spot_img
Tuesday, July 1, 2025
spot_img

Silent Reader di ‘Museum’ Pesan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Notifikasi berdering, pesan masuk, dan centang biru pun muncul. Tapi tak ada balasan. Tak ada sapaan, tak ada tanggapan. Hanya diam. Kadang emotikon. Kadang bahkan tak satu pun. Grup WhatsApp yang semula menjadi ruang untuk berbagi informasi, diskusi, atau silaturahmi, perlahan berubah menjadi museum pesan.

Fenomena ini bukan hal baru. Kita semua pernah mengalaminya baik sebagai pengirim pesan yang tak ditanggapi, maupun sebagai pembaca yang memilih diam. Dalam percakapan digital, silent reader seolah menjadi tokoh utama: hadir tapi tak bersuara. Padahal dalam komunikasi, diam yang terlalu lama bisa terasa seperti penolakan yang tak terucap.

Contoh paling nyata bisa kita temui di kalangan siswa. Dalam grup WhatsApp kelas, seorang guru membagikan materi pembelajaran, tugas, atau pengumuman penting. Semua siswa terlihat telah membaca centang biru menjadi saksi. Namun hanya satu-dua siswa yang merespons, itu pun dengan balasan singkat seperti “Oke, Bu” atau sekadar emotikon.

Hal ini juga terjadi saat seorang guru wali kelas yang menulis pengumuman penting untuk orang tua murid. Sudah disusun dengan hati-hati, jelas, dan ramah. Tapi yang muncul hanya respons dari dua orang itu pun hanya stiker “noted” dan jempol. Sisanya? Hening. Situasi ini mencerminkan kondisi yang jauh dari komunikasi dua arah. Kita seperti berbicara pada dinding, bukan pada manusia.

Dalam dunia nyata, kita bisa menatap wajah lawan bicara dan menangkap respons meski tanpa kata. Namun di dunia digital, keheningan sering kali terasa lebih tajam. Karena tak ada kepastian apakah kita sedang didengar atau diabaikan. Di sinilah muncul pertanyaan yang menggugah: Apakah ini hanya kebiasaan baru yang netral atau tanda dari menurunnya tata krama dan kepedulian sosial di era digital?

Dalam Sosiologi, Erving Goffman menyebutkan bahwa dalam setiap interaksi sosial, kita melakukan face-work, usaha menjaga “wajah” atau harga diri diri sendiri dan orang lain. Tindakan kecil seperti mengangguk, menyapa, atau membalas adalah bagian dari menjaga relasi sosial tetap hangat (Goffman, 1967). Ketika kita memilih diam, terutama terhadap pesan yang jelas ditujukan kepada kita, kita bisa dianggap mengabaikan eksistensi orang lain.

Sementara itu, Sherry Turkle, peneliti komunikasi digital, dalam bukunya Reclaiming Conversation, mengungkapkan bahwa kita semakin “terhubung tetapi kesepian.” Kita hadir secara daring, tetapi tidak benar-benar terlibat secara emosional (Turkle, 2015). Kita membaca, tapi tidak merespons. Kita tahu, tapi memilih tidak peduli.

Dari sudut pandang teori media, Blumler dan Katz menjelaskan lewat Uses and Gratifications Theory bahwa kita menggunakan media untuk memenuhi berbagai kebutuhan sosial termasuk membangun hubungan dan kebersamaan (Blumler, 1974). Namun ketika komunikasi digital hanya menjadi ajang lalu-lalang pesan tanpa interaksi, maka fungsi sosial itu pun gagal dipenuhi. Grup WA bukan lagi ruang untuk menyambung rasa, tapi sekadar etalase informasi yang sunyi.

Fenomena ini terjadi hampir di semua jenis grup: grup kerja, keluarga, organisasi, hingga komunitas belajar. Di beberapa grup orang tua siswa, guru mengeluh tak kunjung mendapat respons atas informasi penting. Di grup komunitas, pengurus merasa sendirian menjalankan tugas. Karena setiap ajakan rapat atau permintaan konfirmasi hanya dibaca tanpa balasan. Di sinilah muncul rasa frustrasi, lelah, bahkan kehilangan semangat untuk berkomunikasi.

Namun, situasi ini tidak harus dibiarkan begitu saja. Ada beberapa langkah sederhana yang dapat kita lakukan untuk menghidupkan kembali etika komunikasi sosial di ruang digital. Pertama, bangunlah kesepakatan komunikasi dalam grup. Tidak harus formal. Bisa sesederhana “siapapun yang membaca informasi penting diharapkan merespons, minimal dengan kata noted, oke, atau siap.” Respons kecil seperti ini bisa memberi makna besar: bahwa pesan diterima dan dihargai.

Kedua, jadilah teladan. Kita tak harus selalu menjadi pengirim pesan, tapi bisa mulai menjadi penanggap yang sopan. Menanggapi dengan kalimat seperti “Terima kasih atas informasinya” atau “Mohon maaf, saya belum bisa hadir” adalah bentuk kesantunan digital.

Ketiga, jangan gunakan emotikon sebagai satu-satunya respons. Emotikon memang bisa membantu menyampaikan ekspresi, tapi dalam situasi tertentu, kata-kata tetap lebih bermakna. Gunakan emotikon sebagai pelengkap, bukan pengganti kata.

Keempat, penting bagi komunitas, sekolah, dan keluarga untuk mulai mengedukasi tentang literasi digital yang mencakup etika dan sopan santun. Dunia digital bukan ruang bebas tanpa norma. Justru di sanalah kita harus lebih sadar untuk menjaga adab dalam bertutur.

Akhirnya, komunikasi digital tetaplah komunikasi antarmanusia. Meskipun lewat layar, pesan yang dikirimkan tetap membawa niat, perhatian, dan harapan untuk terhubung. Jangan biarkan keheningan menjadi kebiasaan. Mari jaga ruang-ruang percakapan kita agar tetap hidup bukan sekadar dibaca, dibiarkan, lalu dilupakan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img