Seringnya kita jumpai instansi-instansi yang menitipkan programnya pada sekolah. Di antaranya, Kementerian lingkungan hidup dengan program Adiwiyata, dinas kesehatan dengan program vaksin, tambah darah, gizi siswa, serta penyuluhan kesehatan. Terakhir, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) dengan program SSK.
Apa sebenarnya SSK itu? SSK adalah Sekolah Siaga Kependudukan yaitu sekolah yang mengintegrasikan pendidikan kependudukan dan keluarga berencana, ke dalam beberapa mata pelajaran sebagai pengayaan materi pembelajaran, dimana di dalamnya terdapat pojok kependudukan sebagai salah satu sumber belajar peserta didik.
Pojok kependudukan merupakan sarana siswa mendapatkan informasi tentang kependudukan utamanya membentuk generasi keluarga berencana, serta dapat memahami isu kependudukan. Siswa SMP dan SMA menjadi sasaran program SSK ini karena merupakan kategori penduduk usia produktif.
Penduduk usia produktif adalah penduduk dengan usia 15 sampai dengan 64 tahun. Jumlah kelompok usia produktif ini proporsinya lebih dari 50 persen, dibandingkan dengan kelompok usia non produktif yaitu usia 0 sampai dengan14 tahun dan usia di atas 65 tahun. Inilah yang disebut fenomena bonus demografi yaitu proporsi usia produktif lebih banyak dibanding usia non produktif.
Fenomena bonus demografi ini merupakan waktu yang tepat menyiapkan generasi muda yang berkualitas yaitu generasi yang mampu mengasah potensi dirinya serta meraih tujuan hidupnya untuk menjadi generasi penerus yang berkualitas, serta memiliki pemahaman, sikap dan perilaku yang baik, juga memiliki pengetahuan dan wawasan tentang kependudukan dan Keluarga Berencana (KB), terutama memahami waktu atau usia yang tepat untuk menikah.
Era teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat ini memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan remaja. Kemudahan dan kecepatan mengakses informasi dari penjuru dunia menjadi sebuah tantangan yang cukup berat dalam membentuk generasi muda berkualitas.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka putus sekolah di Indonesia meningkat pada 2022. Angka putus sekolah di jenjang SMP tercatat sebesar 1,06 persen pada 2022. Persentase tersebut juga meningkat 0,16 persen poin dari tahun lalu yang sebesar 0,90 persen. Lalu, angka putus sekolah di jenjang SD sebesar 0,13 persen. Persentasenya lebih tinggi 0,01 persen poin dibandingkan pada 2021 yang sebesar 0,12 persen. Selain itu data BPS juga menunjukkan bahwa 33,76 persen remaja di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Dan sebanyak 19,24 persen remaja yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.
Banyaknya kasus putus sekolah dan pernikahan dini inilah yang menjadi dasar mengapa perlu menanamkan pendidikan keluarga berencana pada jenjang sekolah khususnya SMP dan SMA. Selain itu untuk menekan angka kriminalitas remaja, materi dalam SSK juga meliputi tentang bahaya narkoba, akibat tawuran pelajar, serta seks bebas.
Jadi materi dalam SSK tidak melulu mengenai usia yang tepat untuk merencanakan pernikahan sesuai program BKKBN saja melainkan tentang segala macam masalah kependudukan di Indonesia. Permasalahan yang muncul adalah dengan jumlah jam pelajaran siswa di sekolah, apakah memasukkan muatan SSK tidak memberatkan siswa?
Tidak dipungkiri, beban tugas siswa setiap harinya di sekolah memang cukup padat. Namun seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa program SSK ini mengintegrasikan pendidikan kependudukan dan keluarga berencana pada mata pelajaran seperti IPS, Bahasa Indonesia, PPKn, Agama, dan lain sebagainya. Jadi bukan menjadi mata pelajaran baru atau yang berdiri sendiri, melainkan masuk dalam materi masing-masing mapel sebagai pengayaan.
Sebagai contoh pada pelajaran Bahasa Indonesia, integrasi pendidikan kependudukan dan keluarga berencana bisa melalui tema-tema dari materi yang diajarkan maupun menjadi tugas siswa. Misalnya, pada pembelajaran menulis cerpen, siswa bisa mengangkat tema kenakalan remaja atau pernikahan dini sebagai bahan dalam cerpen mereka.
Selain materi menulis cerpen, pada pelajaran Bahasa Indonesia banyak materi yang bisa diintegrasikan di antaranya, pembelajaran puisi, pidato, drama, dan lain sebagainya yang mengangkat masalah narkoba, pernikahan dini, seks bebas dan lain-lain. Jadi, program SSK ini tidak akan memberatkan siswa, justru menjadi pengayaan materi siswa.
Namun, justru yang menjadi sebuah catatan harusnya pendidikan kependudukan dan keluarga berencana ini tidak hanya didapatkan di sekolah saja melainkan di rumah juga. Terkadang di sekolah mereka mendapatkan berbagai macam materi tentang hal positif yang dapat dilakukan, namun di rumah justru mereka menemukan contoh-contoh negatif yang menjadi sebuah kebiasaan dan tidak bisa mereka hindari.
Hal ini tentunya bertolak belakang dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah. Sebagai contoh kecil, di sekolah siswa memahami dampak pernikahan dini namun justru di lingkungan mereka, banyak dijumpai remaja di usia dini yang harus menikah karena tradisi atau adat setempat maupun karena faktor kecelakaan. Inilah yang bertolak belakang dan menimbulkan kebingungan bagi siswa.
Harusnya, pendidikan kependudukan dan keluarga berencana tidak hanya diperoleh siswa di sekolah saja melainkan juga didapatkan siswa di rumah. Dengan asumsi, waktu yang siswa habiskan di rumah lebih banyak dibandingkan di sekolah.
Tentunya akan menjadi ketimpangan apabila di sekolah, siswa memperoleh nilai-nilai tentang bagaimana menjadi Generasi Berencana (GenRe) namun sebaliknya nilai-nilai tersebut bertolak belakang dengan apa yang mereka temui di rumah maupun lingkungannya.
Pada dasarnya materi SSK sangatlah tepat diberikan pada remaja di sekolah untuk membekali mereka agar memiliki pengetahuan tentang keluarga berencana dan permasalahan kependudukan. Banyak manfaat yang siswa dapatkan dari berbagai materi SSK yang diberikan dan terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada di sekolah. Meski tidak semua sekolah menjadi Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) namun dengan pengimbasan sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah siaga kependudukan tersebut maka ke depannya banyak siswa yang memahami pentingnya menjadi Generasi Berencana.(*/mpm)