spot_img
Sunday, June 15, 2025
spot_img

Sibuk Ngeles Sana Sini

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Harga diri sebuah bangsa! tapi siapa peduli? Pernyataan ini lebih sebagai unek-unek kejengkelan yang terpicu oleh rilis data Bank Dunia dalam laporan “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)”yang mengubah perhitungan dari purchasing power parities (PPP) tahun 2017 menjadi PPP 2021 untuk lebih menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi faktual dunia global mengacu semua negara pendapatan rendah, menengah bawah, menengah atas dan kelas tinggi. Bukan salahnya Bank Dunia, karena yang disampaikan adalah potret seluruh negara di dunia, tidak ada urusannya dengan perpolitikan.

Dispute Angka

          Garis kemiskinan ekstrim dunia berdasarkan PPP 2017 ke 2021 naik dari $2.15 ke $3 per hari. Indonesia sesuai dengan kelasnya yang negara menengah atas, ikut standard income $6.85 ke $8.3/hari. Standar PPP Bank Dunia untuk menyamakan daya beli antar negara, sehingga angka tersebut mencerminkan biaya hidup yang setara di berbagai negara.

          “Teori Relatif Kemiskinan” menyatakan bahwa kemiskinan tidak hanya tentang kekurangan kebutuhan dasar, tetapi juga tentang bagaimana seseorang berada pada posisi relatif terhadap standar hidup rata-rata di masyarakatnya.        Dalam konteks global, standar Bank Dunia mencoba menangkap aspek relatif ini. Akibatnya angka kemiskinan di Indonesia meningkat ke angka 68.25 persen atau 194.67 juta jiwa, sementara BPS Indonesia tetap berpegang teguh dengan standart sendiri, menyatakan kemiskinan Maret 2024 sebesar 9.03 persen saja.

          Garis kemiskinan di Indonesia menurut BPS adalah jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan (kebutuhan makanan Rp 433.906 dan kebutuhan non-makanan Rp 149.026). Dengan rata-rata terdiri atas 4,78 orang per rumah tangga, maka garis kemiskinan per rumah tangga rata-rata sekitar Rp 2.786.415 per bulan.

          Indonesia masuk kelas menengah atas, berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF) tahun 2024.  dengan income per kapita $5.270/ tahun. Bandingkan dengan Singapura $88.450, Malaysia $13.310, Thailand $7.810, Vietnam $4.620, dan Brunei $95.040 (terkaya di dunia).

Bukan Angka, Tapi Harga Diri

          Pokok persoalannya bukan perbedaan angka presentase yang jauh, tetapi efek psikologisnya dan soal “harga diri-kehormatan bangsa” dalam konteks global (antar negara-bangsa). Mungkin dalam konteks pola hidup di Indonesia yang sebagian besar di pedesaan, biaya hidup murah, makan pecel sayur tidak usah beli tinggal petik di pekarangan, maka standart BPS bisa dimengerti.

          Tetapi memilih metodologi yang menghasilkan angka rendah (misal: hanya memenuhi kebutuhan kalori dasar, tetapi mengabaikan biaya perumahan layak, transportasi, pendidikan, kesehatan, partisipasi sosial), ini adalah bentuk ‘institutional evasion’ (penghindaran).

          Memang cerdas, karena angka presentase kemiskinan yang rendah (di bawah 2 digit) sangat dibutuhkan dalam ‘sistem politik kekuasaan’ dan juga menenangkan hati rakyat. Tapi di era digital dan terintegrasinya informasi global, bisa melahirkan sinisme. Apalagi jika di’cap’ korup. Katanya miskin kok kaya? Atau sebaliknya katanya kaya, kok miskin?

          Amartya Sen dalam buku ‘Capability Approach’ menekankan kemiskinan bukan hanya soal kurang pendapatan, tetapi kurangnya kebebasan untuk mencapai hidup yang berharga (kesehatan, pendidikan, partisipasi).

          Angka yang dibuat rendah dengan metodologi cerdas bisa menyebabkan politik kekuasaan abai-terlena terhadap keseriusan kemiskinan. Jika dikaitkan dengan standart internasional, maka dari sisi pandangan publik terhadap sistem kekuasaan (termasuk wakil rakyat di DPR), tidak bisa disalahkan jika ada kritik keras dari publik. “Lalu apa manfaat wakil rakyat? “Apa manfaatnya penguasa negeri dan daerah dipilih melalui pemilu?

          Angka rendah menciptakan ilusi keberhasilan, mengurangi urgensi kebijakan, dan merendahkan martabat warga miskin yang hidup di atas garis BPS tetapi jauh di bawah standar hidup layak global untuk negara berpendapatan menengah atas.

          Angka rendah juga memudarkan akuntabilitas negara (“Lihat, kemiskinan kita hanya 9 persen, kami sukses!”), lalu mengabaikan jutaan orang yang ‘vulnerable’ (rentan jatuh miskin) atau hidup dalam ‘multidimensional poverty.’

Ketimpangan

           Apa di negeri ini sebenarnya ketimpangan tinggi? Menyoal sumberdaya alam yang saat ini lagi viral karena penuh dugaan korupsi dan manipulasi. Dari obrolan publik, pinggir jalan, “Kemana larinya pendapatan negara dari hasil tambang yang dieksploitasi besar-besaran?

          Apakah terjadi profit shifting dimana perusahaan multinasional memindah kan laba ke negara pajak rendah? Apa royalti dan pajak rendah dimana rezim fiskal tidak optimal? Apakah linkages ekonomi lemah, dimana hasil tambang tidak menciptakan industri hilir dan lapangan kerja massal di dalam negeri? Atau mungkin karena banyak korupsi tersembunyi? Lalu publik pun bertanya, dimana wakil rakyat kita?

Berkelit alias Ngeles

          Kalau melihat situasi faktual orang kaya dan orang berkuasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih sibuk berkelit (ngelès) sana sini. Dan sebagian masyarakat  yang hidup pas-pasan masih terus nyaman dengan hidup sebagai oportunis, makelaran, dalam dunia ‘fiskal’ yang bernama ‘money politics’; mungkin fenomena ‘ngeles’ bisa dimaklumi.

          Di sisi lain asosiasi pengusaha juga gerah dan berteriak, kelas menengah kita turun terus tinggal 17 persen, negara sedang-maju kelas menengah sudah di atas 50 persen. Tolong Pemerintah turun tangan, kata mereka. Sebagai closing statement publik pinggir jalan.

          “Kita sebenarnya sedang melangkah maju atau mundur sich?”  “Apa kita masih punya harga diri atau tidak?” Mungkin tidak perlu dijawab, kita ikut ngelès saja seperti biasanya. Lalu siapa yang peduli dengan ‘harga diri dan kehormatan bangsa?”(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img