spot_img
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Susu Ikan diantara Hilirisasi dan Literasi Gizi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sunardi Siswodiharjo
Penulis Buku Narasi Nutrisi dan Kesehatan
di Zaman Pasca-Kebenaran

Wacana yang berkembang untuk memasukkan susu ikan menjadi salah satu menu alternatif dalam program bantuan Makan Bergizi Gratis (MBG) di pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto telah menjadi diskursus publik yang menarik. Tulisan ini bermaksud turut mengelaborasi perbincangan tersebut. Harapannya diperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih objektif tentang susu ikan dari beragam diskusi yang tengah melingkupinya.


Akankah mimpi program hilirisasi berbasis produk perikanan terwujud dengan susu ikan? Ataukah masyarakat justru lebih membutuhkan literasi gizi ketimbang hilirisasi?

Tantangan Hilirisasi
Ketika muncul ide menjadikan manfaat susu ikan sebagai salah satu alternatif susu sapi dalam program MBG, alasan utamanya adalah kemandirian industri susu nasional saat ini yang masih sangat jauh dari harapan. Pertimbangan berikutnya yaitu melimpahnya sumber daya alam berupa ikan sebagai produk lokal yang diperlukan nilai tambah dalam pemanfaatannya.


Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hingga 2022, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mencapai 0,969 juta ton, setara dengan sekitar 22 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Artinya masih 78 persen kebutuhan susu yang harus dipenuhi dari impor, yang umumnya berupa padatan susu (milk solid) seperti skim milk powder, whole milk powder, dan full milk powder.

Defisit lebih dari 3,4 juta ton kebutuhan susu tersebut membuka sangat luas peluang untuk pengembangan potensi industri susu dalam negeri. Harus diingat bahwa angka tersebut masih belum termasuk kebutuhan untuk program MBG.


Oleh karena itu, pada 2023 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) meluncurkan susu ikan sebagai hasil dari upaya hilirisasi produk perikanan yang merupakan sumber daya unggulan daerah.

Produk inovasi tersebut menggunakan Hidrolisat Protein Ikan (HPI) sebagai bahan baku. Diklaim memiliki keunggulan, misalnya mengandung tinggi EPA, DHA dan Omega-3, bebas alergen, serta tingkat penyerapan protein mencapai 96 persen. Untuk saat ini pilot project produksi HPI berada di wilayah Kabupaten Indramayu.


Nantinya produk susu ikan inilah yang diharapkan setidaknya sedikit membantu meminimalkan impor susu serta menciptakan nilai tambah bagi sumber daya produk perikanan lokal. Sebenarnya, istilah susu ikan sendiri, secara teknis masih banyak dipersoalkan. Sebab, lebih tepat jika disebut sebagai sari ikan, serupa dengan sari kedelai atau sari almond.


Mungkinkah harapan tersebut dapat terwujud? Secara nutrisi, kandungan proteinnya sangat tinggi sehingga susu ikan sangat menjanjikan, meskipun tetap memerlukan pengembangan produk untuk zat gizi lainnya. Selain itu, terdapat beberapa tantangan serius lain yang harus diatasi agar terpenuhi harapan dari proses hilirisasi ini.


Pertama, persoalan skala produksi dan usaha yang masih terbatas pada level UMKM seperti di Indramayu menyebabkan kendala volume serta efisiensi produksi. Akibatnya ongkos produksi dan harga akhir produk cenderung lebih tinggi dibandingkan produk hasil proses skala industri yang lebih besar.
Terbukti dari hasil penelusuran di salah satu toko online, harga susu ikan “SURIKAN” mencapai Rp 129 ribu untuk varian Rasa Cokelat kemasan 350 gram. Harga ini terhitung masih jauh di atas rata-rata harga susu sapi yang ada dari berbagai merek.


Kedua, tentang manajemen ketersediaan ikan sebagai bahan baku utama HPI dari sisi kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang harus menjadi perhatian serius. Apalagi jika sumber daya tersebut tidak dikelola atau dibudidayakan secara modern dan berkelanjutan, maka justru akan menimbulkan masalah baru di masa depan.


Ketiga, terkait preferensi dan selera masyarakat terhadap susu ikan yang masih harus diuji dengan waktu. Apakah masyarakat pada akhirnya bisa menerima produk ini dengan baik. Sebab, selama puluhan tahun lidah masyarakat sudah “dikalibrasi” dengan susu sapi. Peluncuran produk susu ikan “SURIKAN” dengan varian Rasa Cokelat dan Strawberry diharapkan dapat mendekatkan penerimaannya lidah konsumen.

Fokus Literasi Gizi
Seorang pakar gizi dan kesehatan masyarakat menyoal diskursus alternatif susu ikan dalam menu MBG. Dikatakannya dari Sabang sampai Merauke, sumber protein kita amat melimpah. Persoalan gizi yang utama lebih kepada kebutuhan literasi dan edukasi gizi ketimbang sekadar menciptakan industri baru yang sering hanya akan menguntungkan sekelompok kecil kaum elit.
Pada saat masyarakat memiliki tingkat literasi gizi yang baik, mereka mudah menyadari bahwa susu sebenarnya hanya sebagai makanan tambahan dalam konsep pemenuhan gizi seseorang. Konsep “Empat Sehat Lima Sempurna”, di mana susu sebagai penyempurna, sudah lama kita tinggalkan dan digantikan dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 tahun 2014 tentang PGS dinyatakan bahwa susu termasuk dalam kelompok lauk pauk sumber protein bersama ikan, telur, unggas, daging dan kacang-kacangan serta hasil olahannya seperti tahu dan tempe. Artinya sumber protein sejatinya tidak hanya susu saja.
Selain itu, pencegahan masalah gizi dinilai lebih efektif serta praktis dilakukan dengan memastikan asupan gizi seimbang yang didapatkan dari konsumsi protein hewani langsung, seperti daging ayam, daging sapi, ataupun telur. Tidak harus dengan susu sapi maupun susu ikan.
Dari sini tampak bahwa program peningkatan literasi dan edukasi gizi masih jauh lebih penting dan mendesak pelaksanaannya. Memang program seperti itu kalah populis bila dibandingkan dengan menciptakan industri yang terlihat lebih menarik dan menguntungkan. Namun, sesungguhnya yang lebih diperlukan adalah program-program yang urgen bagi masyarakat luas serta berkelanjutan.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img