Pak Midun Kembali Mengayuh Sepeda Suarakan Keadilan untuk Tragedi Kanjuruhan
Pak Midun, begitu ia biasa disapa. Pria bernama lengkap Miftahuddin Ramli ini masih terus mencari keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan. Dua tahun Tragedi Kanjuruhan berlalu, pria berusia 53 tahun itu kini kembali mengayuh sepedanya untuk menyuarakan keadilan.
MALANG POSCO MEDIA- Sepeda milik Pak Midun melaju di tengah keramaian setiap kota yang dilewati. Ia mengayuh sepeda menyuarakan keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan.
Kini ia kembali menapaki jalan panjang menuju Jakarta. Mengayuh sepeda modifikasi dengan keranda mayat di bagian belakang, ia membawa pesan kuat dan mendalam. Menuntut keadilan bagi 135 jiwa korban meninggal dunia akibat Tragedi Kanjuruhan.
Berangkat dari rumahnya di Ngaglik, Kota Batu pada Jumat (20/9/2024) lalu, pria paruh baya ini menargetkan perjalanan ini berakhir di Museum Lubang Buaya, Jakarta, tepat pada 1 Oktober 2024, saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Keranda yang ia bawa bertuliskan, “Justice for Kanjuruhan” dan “Ladub Berkeranda Mencari Kesaktian Pancasila”. Ini menjadi simbol bisu atas luka mendalam yang masih menganga di hati para pecinta sepak bola Tanah Air.
Perjalanan ini bukan sekadar mengayuh pedal. Setiap tarikan napas Pak Midun adalah jeritan sunyi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang hingga kini masih menunggu keadilan ditegakkan. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Pak Midun tetap teguh mengayuh sepedanya melewati panas terik dan guyuran hujan. Tidak ada keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Baginya, perjuangan ini jauh lebih ringan dibandingkan beban yang harus ditanggung keluarga korban setiap hari.
“Perjalanan ini bukan tentang saya, tetapi tentang mereka yang telah kehilangan. Tentang para korban yang belum mendapatkan keadilan. Ini adalah panggilan nurani saya untuk kembali ke jalan, menyuarakan kebenaran yang masih tertunda,” tutur Pak Midun dengan nada lirih namun penuh keteguhan saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Sama seperti aksinya tahun lalu, Pak Midun tak pernah merasa sendiri. Sepanjang jalan, banyak suporter dari berbagai klub sepak bola yang menemani langkahnya. Mereka datang dengan membawa semangat dan dukungan, menyatu dalam satu seruan yang sama: keadilan harus ditegakkan. Tak hanya suporter, masyarakat di kota-kota yang ia lewati turut menyambut dengan hangat. Beberapa memberikan tempat singgah di rumah mereka, sementara yang lain tak segan-segan memberikan makanan serta minuman.
“Alhamdulillah, banyak yang menemani. Dari suporter berbagai tim hingga masyarakat biasa. Ada yang menawarkan tempat istirahat di stadion, di rumah, atau di penginapan. Ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya. Mereka semua berdoa agar kasus ini diusut tuntas, agar luka ini bisa segera sembuh,” kata Pak Midun.
Sebelas hari perjalanan dari Malang hingga Bogor, kemarin, melewati berbagai medan yang menantang, tak sedikitpun memadamkan semangatnya. Dengan sisa tenaga yang ada, Pak Midun mengayuh sepeda menuju Museum Lubang Buaya, tempat ia ingin menyerukan pesan perdamaian dan keadilan di Monumen Pancasila Sakti. Dia berharap, tepat pada tanggal 1 Oktober 2024, seruan ini bisa menggetarkan hati para pemangku kebijakan.
Tragedi Kanjuruhan tentang manusia, tentang keluarga yang harus menerima kenyataan pahit karena orang yang mereka cintai tak lagi kembali ke rumah. Sudah dua tahun berlalu, tetapi keadilan masih jauh dari genggaman. Harapan yang sempat membuncah kini perlahan pudar. Namun, bagi Pak Midun, selama keadilan belum ditegakkan, dia tidak akan berhenti.
“Sepak bola kita masih berlumuran darah. Masih banyak potensi kejadian serupa terulang jika kita tidak belajar dari kesalahan dan menuntut keadilan hingga tuntas. Karena itu, saya membawa tema ‘Kesaktian Pancasila’ sebagai simbol bahwa kita harus kuat dan bersatu dalam menuntut keadilan,” ungkapnya.
Perjalanan ini adalah cerminan keberanian dan keteguhan hati. Sebuah perjalanan sunyi yang berusaha menggugah nurani mereka yang berkuasa, mereka yang memegang kendali keadilan. Pak Midun yakin, jika semangat persatuan ini terus hidup, perubahan pasti akan datang.
Dengan penuh keyakinan, Pak Midun bisa tiba di Museum Lubang Buaya pada 1 Oktober 2024, bersama suporter dan masyarakat yang peduli. Di sana, ia ingin menjadikan momen tersebut sebagai titik balik, sebuah pengingat bahwa di tengah gegap gempita sepak bola, ada keadilan yang harus ditegakkan.
“Saya ingin kita semua berkumpul, mendoakan agar kasus ini segera selesai. Semoga keadilan setinggi-tingginya bisa terwujud bagi keluarga korban. Ini bukan perjuangan saya sendiri, ini adalah perjuangan kita semua, agar sepak bola di Indonesia kembali damai,” ucapnya dengan suara bergetar.
Sambil terus mengayuh, ia membawa doa dan harapan dari banyak orang yang tak bisa turut serta. Harapan agar keadilan bukan lagi sekadar angan-angan yang tak terjangkau, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dinikmati oleh setiap keluarga korban. Ia diperkirakan akan kembali ke Malang pada 4 Oktober 2024 mendatang. (adm/van)