MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Menempuh jalan panjang pendidikan agama dilalui Habib Haidar bin Sholeh Mauladawilah. Hanya saja, keinginan sejak lama untuk menimba ilmu di Hadhramaut Yaman berbelok ke Kota Madinah. Hingga akhirnya menjatuhkan pilihannya ke lembaga Pesantren Rubath Al-jufri Madinah dan mengenyam pendidikan hingga tujuh tahun.
Habib Haidar, sapaan akrabnya, semasa usia SMP sempat mondok di Pesantren Ilmu Al Quran (PIQ) Singosari, yang diasuh oleh KH M Basori Alwi. Ia kemudian melanjutkan nyantri lagi di Pondok Pesantren Darus Saadah Poncokusumo, tepatnya hingga tahun 2000. “Sebelum pengalaman baru ingin ke luar negeri, di Poncokusumo belajar kitab dan bahasa Arab untuk bekal,” ujarnya memulai bercerita, Jumat (22/4).
Barulah setelah selesai, Habib Haidar berkeinginan melanjutkan perjalanan keilmuan agamanya ke Hadhramaut Yaman. Namun, saudara sepupunya di Arab Saudi yang mengajaknya ke Madinah. “Waktu itu sudah mengurus berkas semua paspor dan lainnya. Tiba-tiba Abah saya dihubungi sepupu dan mengajak saya belajar di Madinah saja,” ungkapnya.
Habib Haidar yang sudah sejak lama ingin ke Yaman sempat menolak. Begitu pun sang ayah. Hal itu juga mengkhawatirkan faktor biaya yang mahal untuk pemberangkatan. Namun sang sepupu terus membujuk dan memberitahu bahwa di Saudi biaya hanya untuk pemberangkatan dan waktu mendaftar saja, lainnya gratis. Akhirnya, Habib Haidar kepincut juga nyantri di Madinah dan membatalkan keberangkatannya ke Yaman.
Kesempatan masuk tanpa seleksi menjadi hal yang patut disyukuri baginya. Di sana sistem pendidikan yang berbasis hafalan juga menjadi tantangan baginya. Kitab demi kitab dipelajari. Sebagai lembaga pesantren yang diasuh ahli fikih dan nahwu, yakni Habib Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith Ba’alwi asal Hadhramaut tentu menekankan pada ilmu fikih, nahwu, dan siroh. “Tiga itu yang setiap hari dipelajari meski mata pelajaran lain tetap didalami,” ujarnya.
Dalam satu angkatan, ada sekitar 60 santri dengan fasilitas kamar masing-masing. Seluruh akomodasi ditanggung lembaga yang didanai pengusaha besar yang dermawan. Sehingga Habib Haidar bisa fokus belajar ilmu agama beserta kawan-kawannya.
“Mayoritas malah dari Indonesia, tapi ada santri dari negara Asia, Eropa dan Afrika. Semua berdampingan dengan baik, belajar dengan giat ketika dalam lembaga dan saling membantu,” ceritanya.
Menurutnya, Rubath Al-jufri baru menerapkan seleksi pada tahun 2004 melalui lembaga pendidikan tinggi Islam di Bangil Pasuruan. Kehidupan sosial dirasakannya sangat nyaman dengan teman dan masyarakat setempat. Mereka yang berkecukupan, begitu ringan tangan saling berbagi. Mereka yang berilmu diangkat derajatnya adalah ungkapan yang dekat dengan Madinah. “Orang berilmu cenderung akan lebih dihormati dan mendapat perlakuan baik,” katanya.
Karena dekat dengan Madinah dan tanah suci, ia beserta santri yang lain berkesempatan untuk umrah maupun haji dengan mudah, serta berkesempatan rutin ziarah ke makam nabi. Hal itu tak disia-siakan oleh dirinya. Habib Haidar berhaji hingga tujuh kali. “Berhaji untuk diri sendiri tiga kali, sisanya untuk menghajikan orang lain,” sebutnya.
Sewaktu bulan suci Ramadan juga sangat terasa bedanya dengan di Indonesia. Ia bercerita, dalam hal berbuka puasa dapat dipastikan tidak akan kesulitan. Masjid-masjid senantiasa menjadi lahan orang untuk berbagi. Buka puasa berbagai sajian dan minuman kerap disuplai secara gratis. “Banyak orang yang menggelar plastik panjang hingga 20 meter untuk ditaruh makanan, dan siapapun boleh mengambil dan mengonsumsi,” katanya.
“Tak jarang orang kaya datang ke pondok dan menanyakan siapa saja Santri yang masih memiliki utang akan dibebaskan,” tambahnya.
Selama Ramadan juga dimanfaatkan untuk menuntut ilmu agama, mendekatkan diri ke sang Khalik. Bersama teman-temannya Habib Haidar juga sering berkunjung ke ulama-ulama untuk meminta nasehat dan diajarkan ilmu. Banyak pengalaman menarik yang dialaminya, termasuk pembiasaan budaya warga yang saling bantu sangat terasa. (tyo/udi)