.
Saturday, December 14, 2024

Siswa Juara di Bidangnya Masing-masing

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Sistem ranking itu adalah sistem yang tidak adil dan berbahaya bagi perkembangan konsep diri anak karena yang menjadi patokan selalu nilai rata-rata…. Jika sebuah kelas terdiri dari 40 anak, maka semakin rendah rankingnya berarti semakin bodoh anak itu. Anak berpikir secara linier dan cenderung akan menerima kenyataan bahwa ia bodoh karena berada di ranking bawah.” Demikian ditulis Adi Gunawan dalam bukunya ‘Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?’ (2005).

Ranking adalah kata yang biasa digunakan untuk menilai peringkat prestasi di sekolah. Dan hampir di semua sekolah menerapkan kata ranking untuk mengetahui tingkat kepintaran peserta didik. Dalam dunia pendidikan rangking berarti mengurutkan skill peserta didik dari yang memiliki kecerdasan rata rata.
Ranking juga digunakan untuk mengklasifikasikan peserta didik ke dalam kelas kelas tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan. Bisa dikatakan ranking adalah sebuah sistem yang dipergunakan untuk mengatur indikator kecerdasan peserta didik.


Tidak diketahui secara pasti kapan awal mula penggunaan sistem ranking kelas dan siapa yang mencetuskan awal mula sistem tersebut. Yang pasti sistem ranking telah ada sejak penulis duduk di bangku sekolah dasar bahkan bisa jadi sejak puluhan tahun yang lalu sebelum penulis dilahirkan.
Yang penulis pahami ranking kelas menjadi momok menakutkan bagi peserta didik. Berkembang satu stigma peringkat tertinggi di kelas sudah pasti yang paling pintar. Peringkat terendah di kelas sudah pasti yang paling bodoh.


Penulis menyadari stigma ini sudah menjadi warisan turun temurun ibarat harta karun yang tidak pernah ada habisnya. Faktanya sistem ranking bagaikan dua mata pisau yang memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi positif dan sisi negatif yang berjalan beriringan.
Rangking bisa memotivasi peserta didik untuk menghadirkan sisi terbaiknya, tetapi sistem rangking juga bisa menyiksa batin peserta didik. Berkembangnya stigma “Peringkat pertama adalah yang paling pintar” membuat peserta didik berlomba lomba mendapatkannya.


Alasannya sangat sederhana, ingin diakui sebagai yang paling pintar. Dari stigma ini kemudian menyebabkan sebuah persaingan antar peserta didik. Jika persaingannya secara sehat akan membawa pengaruh positif, peserta didik selalu bekerja keras mendapatkan nilai yang maksimal.


Tapi bagaimana jika timbul persaingan yang tak kasat mata, akan menggunakan segala cara untuk menang, misalnya mencontek. Dan yang lebih mengerikan, masih banyak orang tua yang memaksakan ego agar anaknya menjadi peringkat satu di kelas.


Hal tersebut tentu memberikan tekanan tersendiri kepada peserta didik karena harus memenuhi ekspektasi orangtua. Bukannya menjadi percaya diri, mendapat rangking justru PR yang paling membebani peserta didik.


Psikolog Sartono Mukadis pernah mengatakan sistem ranking kelas di sekolah merupakan bentuk pelecehan pada anak karena akan membuat keadaan menjadi tidak sehat. Tapi tetap saja ada semacam obsesi untuk meranking, mengukur prestasi belajar anak-anak.(tirto.id-pendidikan, 13/12/2016)

9 Bentuk Kecerdasan
Menurut Howard Gardner dalam karyanya yang berjudul “Intelligence Reframed: Multiple Intelligences”, kecerdasan manusia dibagi menjadi 9 bentuk. Gardner memandang bahwa kecerdasan tidak hanya berdasarkan skor standar penilaian kecerdasan, tetapi juga kemampuan manusia untuk memecahkan sebuah permasalahan dalam kehidupan. Sembilan bentuk kecerdasan tersebut antara lain: Pertama, kecerdasan logika-matematika. Kemampuan yang mampu dalam menalar dan menghitung, menyukai konsep teka-teki, dan bermain dengan logika. Kedua, kecerdasan linguistik. Kemampuan berbahasa dan mengolah kata-kata secara efektif.


