spot_img
Friday, June 6, 2025
spot_img

Setulus Ibrahim

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam lembar sejarah kemanusiaan, nama Nabi Ibrahim AS terpatri sebagai simbol ketulusan dan keikhlasan yang melampaui nalar manusia biasa. Ketika Tuhan memerintahkan sesuatu yang paling berat sebab mengorbankan anaknya sendiri, beliau tidak membantah. Bukan karena ia tidak punya rasa cinta sebagai ayah, tapi karena cintanya kepada Tuhan lebih tulus daripada segalanya.

Ketulusan Ibrahim bukanlah ketundukan kosong, melainkan hasil dari hati yang bersih dari pamrih dan ego. Namun, dalam dunia yang kian riuh dengan ambisi dan kepentingan, nilai ketulusan seolah menjadi barang langka. Kata “tulus” terdengar sederhana, tetapi menjadi orang tulus dalam kehidupan nyata bukan perkara mudah.

Ketulusan menuntut kejujuran, pengorbanan, dan kesabaran dalam level tinggi. Ketulusan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim adalah ujian yang tak semua sanggup melewatinya. Ketulusan berarti melakukan sesuatu tanpa berharap imbalan. Di dunia ini hampir segalanya dihitung berdasarkan untung rugi. Kadangkala orang tulus dianggap bodoh, lemah, dan sering dimanfaatkan. Orang tulus kadang terbelit dalam situasi yang menyakitkan karena ia tidak terbiasa membela diri dengan kepalsuan.

Kita lihat dalam relasi sosial baik pertemanan, pekerjaan, bahkan keluarga, banyak orang menggunakan topeng. Ada yang pura-pura peduli dan ada yang memberi hanya karena berharap balasan. Dalam politik, dunia bisnis, bahkan dalam pelayanan publik, ketulusan sering tertutup oleh kepentingan semata.

Dalam situasi seperti ini, orang tulus bukan hanya sulit ditemukan, tetapi juga rentan tersingkir. Ia tak pandai memanipulasi, tak pandai menjilat, dan tak pandai memoles citra. Ia jujur, bahkan saat kejujuran terasa menyakitkan. Maka tidak heran jika orang tulus sering kali disalahpahami.   

Orang yang tulus akan sabar dalam melalui sesuatu. Ia tak tergesa-gesa mencari hasil. Ia menanam dengan penuh cinta, walaupun tak tahu kapan akan menuai. Ia tahu, ketulusan bukan hanya tentang hasil, tetapi tentang proses yang bersih dari pamrih. Lalu, masih adakah orang tulus di dunia ini? Pertanyaan ini mungkin muncul karena kita terlalu sering dikecewakan.

Dunia maya yang penuh pencitraan, dunia kerja yang penuh persaingan, bahkan hubungan personal yang dilandasi kepentingan membuat kita ragu, masih adakah orang tulus? Jawabannya: masih. Namun, mereka jarang bicara. Mereka tak memamerkan kebaikan. Mereka mungkin orang yang diam-diam membantu tanpa mengharap kembalian. Mungkin juga mereka adalah orang yang selalu sibuk dan istikamah melakukan kebaikan tanpa ingin diketahui siapapun. Dengan diam-diam, mereka menjaga dunia dari kehancuran total karena setiap ketulusan sekecil apapun ibarat cahaya yang menunda gelap.

Menjadi orang tulus tidak berarti menjadi naif. Tulus bukan berarti tak punya batas. Ketulusan yang sehat adalah ketulusan yang tetap bijaksana. Ada beberapa cara melatih diri untuk menjadi pribadi yang lebih tulus. Pertama, luruskan niat. Tanyakan pada diri sendiri, “Untuk siapa saya melakukan ini?” Jika jawabannya bukan untuk manusia atau keuntungan semata tapi karena keyakinan, kasih sayang, atau nilai yang diyakini, maka itu langkah awal menuju ketulusan.

Kedua, mari belajar ikhlas. Ikhlas bukan berarti tidak merasa sakit saat dikhianati. Namun ikhlas berarti tidak membalas dengan kebencian. Belajarlah menerima bahwa tidak semua orang bisa membalas kebaikan. Tiga, kendalikan ekspektasi. Banyak kekecewaan lahir dari harapan yang tidak realistis. Orang tulus tetap memberi, tapi ia tidak menggantungkan kebahagiaannya pada respon orang lain.

Selain itu, cobalah berbuat baik tanpa diketahui. Salah satu cara melatih ketulusan adalah dengan melakukan kebaikan secara diam-diam. Ketika tak ada yang tahu, kita benar-benar diuji apakah kita memberi karena ingin terlihat atau karena memang ingin memberi? Meskipun kadang mudah dihakimi. Kelima, jangan takut terluka. Ketulusan memang membuat kita rawan tersakiti. Namun luka karena ketulusan lebih sahaja daripada kemenangan yang diperoleh dengan tipu daya.

Setulus Ibrahim, itulah standar ketulusan yang paling arif. Kita mungkin tak bisa mencapai ketulusan di tingkatan seorang nabi sebab kita manusia biasa yang tak sempurna. Namun demikian, setidaknya kita bisa belajar untuk lebih jujur pada diri sendiri, lebih sabar dalam ujian, tetap berbuat baik meski dunia tak baik atau pura-pura baik, dan lebih ikhlas dalam memberi. Dunia memang tidak selalu adil pada orang tulus. Namun di mata Tuhan, ketulusan adalah salah satu amal yang paling tinggi nilainya.

Dalam hidup yang penuh liku-liku, tetap jadilah seseorang yang berhati bersih. Jika tak bisa jadi Ibrahim, cukuplah kita menapaki jejaknya, meski setapak demi setapak. Dunia mungkin tidak mengapresiasi orang tulus tetapi pencipta tidak akan melupakannya. Karena sejatinya, ketulusan adalah bahasa jiwa yang paling sunyi dan paling jujur. Ia tak berteriak, tapi bergema jauh dalam hati siapapun yang disentuhnya. Dalam diam itu, ketulusan mengukirkan jejak. Bukan di atas batu atau lembar sejarah, melainkan dalam catatan langit. Maka dari itu, jangan lelah menjadi tulus walau gemerlap dunia tak selalu menerangimu.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img