Aditya Bayu Wardana, Master Trainer Rescue PMI Kota Malang
Di balik mencekamnya aksi demonstrasi, ada peran penting tim penolong. Harus selalu siaga kapanpun. Tak bisa memilih siapa yang akan diselamatkan, tim penolong akhirnya selalu bertaruh nyawa ketika bertugas saat aksi demonstrasi. Itu demi kemanusiaan. Aditya Bayu Wardana dari PMI Malang adalah salah satu personel tim penolong.
MALANG POSCO MEDIA – Tidak hanya harus pandai membaca situasi, tim penolong juga mesti cekatan mencari akses yang paling aman saat memecah keramaian massa dan menyelamatkan korban kala aksi demo. Hal itu yang selalu dipegang oleh Aditya Bayu Wardana, seorang Master Trainer Rescue dari PMI Kota Malang yang masih rutin bertugas menjadi penolong tiap kali ada aksi demonstrasi.
“Alhamdulillah sampai saat ini, kami tidak pernah tidak siap. Tiap kali bertugas, apalagi seperti demo, kami selalu pakai APD (Alat Pelindung Diri, red). Peralatan di dalam ambulans juga lengkap,” tegas Bayu, sapaannya.
Beberapa hari ini, aksi demonstrasi terjadi di banyak daerah. Tidak sedikit aksi itu berujung ricuh sampai jatuh korban. Bagi Bayu, sebagai seorang penolong, melihat kondisi itu tentu sangat memprihatinkan. Sebab prinsip penolong sepertinya, setiap korban harus bisa diselamatkan dan setidaknya jangan sampai meninggal di ambulans.
Menurut Bayu, penyelamatan di kondisi konflik memang membutuhkan penanganan khusus. Tidak hanya pintar membaca situasi dan keselamatan dirinya sendiri, tapi juga harus paham prosedurnya.
“Ketika bertugas di konflik, harus dinilai bahayanya seperti apa. Kemudian dilihat jumlah pasiennya berapa, petugasnya berapa. Ketiga memastikan APD dan keempat mekanisme kejadiannya seperti apa. Kalau demo, kita bisa menilai dari kondisi korbannya,” beber dia.
“Biasanya yang kami tangani itu seperti luka benda tajam, luka benda tumpul di kepala, itu juga cukup berisiko. Tapi secara umum di Kota Malang ini masih tergolong tidak sering terjadi demo sampai konflik besar. Walau pun begitu kami selalu siaga,” sambung pria kelahiran Madiun tersebut.
Penyelamatan konflik seperti demo, merupakan salah satu dari keterampilan penyelamatan atau rescue yang Bayu kuasai. Selain itu, ada vertical rescue (penyelamatan di ketinggian), jungle rescue (penyelmatan di hutan), fire rescue (penyelamatan di kebakaran), water rescue (penyelamatan di perairan), urban search and rescue (penyelamatan di perkotaan) hingga road accident rescue (penyelamatan kecelakaan jalan).
Sementara Bayu sendiri, sesuai spesialisasinya, lebih ke arah First Aid atau pertolongan pertama di tiap rescue. Bayu bahkan telah mengantongi sertifikasi instruktur dari Rescue Tech Malaysia dan Basarnas. Tidak heran, di PMI Kota Malang ia menjadi seorang Master Trainer, yang biasanya mengajari seorang trainer rescue. Di Kota Malang hanya sedikit yang bisa meraih hal tersebut.
Selama 17 tahun menjadi seorang penolong dan relawan, Bayu memahami bahwa sebenarnya masyarakat di Indonesia ini punya kultur yang bagus. Yakni suka menolong sesama. Namun sayangnya, empati tinggi itu tidak dibarengi dengan pengetahuan.
“Saya fokus pertolongan pertama karena masyarakat Indonesia empatinya tinggi. Buktinya kalau ada kecelakaan, banyak yang menolong. Walaupun menyelamatkannya kurang benar. Maka sejak 2008 itu saya belajar bagaimana menyelamatkan yang benar. Karena ternyata tidak cukup hanya empati, tapi juga butuh knowledge,” tutur pria kelahiran 22 November 1987 itu.
Sejak saat itu, meski tengah kuliah, Bayu sudah aktif menjadi relawan di PMI. Setelah lulus pun, ia langsung mengabdi di PMI meski ia seorang sarjana teknik mesin. Berbagai kesempatan, seperti bencana dan konflik, Bayu pernah mengalaminya.
Salah satu yang paling ia kenang, yakni ketika ditugaskan membantu penyelamatan saat erupsi Gunung Merapi pada 2010 lalu. Ia yang awalnya bertugas dengan lancar dan sudah hendak kembali ke Kota Malang, ternyata di tengah perjalanan, tiba-tiba Gunung Merapi erupsi lagi lebih besar.
Akhirnya ia diperpanjang bertugas di sana dan terjadi misi penyelamatan yang tidak pernah ia lupakan. Ia ditugaskan untuk menyelematkan satu keluarga yang tersisa di sebuah tempat yang sulit dijangkau kendaraan.
Meski jam menunjukkan pukul tiga sore, suasananya gelap seperti malam hari karena asap menutupi langit. Dalam keadaan seperti itu, ia bersama salah satu rekannya meluncur ke lokasi rumah keluarga tersebut.
“Tapi di tengah jalan, cukup hanya satu mobil, ternyata ada pohon tumbang menutupi jalan. Itu tidak bisa putar balik, dan kalau mundur, jalannya licin, risiko jatuh ke jurang. Saat itu pasrah, sudah hidup mati. Bahkan saya sempat telepon pamitan orang tua. Untungnya datang orang banyak, diselamatkan warga sekitar,” kenang alumnus Universitas Negeri Malang tersebut.
Singkat cerita, akhirnya Bayu bisa melanjutkan tugasnya untuk penyelamatan. Diketahui satu keluarga tersebut ternyata tidak mau diselamatkan akibat salah satu anggota keluarga kakinya patah. Anggota keluarga lainnya tidak ingin meninggalkannya.
Setelah dibujuk rayu, akhirnya Bayu sukses mengevakuasi satu keluarga tersebut, meski di dalam mobil ambulans yang ia bawa harus sampai membawa kasur yang dibutuhkan untuk mengevakuasi salah satu anggota keluarga tersebut. Alhasil, mobil dalam keadaan penuh dan cukup sulit juga mengevakuasinya.
“Saya tidak masalah, karena istilahnya saya waktu itu sudah diberikan kesempatan hidup kedua. Sudah diselamatkan oleh warga. Jadi saya juga harus menyelamatkan orang lain. Mungkin itu juga yang membuat saya sampai saat ini suka menolong orang, karena merasa saya sendiri pun bisa melanjutkan hidup karena berkat pertolongan orang,” pungkasnya. (ian/van)