Ketiga, kecerdasan interpersonal. Kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan suka pergaulan yang luas. Keempat, kecerdasan intrapersonal. Kemampuan dalam memahami diri sendiri dengan bijaksana, intuisi, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kelima, kecerdasan musik. Kemampuan dalam membedakan nada, ritme maupun timbre.


Keenam, kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemampuan menggunakan tubuh secara efektif dan suka bergerak. Ketujuh, kecerdasan visual-spasial. Kemampuan dalam menggambar. Pembelajaran mereka akan sangat efektif jika menggunakan gambar maupun alat peraga yang dapat dilihat secara langsung
Kedelapan, kecerdasan naturalis. Kemampuan untuk peka terhadap alam, menyayangi hewan dan suka akan tumbuh-tumbuhan. Kesembilan, kecerdasan eksistensial. Kemampuan untuk peka terhadap asal usul, arti hidup dan mati.
Oleh karena itu, kecerdasan anak tidak dapat ditentukan dari satu tes tertentu. Pada dasarnya tidak ada anak bodoh. Semua memiliki kecerdasan masing-masing. Tidak semua peserta didik menguasai semua bidang. Bahkan hal itu bisa dikatakan hampir mustahil.


Rangking kelas diakumulasi dari keseluruan jumlah nilai mata pelajaran. Nilai rapor kelas adalah dua hal yang ditakutkan anak didik. Takut mendapat nilai rapor yang buruk, takut gelar peringkat kelasnya tergeser, atau takut tidak mampu memenuhi ekspektasi orangtua .
Bayangkan jika kita menjadi orangtua, saat rapor dibagikan anak kita mendapatkan ranking 25 dari 25 siswa di kelasnya. Maka bisa disimpulkan semua orang mengganggap anak itu bodoh. Inilah sisi negatif sistem ranking. Bisa dibilang “kezaliman” sistem ranking. Ia menghakimi peserta didik dengan label pintar dan bodoh.


Padahal bisa saja anak yang dihakimi bodoh tersebut calon penulis masa depan atau calon ilmuwan Islam seperti Al-jazari dengan julukannya “Father of Robotics.” Thomas Alva Edison bahkan dicap bodoh di sekolah, tapi jadi pemilik banyak hak paten yang membangun perusahaan raksasa bernama General Electric. Bahkan jenius abad ke-20 pun Albert Enstein bukanlah mahasiswa teristimewa di kampusnya.


Jika terjadi hal tersebut itu, sekolah bisa dikatakan bukan saja gagal menemukan kecerdasan dan bakat peserta didiknya tetapi juga membunuh potensi peserta didiknya. Segala sesuatu yang terjadi memiliki alasan tertentu. Begitu halnya dengan pola pikir ranking kelas sebagai patokan kecerdasan seorang siswa. Ranking kelas seharusnya bukan mutlak yang dapat menjadi tolak ukur kecerdasan murid.


Semenjak berlakunya kurikulum 2013, sebenarnya sistim ranking ini sudah tidak ada lagi. Apalagi sekarang zamannya Mendikbudristekdikti mas Nadim Makariem, berlakunya Kurikulum Merdeka tidak ada ruang untuk system perankingan tersebut.


Semua murid juara di bidangnya masing-masing. Jangan pernah bandingkan mereka. Karena itu perbandingan yang jelas tidak adil. Tuhan menciptakan mahkluknya dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Fokuslah pada kelebihan dan jangan mencari kelemahan. Saling menutupi kekurangan, karena manusia adalah makhluk sosial yang mengharuskan untuk hidup berdampingan satu sama lain.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img