Seno Bramanto Rekam Indonesia dengan Film Dokumenter
Seno Bramanto merekam Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Sineas asal Malang ini menceritakan keindahan dan kekayaan Indonesia melalui film dokumenter. Terutama kearifan lokal yang tersebar di Indonesia.
MALANG POSCO MEDIA – Bahkan banyak dari karya film dokumenter yang ia kerjakan bersama rekan-rekannya keluar sebagai juara. Juga masuk dalam banyak nominasi. Yang menarik dalam penggarapan film dokumenter, menjadikan kondisi sosial sebagai subjek.
Bukan sebaliknya, yakni mengeksploitasi potensi subjek untuk cerita film. Hal itu diceritakan oleh Seno Bramantio kepada Malang Posco Media.
“Sudah puluhan film dokumenter yang saya terlibat. Namun bagi saya yang monumental karena mengubah mindset saya sebagai seorang dokumenter,” kata Seno kepada Malang Posco Media mengawali cerita.
“Kalau dulu sering kali kita bikin dokumenter itu mau gak mau seperti mengeksploitasi potensi subjek untuk cerita film kita. Namun sekarang berubah, bukan tentang karya dokumenter, tapi sosial responsibility kita kepada subjek,” bebernya.
Sehingga beberapa karya terbaru dari film yang ia terlibat dalam penggarapannya,
memiliki dampak lebih besar kepada penonton. Yaitu apa yang diberikan kepada khalayak melalui film dokumenter.
“Sehingga dalam membuat film berubah, mulai dari cara memahami dan memaknai situasi yang terjadi. Jadi film dokumenter bukan tentang cerita apa yang mereka berikan kepada kita, tapi cerita yang bagaimana kita berikan agar bermanfaat bagi subjek lahir dan batin,” paparnya.
“Artinya gini, ada seorang dokumenter dengan cerita film dia bagus. Bahkan menang beberapa festival bergengsi, tapi nol dampaknya kepada subjek,” terang Warga Jalan Anjasmoro 3b blok C No. 6 Turirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang ini.
Meskipun apa yang dilakukan saat ini adalah pilihan bagi seorang dokumenter. Minimal ia berharap pembuat film dokumenter punya kepekaan terhadap lingkungan sosial sebagai subjek.
Melalui sudut pandang tersebut, tahun ini Seno berpartisipasi di film ‘Menjaring Harap Nun Jauh’ yang menjadi bagian dari series dokumenter Indonesian stories di Yayasan Khatulistiwa Sinema Nusantara sebagai sinematografer.
“Di film tersebut menceritakan eksistensi petik laut di mata masyarakat khususnya nelayan. Dimana dulu petik laut itu ada sebagai solusi atas keresahan nelayan karena paceklik ikan. Namun akhir-akhir ini mulai bergeser hanya sebagai kosmetika budaya, meski tidak di semua lokasi. Sehingga nelayan pun ada yang mulai skeptis dan menjadi hiburan atau hari raya nelayan dalam perayaan petik laut,” urainya.
Selain film ‘Menjaring Harap Nun Jauh’, tahun ini Seno terlibat dalam dua film. Sedangkan di film kedua tersebut ia dipercaya oleh Bank Indonesia KPW Bengkulu untuk membuat dokumenter tentang bangga sebagai pejuang rupiah Bank Indonesia.
Di film dokumenter ini mendapat apreasiasi juara 2 untuk kompetisi antar Bank Indonesia secara nasional.
Sedangkan puluhan film dokumenter lainnya Seno mampu menunjukkan bagian demi bagian wajah Indonesia. Mulai dari sejarah, seni, budaya, wisata, hingga cerita inspirasi tentang seseorang untuk dijadikannya sebuah karya film dokumenter kepada dunia.
Seno mulai menggarap film dokumenter sejak tahun 2006. Di tahun tersebut ia mampu menghasilkan karya pertamanya. Yakni tentang konservasi penyu di Malang Selatan, Blitar, dan Trenggalek.
Laki-laki kelahiran Bandung, 23 Juni 1983 ini membagikan kenangan lamanya, jika ketertarikannya untuk mengangkat konservasi penyu karena banyak cerita tentang pemburu telur penyu. Kemudian isu tersebut ia angkat dan ada dampak dari film ya ia buat. Salah satunya adalah adanya pemburu penyu yang jadi penyelamat penyu.
Tak berhenti di situ, ketertarikannya merekam keberagaman yang ada di Indonesia mulai digarapnya. Mulai dari cerita tentang human interest, kegiatan sosial, inspirasi, kesenian, dan kebudayaan ia angkat.
