan yang dilakukan terhadap para user. Apabila ditotal kerugian seluruhnya, mencapai Rp 60 miliar yang masuk ke pihak pengembang,” tegasnya.
Sementara itu, Malang Posco Media yang hadir dalam proses audiensi mencoba mendapatkan konfirmasi kepada Direktur PT Esa Santa Agrapana, Bety Nadia Rosita. Namun, pihaknya enggan berkomentar dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan seputar aksi yang dilakukan oleh para user. (rex/van)