Cerpen Oleh Hayah
Suara alunan mengaji dari masjid terdengar ke seluruh penjuru jalan yang ada di sekitarnya. Sementara rumah berlantai 2 dalam gang, terdapat gadis remaja. Terlihat ia di sebuah kamar berjendela kepalanya melongok ke luar. Mengintip ke arah jalan raya. Seperti menunggu seseorang. Namun pada bulan suci ini seharusnya ia turut mengaji bersama teman-temannya di masjid. Menyeruakkan suara indah dengan bacaan-bacaan ayat suci. Pada waktu menjelang senja ini, apalah yang akan ditunggu gadis tersebut? Kepalanya terus melongok ke luar jendela. Mungkin sudah tiga kali dalam dua menit.
Tak sabar, pada akhirnya ia memainkan ponsel yang sedari tadi menemaninya memandangi ke luar jendela dalam genggaman. Ia mulai menghubungi seseorang. Dialah sosok istimewa yang ditunggu. Dan suara lelaki kian berat keluar dari ponsel. Gadis itu mulai mencercah. Sudah sejak satu jam yang lalu ia menunggu. Tak datang juga. Tak ada jejak sepercik pun lelaki itu datang menjemput. Sampai suara berat menjelaskan…
“Arina, ini merupakan bulan suci. Tak sepatutnya kita duduk berimpit di kursi taman alun-alun kota melihat senja, sedangkan masjid di dekat kita menggelar pengajian.”
“Aku tak mau tahu. Kamu sudah berjanji akan menjemputku setiap sabtu sore untuk melihat senja di alun-alun kota. Sekarang kamu sedang apa dan dimana?”
“Sekarang aku berada di masjid. Begitu sibuk. Maafkan aku. Untuk Ramadhan ini tidak bisa memenuhi janji tersebut. Cukup untuk ramadhan ini.”
“Bohong! Cepat jemput aku. Aku ingin melihat senja.” Gadis itu merengek. Mengumpat-umpat kekasih sholehnya.
“Lihat saja senja di jendela rumahmu!” lelaki itu membentak dan menutup ponselnya dengan kasar. Ia melanjutkan aktivitasnya.
Di pelataran masjid, lelaki berbalut peci dan takwo putih serta sarung hitam kembali ke dalam masjid. Menyimak remaja perempuan yang mendapat giliran membaca Al quran dengan mikrofon. Sedangkan teman—teman sesama remaja masjid memandang penuh tanya.
“Anwar, Siapa tadi yang meneleponmu?” tanya lelaki di sebelahnya membuat Anwar menoleh menghentikan simakannya sejenak.
“Arina. Ingin melihat senja.”
“Putuskan saja War,… dia perempuan tak tahu agama. Berbeda denganmu yang shaleh. Dia selalu mengajak bermaksiat. Apa kau tak merasa malu?” dan kalimat-kalimat lain timbul begitu saja dari mulut lelaki-lelaki itu. Membuat Anwar terdiam dan berpikir.
Memanglah itu sangat benar. Sudah berapa kali Arina menawarkan tangannya untuk digenggam? Sudah berapa kali Arina menyita waktu salatnya untuk bercumbu mesra atau telepon yang sangat lama? Namun, Anwar begitu menyayangi Arina. Begitu pula sebaliknya. ‘Dalam usia kalian yang masih bersekolah SMP bukanlah waktu yang tepat.’ Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benaknya. ‘Ingat War, kamu ketua dalam remaja masjid ini. Haruslah mencontohkan yang baik!’ lagi. Apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki ego Arina? Ia tak ingin hubungannya berakhir.
“Arina, aku akan menjemputmu.” Anwar beranjak dari tempat duduknya. Amat cepat dengan meminta izin pada para lelaki itu. Langkahnya begitu terburu-buru dan segera menaiki sepeda motornya. Para lelaki yang dimintai izin berteriak. Menjelaskan bahwa ustadz tidak datang dan ialah pengganti untuk pengajian sore ini. Temannya mengucap sumpah serapah. Untuk apa memperjuangkan perempuan tak tahu agama? Sampai terbatuk mereka meneriaki si Anwar. Salah satu remaja masjid putri berkata. “Sudahlah mas, namanya juga sayang.” Lelaki-lelaki ini hanya mendesis. Meminta perempuan saja yang mengaji. Mereka menunggu di serambi hingga sesi pengajian di buka. Merasa tak bergairah jika ketuanya saja tak hadir.
