TANYA: Ada yang mau saya tanyakan tentang pernikahan, mengenai sahnya pernikahan dengan wali hakim. Ada rekan dulu menikahi istrinya dengan wali hakim, karena istrinya sampaikan dia anak tunggal dan ditinggal meninggal ayahnya saat masih dikandungan. Belakangan ini istrinya baru cerita jika sebenarnya dia punya adik laki-laki. Jadi adik se ayah beda ibu, yang sebenarnya dulu bisa menjadi wali. Dulu ketika ditanya pihak KUA apakah ada saudara laki laki dari ayah maupun anak laki laki dari ayah, istrinya berdusta menyampaikan tidak punya. Sehingga pihak KUA mengarahkan untuk menggunakan wali hakim. Untuk kasus seperti ini kira-kira ke absahan pernikahannya bagaimana? Dan apabila dalam perjalanam nikah mereka mempunyai anak, bagaimana status anaknya? Terima kasih sebelumnya, Jazakallah khayran
Akhu Nur +62 815-552xxxx
JAWAB: Salam, keberadaan wali dalam pernikahan adalah bagian dari bentuk perlindungan terhadap seorang wanita. Sebagai penegas bahwa tidak ada perbudakan dalam Islam. Wali memberi pertimbangan tentang calon suaminya karena pernikahan ini bukan untuk satu atau dua hari tetapi untuk selamanya. Keberadaan wali bukan untuk menghalangi seorang wanita menikah tetapi untuk menambah daya tawar bagi seorang perempuan termasuk memastikan pernikahan itu bisa diharapkan memunculkan kemaslahatan.
Rasulullah SAW menegaskan “la nikaha illa biwaliyyin mursyidin wa shahida-i adlin”. Pernikahan tidak sah tanpa wali dan dua orang saksi. Wali itu sendiri dibagi menjadi dua, wali amm dan wali khos. Wali khos adalah orang-orang yang mempunyai hubungan nasab dengan calon pengantin putri, seperti ayah kandung, saudara kandung. Sementara wali amm adalah hakim atau muhakkam. Wali hakim adalah wali dari kalangan pemerintah yang ditunjuk untuk menikahkan orang-orang yang tidak memiliki wali. Dalam konteks keindonesiaan, wali hakim adalah Kepala KUA dan Penghulu yang ditunjuk. Sementara wali muhakkam adalah ulama yang diminta menikahkan saat tidak ada wali nasab maupun wali hakim sama sekali di daerah itu.
Para ulama menyepakati bahwa hak perwalian didasarkan kepada wali terdekat dan harus berurutan. Fiqh ala madzahib Arbaah, Juz 4 Hal 26 menjelaskan terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Menurut ulama Syafiiyah wali nikah jauh tidak berhak dan tidak sah menikahkan bila wali terdekat masih ada. Sementara dalam mazhab Maliki pernikahan dengan wali jauh saat wali terdekat masih ada, dapat dianggap sah bila wali yang diabaikan bukan wali mujbir (bapak atau kakek). Seperti paman yang menikahkan sementara disana ada saudara kandung calon pengantin putri.
Bagaimana dengan wali hakim? Rasulullah menegaskan “assulthonu waliyyun liman la waliyyalaha” pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Berdasar hal ini Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam Kitab Asnal Mathalib menegaskan bahwa pernikahan dengan wali hakim tidak dianggap sah bila wali nasabnya masih ada. Terlebih bila keberadaan wali nasab dikaburkan atau dianggap tidak ada dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh syariat. Hal ini tentu berbeda dengan pernikahan wali jauh atau hakim itu dilakukan setelah berupaya mencari wali terdekat tidak ada dan baru ketahuan setelah pernikahan terjadi. Dalam kondisi ini pernikahannya bisa dianggap sah dengan mengikuti pendapat ulama yang memperkenankan. Bagaimana dengan anak yang dilahirkan? Tentu tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah biologis karena pernikahan dilakukan diluar kewajaran syariat. Semoga dapat dipahami. Wallahu a’lam. (*)