.
Saturday, December 14, 2024

Spirit Ramadan vis a vis Perilaku Flexing

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media-Setelah dalam tiga tahun terakhir pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dalam suasana pandemi yang penuh dengan berbagai aturan pembatasan aktivitas secara kolektif, kita kembali dalam kondisi yang relatif normal pada tahun ini.

Berbagai ekspresi euforia tampak mulai dari kembali bertebarnya pasar Ramadan yang menyediakan aneka menu makanan dan minuman untuk berbuka di sepanjang ruas jalan utama kota sampai kembali ramainya aktivitas ibadah seperti sholat tarawih di berbagai tempat.

Namun, di tengah keceriaan masyarakat dalam menyambut bulan yang penuh dengan ampunan (syahrul maghfirah) tersebut, kita justru disajikan dengan maraknya pemberitaan tentang perilaku pejabat yang gemar pamer kemewahan di ruang publik (flexing).          Berawal dari tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap David (20/2) yang berujung pada pencopotan Rafael Alun Trisambodo (ayah Dandy) dari jabatannya selaku Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II.

Pencopotan tersebut bukan semata-mata karena tindakan penyaniayaan yang dilakukan oleh anaknya, tetapi lebih karena Dandy giat pamer kemewahan di akun media sosial sehingga dikaitkan dengan posisi jabatan Rafael di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Kejadian tersebut akhirnya merembet pada tindakan pengusutan harta kekayaan sejumlah pejabat khususnya di lingkungan Kemenkeu yang diduga memiliki harta kekayaan dalam jumlah yang tidak wajar. Puncaknya terjadi saat Mahfud MD selaku Menkopolhukam menyebut adanya transaksi mencurigakan berjumlah triliunan rupiah di lingkungan Kemenkeu (8/3) sebagaimana dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).    Informasi tersebut langsung menimbulkan kegaduhan publik yang kemudian menjadi atensi politik bagi DPR untuk menggelar rapat kerja secara maraton dengan PPATK, Menteri Keuangan dan Menkopolhukan. Di tengah adu argumentasi antara pihak pemerintah dan DPR, efek dari kejadian di atas terus bergulir secara sporadis.

Tidak hanya di lingkungan Kemenkeu saja, rentetan kejadian pencopotan jabatan juga terjadi di beberapa lembaga pemerintah akibat dari perilaku flexing yang juga dilakukan oleh anggota keluarganya. Bahkan presiden sampai mengeluarkan larangan bagi lembaga pemerintah dan ASN untuk menggelar acara buka puasa bersama selama bulan Ramadan tahun ini dengan alasan sensitifitas publik. Tentu, banyak pihak yang awalnya tidak memprediksi adanya Dandy effectyang begitu massif.

Perilaku flexing

          Mengutip apa yang disampaikan oleh Epikuros, salah satu filsuf terkemuka Yunani yang hidup pada tahun 341-270 SM bahwa sudah menjadi kodrat manusia untuk selalu mencari kesenangan (happiness)dan menghindari kesengsaraan (misery).

          Bahkan menurutnya, tidak sedikit di antara manusia yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup. Artinya, manusia selalu bersedia melakukan berbagai upaya untuk meraih kondisi yang selalu membahagiakan dalam hidupnya, terlepas hal tersebut berpotensi mendekonstruksi tatanan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

          Pandangan filosofis tersebut, akhirnya populer disebut sebagai paham akan kesenangan (hedonisme).Hakikat “kesenangan” yang dimaksud oleh Epikuros dengan saat ini tentu mengalami kontekstualisasi yang tentunya berbeda bahkan cenderung lebih kompleks.

          Mengingat pada era tersebut, hegemoni teknologi informasi dan manuver media sosial bahkan mungkin belum terbayangkan sama sekali oleh generasi sang filsuf. Artinya praksis kebahagiaan waktu itu masih sangatlah klasik dalam kondisi masyarakat yang penuh dengan keterbatasan teknologi.

          Sehingga, dalam konteks saat ini bahwa perilaku gemar pamer kemewahan, kekayaan, status sosial dan kesuksesan utamanya melalui sarana media sosial telah menjadi sumber kebahagiaan baru—maka, sesungguhnya perilaku flexingtersebut merupakan subordinat dari paham hedonis sebagaimana dimaksud oleh Epikuros.

          Perilaku flexing telah menjadi trend baru masyarakat di era digital yang disruptif. Bahkan dalam beberapa situasi, perilaku tersebut telah menimbulkan kehidupan yang serba paradoks, penuh dengan tipuan dan kepura-puraan. Sebagian orang sampai melakukan berbagai manipulasi fisik dan materi hanya sekadar untuk diterima dalam komunitas flexingyang hedon.

          Tentu hal tersebut mengingatkan kita pada tesis materialisme historis Karl Marx yang secara ringkas menyatakan bahwa hakikat yang paling riil dalam kehidupan ini hanyalah soal materi, bukan intelektual, bukan kebudayaan apalagi aspek spiritual. Sumberdaya usia, kemampuan intelektual termasuk kedudukan, pangkat dan jabatan semata-mata hanya menjadi sarana untuk meraih materi.

          Sehingga Marx meyakini bahwa sumber utama konflik adalah perebutan materi antara kelompok borjuis selaku pemilik alat produksi dan pemegang kuasa modal melawan kaum proletariat yang hanya mengandalkan kekuatan fisik dan tetesan keringat.

          Pada akhirnya perilaku flexing hanya akan melahirkan generasi hedon yang materalistis. Mereka menghendaki hidup dalam dunia yang serba instan yang langsung berorientasi pada hasil akhir bukan proses yang penuh dengan tantangan dan ujian.

          Dalam situasi tersebut, maka sesungguhnya hakikat dari nilai-nilai kemanusiaan akan mengalami proses dehumanisasibahkan eksistensi ilmu pengetahuan tidak akan mengantarkan manusia sampai puncak ataraxia yang disebut oleh Epikuros sebagai kondisi terbebasnya manusia dari segala rasa penyesalan, ketakutan dan kecemasan.           Sumber kebahagiaan bahkan tujuan hidup manusia bukan lagi pada pencapaian mahakarya intelektual sebagaimana terjadi pada masa generasi Yunani Kuno atau bahkan era kebangkitan Renaissancedi Italia, tetapi lebih mengarah pada perilaku yang hedonis, materialis dan flexingdengan alasan lebih kekinian.  

Momentum Ramadan

          Bulan suci Ramadan sudah selayaknya menjadi momentum refleksi diri atas berbagai ucapan, tindakan termasuk perilaku sosial yang telah dilakukan. Subtansi ibadah puasa di bulan Ramadan tidak hanya persoalan menahan lapar dan dahaga—tetapi utamanya adalah mengendalikan hawa nafsu yang dalam konteks ini berarti hasrat berlebih untuk senantiasa memamerkan kemewahan di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sedang bangkit dari situasi pandemi selama tiga tahun terakhir.

          Rasa empati dan sensitifitas terhadap situasi dan kondisi tersebut menjadi kata kunci dalam merajut kebersamaan di tengah fakta keragaman.(*)   

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img