Pemerintahan Prabowo-Gibran ditandai kegaduhan-kegaduhan elit politik dan negara. Beberapa bentuk kegaduhan bisa disebutkan seperti keberkelanjutan Program Makan Siang Gratis. Kejelasan efisiensi yang dipertanyakan banyak pihak, benarkah ia strategi mengetatkan “ikat pinggang” atau sekadar pengalihan anggaran untuk modal Danantara? Masyarakat juga menyaksikan praktik kebohongan publik dan korupsi di Pertamina dan beberapa pejabat daerah. Defisit APBN dan anjloknya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) juga menunjukkan tanda-tanda negara salah urus. Belum lagi pengingkaran gerakan reformasi 1998 dalam bentuk pengesahan revisi UU TNI yang sama halnya menghidupkan Dwi Fungsi ABRI.
Memang, ada isi positif pemerintahan Prabowo-Gibran dengan terbongkarnya kasus-kasus besar korupsi seperti yang terjadi di Pertamina. Sekalipun penegakan hukum tidak steril motif politik. Penegakan hukum yang banyak diklaim Prabowo “demi rakyat” masih menyisakan makna- makna ganda.
Negara dan Para Elit Politik
Kegaduhan politik terjadi disebabkan politik kolaborasi yang dipilih Prabowo sebagai lawan oposisi. Kolaborasi mengakomodir semua kepentingan aktor-aktor dalam koalisi gemuk. Prabowo menyatakan, hari ini bukan era opisisi, tetapi era bekerja bersama-sama.
Pemikiran seperti ini menyebabkan kabinet yang mewadahi aktualisasi kepentingan setiap aktor. Kerumitan ini mengesankan tidak satu komando dalam kabinet. Misalnya, ada kementerian yang merekrut geng politik sebagai pelaksana program “padat modal” tertentu cenderung dibiarkan.
Belum lagi, salah satu kolaborator Prabowo yaitu Jokowi yang cawe-cawe pada banyak urusan politik. Intensnya pernyataan Jokowi di media menyimpulkan kalau tokoh ini masih menyimpan agenda-agenda politik pasca presiden. Manuver pada kancah politik ini terlekat dengan wakil presiden yang sekaligus anaknya. Tidak sedikit warganet yang rajin mengritik perilaku bapak anak ini sebagai ledekan di media sosial.
Tampaknya manuver politik lima tahun ini belum usai. Ia bukan aktor netral. Kita ketahui, Jokowi berkonflik dengan PDI-P sejak pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Konflik Jokowi versus organisasi ini sebenarnya masalah personal, tetapi merembet pada konflik-konflik “tidak produktif lain” seperti pengadilan Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto.
Bagi kelompok kritis dari masyarakat sipil, status Jokowi juga problematik. Jokowi representasi pelanggengan dinasti yang jauh dari watak negarawan. Masyarakat sipil dan mahasiswa mereaksi manuver politik Jokowi. Diakui atau tidak, konflik ini berimbas besar pada gerak pemerintahan Prabowo Gibran baik sekarang atau yang akan datang.
Pengingkaran Negara
Kondisi rumit ini tidak mudah diselesaikan sebab saling mengait. Kesadaran politik satu pihak saja tidak cukup karena terjalin dengan kesadaran aktor-aktor lain. Secara kultural, kegaduhan disebabkan elit-elit politik mengingkari mandat negara. Dalam Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (2019), Franz Magnis Suseno menyatakan setidak-tidaknya ada tiga tugas negara.
Pertama, negara harus memberi perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara memberikan layanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dan ketiga, negara menjadi wasit dari pihak-pihak berkonflik dan menyediakan sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat.
Pengingkaran mandat negara ini terlihat dari perilaku politik yang lebih terkesan sebagai politisi atau elit politik dari pada pelayan rakyat. Ciri-ciri seperri: rajin gimik dari pada kerja riil, tidak malu-malu membagi sumber daya untuk golongan sendiri, lemahnya kapasitas dan kompetensi dalam mengatasi urusan publik dan peryataan pejabat yang jauh dari sense of crisis dan sibuk bermain retorika.
Kesemua itu menyimpulkan sistem bekerja bukan untuk rakyat, tetapi demi kepentingan kelompok, golongan atau personal. Tidak heran jika sistem pemerintahan terkesan tidak bekerja dalam satu komando. Akibatnya, masalah rakyat seperti PHK besar-besaran absen dari skema solusi jelas pemerintah.
Masyarakat sejatinya mulai muak dengan perilaku elit. Selain itu, kritik gerakan masyarakat sipil nyaring disuarakan melalui media sosial. Kita tentu mengkhawatirkan kondisi ini. Persoalannya, belum ada kelompok politik yang efektif mengingatkan efek kegaduhan ini. Organisasi masyarakat yang bisa diadalkan sebagai struktur mediasi ternyata juga tersandera oleh “rebutan” sumber daya. Hanya koalisi masyarakat sipil, pers kritis dan demonstrasi mahasiswa serta akademisi idealis yang secara insidental turun gunung.
Melalui medsos dan forum-forum publik mereka mengritik, menyindir, menertawakan dan mengolok-olok performans para politisi yang jauh di bawah standar etik dan kompetensi. Sisi lemah gerakan ini kurang terorganisir mengingat bekerja di luar struktur. Berbeda dengan negara yang menguasai sumber daya tertata, gerakan masyarakat sipil minim sumber daya sehingga aktor-aktornya mudah ditumbangkan. Sementara itu, kelebihan gerakan sipil menyebarkan pemikiran kritis dan pencerahan-pencerahan kepada publik lebih fleksibel. Kita menyaksikan gerakan masyarakat sipil aktif dalam tumbangnya rezim-rezim non demokratis. Kita juga bisa mengikuti isu-isu mutakhir negara dan pemerintah melalui ulasan-ulasan tokoh-tokoh sipil. Semoga gerakan ini konsisten dan menemukan bentuk efektif yang akhirnya mengingatkan ketidakberesan sistem yang melahirkan kegaduhan tidak produktif. Semoga.(*)