Seno mengakui, mengangkat cerita-cerita tersebut karena ingin memberikan banyak manfaat pada khalayak. Karena menurutnya banyak hal kecil dalam keseharian yang jarang orang tahu.
Misalnya saja, tentang pendidikan yang merupakan solusi dari segala permasalahan di masyarakat yang aksesnya masih belum merata. Dari realitas itu ia angkat menjadi film dokumenter berjudul Potret Pendidikan di Daerah Terpencil.
“Dari situ saya lihat bahwa setiap anak memiliki impian. Namun apakah mereka dapat menjemput mimpinya? Itu jadi pertanyaan dan kemudian saya sampaikan melalui film,” bebernya
Film tersebut bisa tergarap berkat project Unicef. Film ini menceritakan tentang kegigihan seorang anak bernama Lucas Saleman dengan keterbatasan fisik rela berjalan jauh 14 Km setiap hari. Hanya untuk pergi bersekolah meraih mimpi di SMP Satap Mamuju, Sulawesi Barat.
Begitu juga pengajar atau guru, untuk bisa mengajar ia menceritakan bagaimana seorang guru harus menempuh jarak 3 jam setiap hari dengan naik perahu kecil. Cerita tersebut berhasil ia rangkum dalam Potret Pendidikan di Daerah Terpencil.
Tak hanya di luar daerah dan pulau. Suami dari Eny Wulandari ini juga kerap mengangkat realitas yang ada di Malang Raya. Beberapa di antaranya budaya tentang Grebeg Maulid Labuhan Gunung Kombang Pantai Ngliyep di Kabupaten Malang.
Ia ingin menyampaikan bahwa masyarakat masih mempertahankan acara adat yang telah berusia 109 tahun lalu. Upacara larung sesaji setelah maulid ini dilakukan masyarakatnya sebagai wujud syukur kepada Gusti Allah yang telah memberikan kesejahteraan keselamatan pada masyarakat sekitar Pantai Ngliyep, Malang.
Yang terbaru, Seno mengangkat Seniman Seniman Tari 1000 Topeng Sujopo Sumarah Purbo yang tetap mempertahankan eksistensi di tengah Covid-19. Dalam dokumenter yang dibuat Sujopo menampilkan karya yang ia namai ‘Sambega Covid-19’ untuk representasikan kondisi saat ini.
“Pesan yang ingin saya sampaikan di sini, bagaimana seniman tetap eksis di tengah pandemi Covid-19. Harapannya bisa jadi inspirasi bagi masyarakat lainnya untuk tetap berkarya meski terkurung akibat pandemi Covid-19,” terang alumnus SMA 1 Surabaya ini.
Serta karya dokumenter lainnya seperti Situs Sekaran, Batik Topeng Malangan, hingga Museum Musik Indonesia. Untuk bisa menonton beberapa karyanya, bisa melihatnya di rekamindonesia.id yang merupakan etalase audio-visual yang merekam ragam khazanah nusantara.
Menariknya lagi, laki-laki yang tak melanjutkan kuliahnya di AWS Stikosa Surabaya ini mengatakan jika apa yang ia kerjakan sebagai wujud pengabdian sebagai warga Indonesia. Sehingga ia memposisikan diri sebagai non profit videografer.
“Jadi siapapun yang punya kepedulian di lingkungan, budaya, hingga seni akan saya support melalui video. Banyak karya (film dokumenter) ada sekitar 50 karya yang kebanyakan saya upload dengan non profit,” kata peraih juara 1 film dokumenter pendek rekam Indonesia dan Nominasi video Tangguh Award 2019 ini.
Tak berhenti di situ, pada tahun 2017 ia juga membuat Singhasari TV bersama beberapa rekannya. Tujuannya untuk mewadahi temen-teman dengan background yang beragam namun ingin belajar tentang video. Terbaru film yang ia garap bertajuk ‘Jelajah Nusa’ tentang pariwisata di Jatim, sedang dalam penjurian untuk dokumenter Asean. Ia menekuni seni dunia audio visual secara otodidak. Sejak tahun 2003 lalu, ketika ia menjadi asisten salah seorang cameramen yang bekerja di TVRI. Kemudian ia memberanikan diri berkarya secara mendiri sampai saat ini.
“Masuk dunia film pertama kali tahun 2003. Waktu itu diajak asisten cameraman orang TVRI. Dari situ saya sering ambil film dokumenter tentang wild life,” imbuh Seno. Sebagai asisten juru kamera, kemudian ia mulai tertarik untuk mendalami film dokumenter pada tahun 2006. (eri/van)