Sabtu lalu, saya terjebak kemacetan cukup panjang. Ada giat karnaval, pawai Suroan atau bersih desa. Ada pawai budaya yang menggunakan jalan raya sebagai panggungnya. Ikut dalam rangkaian pawai yakni mobil truk dan pick up yang mengusung sound system berdaya tinggi. Aneka lagu disco remix dan dangdut koplo di putar dengan suara bass yang dominan. Sound system model ini dikenal dengan sound horeg.
Saya lihat banyak orang yang enjoy menikmati musik dan lagu yang dentuman bass-nya hingga getarkan dada. Lampu warna warni, sorot srobo, dan sinar laser dimainkan seirama musik dan mengiringi gerakan para penari yang berpenanpilan seksi. Sementara itu, saya juga melihat ada banyak orang yang tak bisa menikmati suara bising yang keluar dari tumpukan speaker yang ditata di bak mobil itu.
Fenomena sound horeg telah memunculkan pro kontra. Banyak yang setuju dan menilai itu bagian dari seni. Namun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai pengganggu ketenangan, membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum, dan kemungkaran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim dan Kota Malang telah mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg berdaya besar.
Melalui tulisan ini saya tak ingin ikut berpolemik soal halal-haram, namun saya mencoba melihatnya dari sudut pandang yang berbeda yakni sound horeg sebagai fenomena budaya populer dan bentuk perlawanan simbolik.
Budaya Populer Akar Rumput
Sound horeg dengan suara bass menggelegar, lampu warna-warni, dan mobil truk modifikasi yang bergerak di jalan-jalan kampung jadi simbol ekspresi budaya populer akar rumput. Sound horeg bisa dibaca sebagai bagian dari dinamika budaya populer yang tumbuh dari bawah. Sound horeg itu hasil percampuran antara teknologi sound system, lighting, kendaraan, kreativitas lokal, dan keinginan menunjukkan eksistensi di ruang publik.
Munculnya sound horeg adalah contoh nyata bagaimana budaya populer tumbuh dari pinggiran, bukan dari pusat kekuasaan budaya. Budaya populer sering kali dianggap inferior dibanding budaya tinggi (high culture), seperti musik klasik atau seni rupa. Dalam studi budaya, sound horeg sebagai bagian budaya populer justru bisa jadi medan penting untuk melihat dinamika kelas, identitas, dan resistensi.
Sound horeg kebanyakan produk industri kreatif lokal. Banyak penyedia jasa sound horeg yang berawal dari komunitas lokal. Mereka menyewakan jasa ke acara hajatan, perayaan desa, karnaval, dan event lain. Para penggemar sound horeg tak hanya jadi penonton pasif, mereka jadi aktor yang membentuk dunia mereka yakni mengatur musik, merancang pencahayaan, dan membuat koreografi joget massal.
Di Malang Raya dan di sejumlah daerah lain, kemunculan sound horeg bisa jadi ruang ekspresi anak-anak muda yang sering kali tak memiliki akses ke hiburan “berkelas”. Mereka menciptakan dunia mereka sendiri dengan estetika yang mungkin dianggap norak oleh sebagian kalangan, namun penuh semangat, kebersamaan, dan kreativitas. Inilah esensi budaya populer yang tak selalu elitis, namun meriah, partisipatif, dan akrab dengan publik.
Perlawanan Simbolik
Kemunculan sound horeg juga bisa dilihat sebagai cerminan perlawanan simbolik masyarakat pinggiran terhadap dominasi budaya mapan, terhadap keterbatasan ruang ekspresi, bahkan terhadap ketimpangan sosial yang kian nyata. Perlawanan simbolik ini hadir lewat musik, tarian, gaya busana, bahkan lewat volume speaker. Sound horeg bisa dibaca sebagai bentuk resistensi kultural perlawanan terhadap tatanan sosial budaya dominan yang sering mengabaikan suara dan selera masyarakat bawah.
Merujuk Stuart Hall (1981), budaya populer adalah arena pertarungan makna (struggle over meaning). Hall menyatakan bahwa budaya populer bukan sekadar hiburan massa, tapi tempat di mana makna dinegosiasikan, direbut, dan diredefinisi. Membaca fenomena sound horeg lewat kacamata Stuart Hall, kita melihatnya bukan sebagai produk hiburan semata, tapi sebagai medan perlawanan ideologis antara budaya mapan dan rakyat biasa.
Saat suara bass menggetarkan dinding, kaca, genting rumah, dan sekelompok orang menari bersama dalam cahaya strobo dan laser, sesungguhnya kita sedang menyaksikan ritual perlawanan simbolik. Di sini, musik bukan sekadar hiburan, melainkan alat negosiasi identitas dan kekuasaan. Simon Frith (1981) dalam “Sound Effects: Youth, Leisure, and the Politics of Rock’n’Roll”, menyebut bahwa musik populer memiliki dimensi politis karena ia memungkinkan pengalaman kolektif yang berbeda dari narasi dominan.
Dalam bukunya “Subculture: The Meaning of Style”, Dick Hebdige (1979) menjelaskan bahwa ekspresi budaya kelompok-kelompok pinggiran sering kali menggunakan gaya dan simbol untuk menyampaikan perlawanan terhadap tatanan dominan. Menurut Hebdige, hal-hal yang dianggap “norak” oleh kelas dominan justru merupakan kode-kode perlawanan. Sound horeg dengan estetika, dentuman suara tanpa kompromi, dan tarian bebas di ruang terbuka bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan simbolik.
Tak bisa dimungkiri bahwa sound horeg timbulkan ambivalensi sosial. Banyak keluhan tentang polusi suara, ketertiban umum, dan perilaku yang mengarah kemungkaran. MUI dan Pemda telah membuat regulasi yang ketat. Namun, langkah ini perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan edukatif, bukan semata represif. Pemerintah, MUI, seniman, dan komunitas perlu terus mencari solusi terbaik. (*)