Disamping itu, Anwar sudah berdiri dengan sepeda motornya di depan rumah megah Arina. Ia mulai menghubungi gadis itu untuk segera turun dan menghampiri lelaki yang menunggu. Sontak Arina berteriak memanggil nama Anwar dengan wajah yang berubah 180 derajat. Tadinya manyun sekarang berganti tersenyum penuh keceriaan. Dia segera menutup pagar rumah dan menaiki motor Anwar. Reflek, memeluk Anwar yang memboncengnya.
“Kenapa kamu mengenakan pakaian ini?” tanya Arina. Sedangkan Arina sendiri mengenakan dress lengan pendek dan beberapa senti di atas lutut. Memanglah sederhana.
“Sudahlah. Hatimu akan menjadi hangat Arina.”
“Ya. Dengan melihat senja bersamamu.” Arina tersenyum. Ia terus memeluk erat pinggang Anwar. Namun lelaki itu sama sekali tak merasa risih.
Hingga tiba di sebuah alun-alun kota yang bertempat dekat masjid agung. Mereka berdua duduk di bangku taman berimpitan. Telapak tangan Arina menyentuh paha Anwar yang dilapisi sarung hitam. Lelaki itu hanya diam mengelus lembut rambut kekaasihnya. Ia melihat jam tangannya. Sudah pukul 17.00. Pengajian masjid akan segera dimulai. Anwar beranjak dari tempat duduknya dan mencengkeram bahu Arina.
“Arina, aku ingin ke masjid. Jika aku tak kunjung datang dan mentari senja tiba, kamu hampiri saja.” Anwar segera berlari menuju masjid. Di samping itu Arina memasang wajah blo’onnya. Bingung dengan tingkah Anwar yang tergesa-gesa. Dan lelaki yang berlari itu mendapati temannya duduk di serambi dengan muka kusut. Sementara masjid sudah penuh dengan jamaah yang siap mendengarkan ceramah. Takjil juga sudah disiapkan. Tetapi tak ada yang berdiri di mimbar.
“Kencan kamu bentar banget War?” tanya salah satu lelaki berwajah kusut tersebut.
“Ah, sudahlah. Sekarang ayo kita ke depan.”
“Memangnya kamu sudah mempersiapkan? Nggak ada kitab, nggak ada kertas, nggak ada apapun. Mau kasih tema apa?”
“Ada di hp ku. Temanya tentang hubungan lelaki dan wanita pada bulan suci.” Semua mata terbelalak. Salah satunya mengancam, “Jangan malu-maluin.” Anwar hanya mengangguk dan segera maju ke mimbar. Diikuti teman-temannya yang duduk di barisan terdepan sebagai pendamping.
15 menit berlalu. Cakrawala kemerahan. Mulut Arina kembali manyun menunggu kekasihnya yang tak kunjung kembali. Gadis ini berjanji akan mencercanya dengan sejumlah kata-kata jika bertemu nanti. Ia akhirnya menghampiri Anwar. Perlahan melangkah mendekati masjid, suara orang berceramah semakin menelusup telinganya. Sungguh indah kata-kata yang terdengar. Pesan moralnya pun disampaikan dengan rinci. Suara lelaki yang menyeruakkan ini begitu lantang. Semakin ke dalam memasuki masjid ia menajamkan penglihatannya. Dalam berdiri, gadis menggunakan dress pendek ini hampir menitikkan air mata. Kedua tangannya menutupi mulut yang ternganga. Meleleh hati gadis tersebut mendapati kekasihnyalah seseorang yang berdakwah.
“Gadis di belakang sana.” Lelaki di mimbar dengan pengeras suara yang digenggam menunjuk tegas ke arah Arina. Membuat seluruh kepala berputar ke belakang. Mata Arina yang berembun tak berkedip. “Ya kamu. Duduklah. Bergabunglah disini dengan mendengarkan pemuda ini. Hangatkanlah hatimu. Ini tidak sehangat senja yang kau harapkan. Namun, di bulan suci inilah sesuatu yang menghangatkan hatimu lebih dari senja.” Kata-kata itu membuat seluruh jamaah takzim. Arina terduduk dengan kepala tertunduk. Ia amat malu.
Penampilannya yang begitu berbeda dengan jamaah lainnya. Ia malu memiliki kekasih yang sholeh sementara ia urakan. Ia malu telah memarahi Anwar dengan sejumlah kata-kata yang jelas-jelas Anwar lebih berpendidikan. Ia malu telah memilih senja daripada melihat kekasihnya berdakwah di masjid. Amat menyesal. Dan inilah sebab mengapa kekasihnya tak pernah ingin menyentuhnya. Ia tahu, sayang Anwar mungkin lebih besar darinya. Lelaki itu ingin yang terbaik untuknya. Bukan seperti Arina sendiri yang memberi pilihan buruk pada Anwar. (*/cerpenku/bua)