Baliho politik bertebaran di mana-mana. Di pinggir jalan, sudut-sudut kota dan desa terpampang wajah-wajah politisi yang ikut berkontestasi. Tak jarang kehadiran baliho politik itu bikin kotor, semrawut, merusak keindahan dan pemandangan. Baliho masih dipilih oleh hampir semua kontestan politik sebagai sarana merebut hati massa. Padahal, realitas yang diusung lewat gambar-gambar di baliho sejatinya realitas semu, imajiner, atau simulakra.
Baliho mengisi ruang-ruang publik, membujuk rayu pada semua yang melihatnya agar terpesona hingga simpati dan memberikan dukungan politiknya. Baliho sudah mulai dipasang sejak sebelum masa kampanye hingga semakin marak saat kampanye politik berlangsung. Aneka baliho politik itu dipasang oleh tim sukses masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), serta calon legislatif (caleg). Baliho juga dipasang oleh partai politik pendukung dalam koalisi.
Sejatinya berebut simpati dan dukungan lewat baliho bukanlah cara yang tepat. Merujuk sejumlah hasil penelitian bahwa media baliho tak punya relevansi yang kuat dalam mendongkrak simpati dan dukungan suara. Justru yang terjadi lewat aneka baliho yang cenderung rekayasa itu hanya menguatkan kesan pencitraan dan tebar pesona belaka. Gambar dan teks tentang sosok sang politisi yang ditampilkan dalam baliho biasanya juga cenderung manipulatif.
Simulakra Baliho
Realitas yang ditampilkan lewat gambar dan teks dalam baliho politik sejatinya realitas yang digantikan dengan simbol. Artinya, realitas yang tersaji bukannlah realitas nyata. Sosok politisi yang wajahnya terpampang sejatinya bukanlah sosok diri yang sebenarnya. Realitas yang dibangun lewat wajah yang tersenyum, kata-kata yang terkesan merakyat, peduli wong cilik, anti korupsi, kerja keras, kerja nyata, dan aneka kata rayuan yang lain itu hanyalah semu.
Meminjam istilah Jean Baudrillard, dalam bukunya yang berjudul “Simulacra and Simulation” (1981) bahwa aneka gambar dalam baliho merupakan simulakra. Simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner, semu, atau palsu manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Baudrillard menggunakan istilah “simulacra” untuk merujuk pada situasi di mana representasi tak lagi mencerminkan realitas, tetapi sebaliknya menciptakan realitas baru yang mandiri.
Simulakra dalam baliho politik dapat merujuk pada citra atau representasi sang politisi dalam visual baliho yang tidak memiliki hubungan langsung dengan dunia nyata atau yang asli. Aneka gambar tebar pesona hasil olahan dan simulasi komputer itu merupakan simulakra karena beragam gambar tersebut menciptakan dunia yang terpisah dari realitas fisik dari sang politisi yang sejatinya.
Pada masa kampanye politik saat ini, tak jarang seorang politisi yang berusaha menciptakan citra tertentu di mata publik untuk mendulang dukungan. Citra tersebut bisa dianggap sebagai simulakra jika tidak sepenuhnya mencerminkan karakter atau tindakan sebenarnya dari sang politisi tersebut. Sang politisi mungkin menggunakan simbol, gaya berbicara, atau bahasa tubuh untuk menciptakan citra yang diinginkan.
Pesan dalam baliho bisa jadi bukan pesan tentang kebenaran, namun justru pesan pembenaran. Artinya, pesan komunikasi yang sengaja dimunculkan dalam baliho didesain oleh sang kreator pesan bahwa yang disampaikannya adalah sesuatu yang benar. Padahal benar yang dimaksud adalah pembenaran lewat beragam manipulasi simbol yang penuh dengan rekayasa. Rekayasa pesan visual ini semakin mulus didukung oleh aneka software dan aplikasi visual yang banyak tersedia di internet.
Kampanye politik banyak diisi aneka narasi, termasuk lewat baliho yang berusaha menggiring opini masyarakat untuk memilih pemimpin yang ada dalam baliho. Baliho politik dimanfaatkan secara maksimal untuk pencitraan sang politisi dengan menguapkan kebenaran dan menghilangkan realitas.
Citra sang calon pemimpin banyak dibangun di atas fakta ilusif dan manipulatif. Melalui baliho politik itu menjadi media untuk menyampaikan representasi yang tak komprehensif sehingga apa yang sebenarnya justru tertutupi oleh kepalsuan dan rekayasa.
Post Truth
Baliho politik yang menjauhi realitas semakin menemukan ruang geraknya dengan memanfaatkan era pasca kebenaran (post truth). Era post truth merujuk pada situasi di mana emosi, opini, dan naratif sering kali lebih mempengaruhi pandangan masyarakat daripada fakta yang objektif. Pada masa pasca kebenaran ini banyak orang yang mendewakan emosi ketimbang fakta. Permainan emosi inilah yang coba dimainkan sejumlah pihak untuk mendapatkan simpati dan dukungan.
Kampanye lewat baliho politik dalam era post truth sering kali lebih fokus pada pengaruh emosional daripada pada argumen fakta. Pesan dalam baliho politik dapat dirancang untuk memicu respons emosional yang kuat daripada memberikan informasi yang mendalam atau fakta yang akurat. Ini dapat menciptakan citra yang lebih menarik bagi pemilih tanpa harus bergantung pada kebenaran yang objektif.
Pada era post truth, fakta-fakta dan realitas sering didistorsi atau diabaikan demi menciptakan naratif yang lebih sesuai dengan pandangan atau agenda tertentu. Hal ini berkaitan dengan konsep simulakra, di mana representasi bukan lagi mencerminkan realitas, tetapi menjadi konstruksi yang sengaja dibuat. Rekayasa atas realitas inilah yang sering tak disadari oleh masyarakat, terutama kelompok pendukung fanatik.
Kampanye pemilu di era post truth ini cenderung menciptakan polarisasi dalam masyarakat di mana orang cenderung percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Kampanye politik dapat memanfaatkan hal ini dengan memainkan politik identitas dan menciptakan naratif yang memicu emosi atau kepercayaan kelompok tertentu. Di sinilah potensi konflik antar kubu pendukung bisa bermula.
Beragam bentuk baliho politik merupakan salah satu bentuk media luar ruang yang digunakan oleh para politisi dan partai politik yang sedang ikut berkontestasi politik untuk mengkomunikasikan pesan mereka kepada calon pemilih potensial. Namun, berhubung realitas dalam baliho politik adalah realitas semu maka bagi masyarakat perlu berhati-hati dan kritis saat mencerna pesan dalam sebuah baliho politik.
Pada masa kampanye pemilu saat ini sejumlah baliho politik dibuat dengan desain simbolisme visual yang memikat. Lambang, warna, dan gambar yang digunakan mungkin memiliki makna yang mendalam atau mencoba membentuk persepsi tertentu. Simbol-simbol itu sejatinya bisa jadi simulakra jika pesan dalam baliho itu tak lagi memiliki hubungan langsung dengan realitas nyata dari apa yang diperbuat oleh sang sosok dalam baliho politik tersebut. Sadarlah! (*)