Tuesday, September 23, 2025
spot_img

Egaliter Jadi Theme Song ICCF 2025

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Tahu Brontak Band Lokal Batu 20 Tahun Eksis

Tak banyak band indie yang mampu mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan industri musik di era digital saat ini. Justru sebaliknya, banyak band indie yang justru harus ikut arus untuk tetap bisa mempertahankan eksistensinya.

MALANG POSCO MEDIA-Hal itu tak berlaku bagi Band lokal asal Kota Batu ‘Tahu Brontak’ (TB). Dengan membawa genre yang berbeda dari kebanyakan band indie lainnya, TB mampu eksis sampai saat ini lewat genre dangdut kontemporer.

Bukan hanya genre yang nyeleneh. Tapi Tahu Brontak kerap tampil berbeda saat manggung. Begitu juga lirik-liriknya selalu membawa pesan moral, terkadang satir dan juga tidak lepas dari keseharian masyarakat Kota Batu pada umumnya.

Terbaru TB yang digawangi oleh Dimas pada drum, Abid Guitar, Sigit Mandolin, Wahyu Kendang, Adam lead vokal, Arik pada vokal dan tamborin, serta Hagi vokal dan jimbe jadi kebanggan Kota Batu.

Betapa tidak, satu lagu miliknya sukses menjadi Theme Song kegiatan Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) 2025 yang akan digelar di Malang Raya pada 6–10 November mendatang. Judulnya ‘Egaliter.’

“Tentu ini kebanggaan bagi kami. Karena kita tahu ICCF akan diikuti ribuan peserta dari berbagai daerah. Dan Kota Batu jadi salah satu tuan rumah event tersebut,” ujar salah satu personel Tahu Brontak, Dimas Wahyu Permadi alias Samun kepada Malang Posco Media.

Ia menjelaskan bahwa lagu Egaliter adalah persamaan dalam kehidupan bersosial. Tidak dari lirik saja, melalui video klip masyarakat akan disadarkan bahwa sebenarnya dengan kesederhanaan dan kesamarataan semua orang bisa hidup dalam harmonisasi yang indah.

“Lagu egaliter mengusung tema sosial dan bergenre orkes modern. Lagu ini merupakan persembahan Tahu Brontak kepada penggemarnya untuk menggambarkan kesetaraan antara personel dengan penggemar. Kesetaraan yang dimaksud adalah tidak ada jarak antara penggemar dan para personel Tahu Brontak, terutama di bawah panggung,” ceritanya.

Lebih lanjut, Samun menjelaskan bahwa lagu ini juga dimaknai lebih luas. Yaitu derajat yang sama dan setingkat, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, bisa bersama-sama seiring sejalan, bisa saling menghargai, saling mencintai, selalu duduk maupun berjalan bersama-sama. Hal tersebut disampaikan Tahu Brontak melalui lirik: “No idol, No heroes, No leader.”

“Lirik tersebut juga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Misalnya, tidak perlu ada kesenjangan sosial antara masyarakat kalangan atas dan bawah. Karena pada intinya manusia hidup di dunia ini memiliki derajat yang sama di mata Tuhan Yang Maha Esa,” tegasnya.

Di sisi lain, saat ini usai TB sudah 19 tahun. Usia itu bukanlah waktu yang sebentar bagi sebuah band untuk bisa tetap eksis di tengah derasnya persaingan musik indie. Ia menceritakan bahwa untuk mempertahankan eksistensi band indie bisa dilakoni layaknya menjalani hidup.

“Untuk bisa bertahan kami harus berjuang menghidupi diri sendiri dulu. Misal setiap personel memiliki pekerjaan yang menjadi penghidupan utama. Sedangkan TB kami gunakan sebagai wadah ekspresi untuk menyalurkan inspirasi kami dalam mejalani kehidupan sehari-hari,” terangnya.

Dengan menggunakan wadah TB sebagai tempat ekspresi, diungkap Samun bahwa hal tersebut yang mampu mepertahankan eksistensinya. Karena wadah tersebut tak menjadi beban bagi para personelnya. Tapi sebaliknya menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan berkarya. 

“Terbukti dengan prinsip yang kami pegang tersebut kami bukan hanya mampu eksis hampir 20 tahun ini. Tapi kami juga menghasilkan karya yang dinikmati masyarakat umum. Bahkan apa yang kami suguhkan mampu membuat para pendengar tersenyum dan berjoget,” terangnya.

Band indie yang berdiri tahun 2006 ini bahkan tidak hanya mampu menarik masyarakat umum. Bahkan setiap kegiatan tingkat desa/ kecamatan hingga kota juga kerap naik panggung. Sehingga TB sangat melekat dan erat dengan masyarakat pedesaan di Kota Batu.

Sebagai band indie Tahu Brontak telah membuat satu album berisi 10 lagu dan empat single. Untuk album tersebut mereka rilis tahun 2016 berjudul ‘Merendah Untuk Meroket.’ Album yang dirilis Allright Record tersebut merepresentasikan TB selama ini. “Pada album pertama, kami mengusung tema realita sosial. Begitu juga untuk empat single TB di antaranya ada lagu berjudul Manuk, Egaliter, Setia dan Bumiaji. Dalam lirik lagu yang ada kami membahas semua kenyataan yang kerap dialami oleh masing-masing personel dan juga masyarakat luas,” paparnya.(eri/lim)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img