Jumlah Murid Baru Jadi Masalah Serius
MALANG POSCO MEDIA- SMA swasta di Malang Raya harus berpikir keras cari siswa baru. Itu karena persoalan kekurangan murid baru masih terjadi tahun ajaran baru yang mulai berlangsung ini.
Penerimaan siswa baru di SMA swasta di Kota Malang belum merata. Ada sebanyak 37 SMA swasta di Kota Pendidikan ini. Namun yang memenuhi pagu peserta didik baru, masih sampai sekitar 30 persen saja. Bahkan di Tahun Ajaran 2022/2023 lalu, ada SMA yang hanya mendapat tiga siswa baru. Dengan jumlah total siswa sebanyak 21 siswa.
Ada juga yang hanya mendapat delapan siswa baru. Ada yang sembilan, 11 dan 12. Kondisi ini sangat berat untuk bertahan. Apalagi berkembang. Perbandingan rasio guru dan siswa tidak lagi ideal.
Ketua MKKS SMA Swasta Kota Malang Rosdiana Amini, M.Pd memperkirakan tahun ajaran 2023-2024 tidak jauh berbeda. Sekolah yang tahun lalu mendapat siswa tidak banyak juga mengalami hal yang sama pada tahun ini.
Rosdiana belum dapat menyampaikan data pasti perolehan siswa baru SMA swasta tahun ini. Karena belum ada rapat koordinasi dengan anggota kepala sekolah. MKKS belum mendapat laporan perolehan setiap sekolah. “Kondisinya memang demikian. Angkanya diperkirakan tidak jauh berbeda dalam beberapa tahun terakhir,” katanya kepada Malang Posco Media.
Kesenjangan jumlah siswa baru antar SMA swasta masih sangat tinggi. Sampai ada istilah SMA ‘gemuk’ dan ‘kurus’. Sesuai dengan jumlah siswanya. Dan sesuai jumlah siswa baru yang diterima.
Rosdiana mengatakan sebagai lembaga swasta memang harus bekerja keras. Bahkan ekstra keras. Karena persaingan semakin ketat. Baik antar SMA swasta maupun bersaing dengan SMK. Belum lagi dengan SMA dan SMK negeri.
Meskipun kata Rosdiana SMA negeri di Malang jumlah siswanya tidak banyak peningkatan. Hanya ada dua SMA negeri dengan jumlah siswa terbilang banyak. Hanya saja SMA swasta menjadi semakin tertekan ketika bersaing dengan SMK. Terlebih bagi SMA yang kurus. Menjadi lebih kurus.
Itu karena SMK memiliki banyak jurusan. Dan pagu siswa barunya tidak dibatasi. “Maka selain harus bersaing dengan sesama SMA, baik negeri maupun swasta, kita juga harus bersaing dengan SMK,” ujarnya.
Kepala SMA Laboratorium UM ini mengatakan, sebagai sekolah swasta harus kreatif. Harus inovatif. Harus berani melakukan terobosan baru untuk mendongkrak kepercayaan masyarakat. Tidak lain guna meningkatkan jumlah siswanya.
Sebab menurut Rosdiana, biaya pendidikan tidak serta merta menjadi alasan masyarakat. Selagi rasional atau masuk akal dan sesuai fasilitas layanan yang diterima siswa maka masyarakat akan tertarik.
“Terbukti banyak SMA di Malang yang biayanya luar biasa mahal, tapi siswanya banyak. Bahkan menerapkan sistem inden,” kata dia.
Selain itu, peran serta pemerintah juga dibutuhkan. Perhatian pemerintah terhadap eksistensi SMA swasta sejak dulu sangat diharapkan.
Setidaknya memberikan kesempatan kepada sekolah swasta dengan membatasi pagu siswa SMA negeri. “Kami kira tidak perlu lagi ada tambahan jalur PPDB. Cukup yang sudah berlaku selama ini,” harapnya.
Sementara itu masa penerimaan peserta didik baru di lembaga pendidikan setingkat SMA di Kabupaten Malang juga mengalami problem pendaftar yang tak sesuai target.
Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA swasta Kabupaten Malang Ahmad Fadhol Nawawi mengakui hal tersebut terjadi. “Dari beberapa kepala sekolah mengaku ada yang menurun penerimaannya. Turun dari tahun kemarin mungkin 50 anak. Misal 150 siswa pada tahun lalu, tahun ini 100 siswa,” jelas Fadhol, kemarin.
Menurut dia hal ini terjadi dihampir semua SMA swasta. Salah satunya di SMA Al Fatah Singosari menargetkan 105 siswa, namun yang berhasil diterima 79 orang.
Problemnya sambung Fadhol, beragam faktor. Salah satunya keberadaan pondok pesantren yang menyediakan sekolah formal. Sedangkan orang tua memilih pendidikan anak yang dekat dengan basis agama. Pondok pesantren menjadi salah satunya.
“Tak jarang menunda dulu satu tahun agar lulusan pondoknya sesuai dengan tahun kelulusan sekolah, akhirnya menunda pendaftaran,” tambahnya.
Selain persaingan, sejumlah daerah juga terdampak zonasi. Diketahui, kuota yang ditetapkan Dapodik sebanyak 32 siswa dalam satu kelas. Kuota mengalami perubahan 36 siswa satu kelas di kurikulum Merdeka Belajar. “Ada beberapa yang kekurangan juga mengalami tidak sampai kuota satu kelas,” katanya.
Bukan tanpa strategi, upaya promosi dan melakukan pelengkapan fasilitas prasarana serta pendidikan agama menjadi jalan yang diambil. Pihaknya juga berkomunikasi dengan Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jatim. “Tiap tahun selalu ada keluhan SMA swasta susahnya mencari siswa. Dari provinsi pembinaan yang dilakukan masih kurang serius,” imbuhnya.
Kondisi serupa juga terjadi di SMA maupun SMK swasta di Kota Batu. Yakni kekurangan siswa baru. Hal itu diungkapkan Ketua MKKS SMK Swasta Kota Batu, Edy Mintarjo.
“Siswa tahun ajaran baru di SMA/K swasta di Kota Batu kami akui kekurangan siswa baru. Minimnya siswa baru di sekolah swasta kemungkinan karena kalah bersaing,” ujar Edy kepada Malang Posco Media.
Ia mencontohkan di sekolah yang dipimpinnya, yakni SMK Ma’arif Kota Batu. Siswa baru tidak sampai menyentuh 100 siswa. Padahal tahun-tahun sebelumnya setidaknya ada 100-130 siswa baru yang masuk.
Edy menerangkan minimnya siswa baru mendaftar juga dikarenakan sekolah negeri menambah kuota setiap tahunnya. Untuk itu pihaknya seringkali menyampaikan permasalahan tersebut ke DPRD Provinsi Jatim.
“Sudah sering kami sampaikan keluhan kami ke DPRD. Contoh di Kota Batu ada salah satu SMK negeri tidak punya gedung memaksakan dengan menyekat ruang kelas untuk bisa dapat siswa lebih banyak. Ini juga jadi penyebab sekolah swasta kekurangan siswa,” ungkapnya.
Sementara terkat fasilitas dikatakan dia, sekolah swasta juga tidak kalah. Namun ia tidak memungkiri terkait kualitas sekolah swasta ada yang kalah.
“Sehingga wali murid atau siswa lebih memilih sekolah negeri. Nah kalau sudah seperti itu kami tidak bisa memaksakan,” pungkasnya. (imm/tyo/eri/van)