Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam lima tahun terakhir telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan global. AI kini tidak hanya digunakan untuk keperluan teknis seperti analisis data belajar atau sistem penilaian otomatis, tetapi juga mulai menyentuh aspek personalisasi pembelajaran dan intervensi psikologis. Menurut laporan Education Week (2025), sekitar 85 persen guru dan 86 persen siswa di Amerika Serikat telah memanfaatkan AI dalam aktivitas belajar mengajar harian. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sedang bergerak menuju model berbasis data dan sistem cerdas yang mampu menyesuaikan kebutuhan setiap siswa.
Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, juga mulai memperkenalkan penggunaan AI di sekolah sebagai bagian dari transformasi digital pendidikan. Namun, di balik manfaat besar yang ditawarkan, muncul kekhawatiran bahwa penerapan AI yang berlebihan dapat mengikis nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan, terutama aspek empati, kehangatan emosional, dan hubungan interpersonal antara guru dan peserta didik.
Dalam bidang bimbingan dan konseling (BK), penggunaan AI mulai diperkenalkan melalui sistem konseling berbasis data, chatbot konseling, serta platform yang mampu memprediksi risiko siswa seperti stres akademik atau potensi putus sekolah. Beberapa penelitian, misalnya yang diterbitkan dalam Revista Eduweb (2024), menunjukkan bahwa sistem AI dapat membantu menganalisis pola perilaku siswa dan memberikan rekomendasi intervensi dini bagi guru BK.
Meskipun demikian, muncul pertanyaan penting: apakah peran guru BK akan tergantikan oleh sistem cerdas ini, atau justru AI menjadi pelengkap yang memperkuat peran kemanusiaan guru dalam memberikan empati dan dukungan emosional kepada peserta didik?
Secara lebih spesifik, di tingkat sekolah menengah di Indonesia, guru BK menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Rasio antara guru BK dan jumlah siswa sering kali tidak seimbang; satu guru bisa menangani lebih dari 150 siswa. Dalam kondisi ini, layanan konseling personal sulit dilakukan secara mendalam.
Beberapa sekolah telah mencoba memanfaatkan aplikasi berbasis AI untuk membantu memetakan masalah siswa, seperti tingkat stres, minat belajar, dan keterlibatan sosial. Namun, implementasinya masih terbatas. Banyak guru BK yang belum memiliki literasi teknologi yang cukup untuk mengolah data tersebut menjadi strategi konseling yang efektif.
Selain itu, muncul pula keraguan terkait keamanan data siswa dan validitas hasil analisis AI dalam konteks psikologis. Fenomena ini menegaskan bahwa integrasi antara empati manusia dan kecerdasan buatan masih jauh dari sempurna.
Masalah lain yang muncul adalah persoalan privasi dan etika penggunaan data siswa. Dalam konteks konseling, data yang dikumpulkan sering kali bersifat sensitif, seperti riwayat keluarga, kondisi emosional, hingga catatan pribadi siswa. Tanpa regulasi dan sistem keamanan yang ketat, penerapan AI berpotensi menimbulkan kebocoran data atau penyalahgunaan informasi.
Kesenjangan ini menjadi alasan penting mengapa topik eksistensi guru BK di era AI perlu dikaji lebih dalam. Sebagian besar studi yang ada berfokus pada penerapan AI dalam pembelajaran, evaluasi, dan manajemen sekolah, bukan pada ranah konseling. Padahal, bidang bimbingan dan konseling memiliki karakteristik yang sangat khas, yakni berlandaskan empati, komunikasi interpersonal, dan kepercayaan.
AI seharusnya tidak menjadi ancaman, melainkan alat bantu yang memperkuat efektivitas kerja guru BK. Dengan memanfaatkan AI untuk memantau data siswa, memprediksi potensi masalah, dan melakukan asesmen awal, guru BK dapat menghemat waktu dan tenaga untuk fokus pada inti layanan: mendengarkan, memahami, dan menumbuhkan kesadaran diri siswa.
Secara akademik, penelitian tentang sinergi empati manusia dan AI juga penting untuk memperluas teori bimbingan konseling yang adaptif terhadap kemajuan teknologi. Ke depan, tantangan terbesar bagi dunia pendidikan bukan lagi sekadar memahami teknologi, melainkan menempatkannya secara bijak dalam kehidupan belajar-mengajar.
Guru BK memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa kecerdasan buatan tidak menggantikan empati, melainkan memperkuatnya. Integrasi antara AI dan layanan konseling hendaknya diarahkan untuk mempermudah guru dalam memahami kebutuhan siswa tanpa menghilangkan sentuhan manusia yang menjadi inti dari profesi ini.
Sekolah perlu mulai menyusun kebijakan yang mendorong pemanfaatan AI secara etis dan proporsional dalam layanan bimbingan. Guru BK pun penting dibekali pelatihan literasi digital agar mampu membaca dan memanfaatkan data secara bijak, namun tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi lain, dukungan pemerintah dan lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk menghadirkan regulasi yang melindungi privasi serta keamanan data siswa di era digital.
Pada akhirnya, keberadaan AI dalam dunia pendidikan seharusnya tidak dimaknai sebagai ancaman terhadap profesi guru BK, tetapi sebagai peluang untuk memperluas daya jangkau layanan bimbingan dan konseling. AI bisa menjadi mitra strategis yang membantu guru BK memahami siswa secara lebih cepat dan akurat, sementara guru BK tetap memegang peran utama dalam memberikan sentuhan manusiawi yang tidak dapat digantikan oleh mesin.
Sinergi antara empati manusia dan kecerdasan buatan adalah kunci agar layanan konseling di sekolah tetap relevan, adaptif, dan berdaya guna di tengah kemajuan zaman. Guru BK bukan hanya harus melek teknologi, tetapi juga harus menjadi jembatan yang memastikan bahwa kemajuan AI tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.(*)