Oleh: Diah Budiarti
Guru Bahasa Indonesia
SMA Islam Sabillillah Malang
Siapa yang tak kenal teknologi di era kini? Bahkan orang-orang masa lalu yang hidup sejak di zaman SMS, Friendster, Facebook, Twiter, Line, WA, hingga Instagram mereka pun karib dengan media-media sosial tersebut. Yang lebih canggih lagi, saat ini sudah muncul teknologi berbasis kecerdasan buatan atau yang sering kita kenal dengan AI. Sehingga hampir seluruh kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia nyaris bisa dikerjakan oleh mesin dunia digital.
Hanya bermodal perintah suara atau bahasa lisan maupun tulis, mesin AI atau Artificial Intelligence siap merampungkan tugas yang kita berikan. Tak sedikit orang yang memanfaatkan AI ini, mulai dari pekerja yang berada di sektor publik hingga di dunia pendidikan mulai dari guru hingga siswanya.
Tidak bisa dipungkiri, siswa sekarang secanggih zamannya. Mengapa? Mereka yang genzi ini tidak pernah terlepas dari sentuhan teknologi dalam helaian harinya. Sepanjang waktu, kesibukannya dipadati dengan interaksi digitalisasi. Baik bermain game, menonton Youtube, pembelajaran berbasis laptop, hingga pengerjaan tugas dengan memanfaatkan AI. Fitur yang sering mereka gunakan salah satunya chat GPT.
Dikutip dari Kompas.com, ChatGPT memiliki singkatan “Chat Generative Pre-trained Transformer.” Hal tersebut adalah model bahasa alami yang besar dan canggih yang dilatih menggunakan teknologi Deep Learning oleh OpenAI. Model ini dirancang untuk memahami dan menghasilkan teks yang terkait dengan berbagai topik.
Dengan menggunakan algoritma, ChatGPT dapat berinteraksi dengan pengguna melalui percakapan dalam bahasa alami. ChatGPT berusaha memberikan jawaban dan informasi yang relevan berdasarkan pemahamannya tentang teks dan pengetahuan yang diperoleh selama pelatihannya.
Lalu salahkah bila siswa merampungkan seluruh tugas-tugasnya menggunakan ChatGPT? Di sini penulis berpendapat bahwa tidak semuanya salah. Meskipun hal ini tentu memberikan dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya lebih pada kurangnya kemandirian siswa dalam pengerjaan tugasnya karena selalu mengandalkan otak teknologi.
Selain itu, siswa merasa tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Dampak positifnya, ia lebih menyimpan banyak energi untuk bisa dialihkan pada produktivitas lain yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi itu sendiri. Pekerjaan juga akan selesai dalam waktu singkat.
Ada baiknya, siswa dituntut bijak dalam berteknologi. Bagaimana seorang siswa bisa menggunakan kecanggihan teknologi itu dengan sebaik mungkin dan tidak digunakan untuk hal negatif. Misalnya saja begini, seorang guru Bahasa Indonesia memberikan tugas untuk membuat cerpen dengan tema tertentu.
Ada seorang siswa yang membuat tugas cerpen tersebut dengan memanfaatkan teknologi AI untuk merampungkan penulisan cerpennya. Guru harus jadi yang lebih bijak. Jika dirasa memang tidak ingin siswanya menggunakan bantuan teknologi, bisa diberi penegasan di awal bila terbukti ketika di-scan karya sekian persen adalah hasil kerja dari plagiarism atau buatan chat GPT, guru berhak tidak memberi nilai.
Bisa juga guru mempersilakan siswanya dalam merampungkan penugasan pembuatan cerpen dengan chat GPT. Namun, ada baiknya guru juga memberi batasan pada siswa. Misalkan ide kerangka cerita wajib dibuat oleh siswa, Chat GPT atau teknologi sejenisnya hanya berfungsi untuk mengembangkan ceritanya.
Kadang kala yang perlu diperhatikan adalah hasil tulisan yang dihasilkan oleh teknologi tidak serta merta langsung dikumpulkan begitu saja. Di sinilah siswa berperan untuk critical thinking. Siswa harus bisa menjadi pemfilter dari hasil kinerja AI. Tidak hanya memfilter tetapi juga wajib melakukan editing maupun paraphrase dari kalimat-kalimat cerita yang dibuat oleh AI.
Berbeda halnya dengan materi mata pelajaran lain misalnya ilmu MIPA yang mana hanya dengan memasukkan soalnya saja, jawaban sudah terpampang jelas beserta cara pengerjaannya pada chat GPT. Hal ini sebenarnya tidak dibenarkan karena SiswAI-Able akan sangat memiliki ketergantungan untuk tidak mengerjakan tugas dan hanya mengandalkan teknologi.
Sehingga demikian tidak menambah pengetahuan dan keterampilan berpikir siswa. Guru berhak untuk memerintahkan siswa untuk tidak membuka laptop atau piranti alat bantu lain selama penugasan berlangsung.
Penulis biasanya memperkenankan siswa untuk mengerjakan tugas dalam materi Bahasa Indonesia tertentu menggunakan AI seperti penulisan puisi ataupun cerpen. Namun, tidak untuk tugas-tugas yang berbau pemecahan masalah.
Untuk dunia tulis menulis bagi penulis bisa berkolaborasi dengan AI karena selain memudahkan dan hemat waktu, kita akan punya plot twist atau alur cerita yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sehingga demikian bisa menambah referensi untuk memantik daya imajinasi penulis. Setelah mendapat referensi dari AI, penulis wajib mengolah kembali cerita yang ada supaya kian sempurna dan lebih menarik.
Uniknya, SiswaAI-able ini kadang kala suka berkelit. Mereka bukanlah tipikal siswa-siswi yang mudah mengakui kelemahan. Ketika ditanya apakah benar mengerjakan sendiri? Mereka akan spontan mengangguk dan mengakuisisi bahwasanya pekerjaan chat GPT dari penugasan guru adalah hasil kerja mereka secara mandiri.
Bahaya dari teknologi yang membuat siswa menjadi lebih malas, plagiasi, dan tidak jujur adalah ancaman di masa kini hingga masa mendatang. Oleh karena itu, penjajahan teknologi ini tetap harus dimenangkan oleh guru-guru, pemberi instruksi atau tugas. Kita selaku manusia yang lebih super hebat dibandingkan teknologi yang kita buat sendiri.
Bukankah diri kita lebih hebat daripada AI? Bukankan AI itu kita yang membuat? Lalu bagaimana bisa AI mengalahkan pembuat? Tentu pembuat lebih hebat, kan? Dengan memiliki stategi yang jitu untuk tak terkalahkan dengan teknologi, bisa menjadi pengendali atasnya. Kita dapat lebih memanusiakan manusia-manusia penikmat teknologi itu sendiri.(*)