MALANG MBIEN
MALANG POSCO MEDIA- Kesenian Kota Malang memilki masa kejayaannya sejak tahun 1960-an dulu. Salah satunya dibuktikan dengan adanya Taman Indrokilo. Taman ini menjadi salah satu pusat kegiatan kesenian di Kota Malang di era 1960 hingga tahun 1980-an.
Tapi itu dulu. Kini Taman Indrokilo sudah tak berjejak lagi. Kini telah berganti wujud. Yakni menjadi perumahan mewah di kawasan Jalan Wilis, belakang Museum Brawijaya Kota Malang.
Taman Indrokilo masih segar dalam ingatan tokoh budaya Kota Malang Ki Djati Kusumo. Ia mengetahui betul kegiatan dan suasana Taman Indrokilo dahulu. Karena menjadi bagian dari meriah dan aktifnya kawasan taman kesenian di Kota Malang.
“Sudah sejak 1960-an ada. Indrokilo itu disebut seperti itu ada artinya. Artinya adalah sebuah kawasan di Lereng Gunung Arjuno. Kawasan yang dulunya menjadi tempat kaderisasi satria-satria sebagai tempat pendidikan,” cerita Ki Djati kepada Malang Posco Media, Jumat (29/3) kemarin.
Menurut pengalamannnya Taman Indrokilo dulunya memiliki sebuah tempat seperti sanggar dan aula. Di sana anak-anak, ibu-ibu beraktivitas seperti menari dan menyanyi. Khususnya saat akhir pekan atau waktu senggang sore hari.
Taman Indrokilo juga dijadikan warga sebagai tempat sarasehan (pertemuan). Yang kebanyakan membahas soal budaya khas Malang.
“Tapi sejak Wali kotanya Pak Soesamto, sudah berubah. Kawasan ini seperti tergusur karena perkembangan zaman. Jadi saya dan kawan-kawan seniman saat itu mengusulkan tempat lain, nah yang saat ini jadi Taman Krida (Taman Krida Budaya Jatim), itu lahan milik Provinsi (Pemprov Jatim). Dulu kami menghadap langsung ke Gubernur Jatim Bapak Soenandar Prijosoedarmo,” kenang Ki Djati.
Ia mengingat Taman Indrokilo memang selalu menjadi jujugan lokasi untuk warga berlatih kesenian budaya. Bahkan kerap dianggap sebagai sanggar kesenian.
Ki Djati menerangkan bahwa banyak peninggalan-peninggalan zaman dahulu yang kini sudah tidak ada lagi. Termasuk Taman Indrokilo. Hal ini sangat disayangkan, karena warga hingga pemerintah daerah tidak berhasil menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut.
“Saya sudah tidak tahu Taman Indrokilo yang dulu seperti apa, saya malas kesana. Banyak sebenarnya yang seperti ini seperti Gedung Cendrawasih (sekarang Gedung Kesenian Gajayana) itu juga kasian sekali. Semoga masih bisa dirawat,” kata Ki Djati.
Menurut penelurusan Malang Posco Media lainnya, Taman Indrokilo dulunya juga disebut sebagai Taman Tanaka. Karena dibangun sejak zaman perlawanan penjajahan Jepang di kisaran tahun 1940-an.
Di tengah-tengah taman tersebut terdapat sebuah danau lengkap dengan ikan seperti wader dan sepat. Lalu memasuki awal tahun 1970-an air di dalam danau tersebut mengering. Barulah pada tahun 1980-an, terbentuklah Lembaga Kesenian Indrokilo (LKI) yang merupakan tempat para seniman berkumpul dan berkarya bersama. Ini juga dijelaskan Pegiat Sejarah Kota Malang Tjahjana Indra Kusuma.
“Kalau asal usul nama Taman Tanaka ini masih perlu lihat petanya dulu ya. Yang jelas itu (Taman Indrokilo) bentuknya semacam bozem. Dan memang karena konturnya tinggi dibuat area berkesenian dengan taman-taman terbuka hijau. Bahkan tahun 1970-1980an Expo dan Pameran Pembangunan Malang diadakan di sana menyambut peringatan Kemerdekaan 17 Agustus.
Untuk penjelasan Bozem, Indra menyampaikan di Taman Indrokilo ada semacam penampungan air limpasan permukaan daerah sekitarnya (mirip telaga/danau kecil) yang menampung sementara. Agar air mudah surut lalu mengalir ke drainase sekitarnya.
Ditambahkannya, jika kemarau masih menyisakan air (di Taman Indrokilo), maka air akan dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau, sarana olahraga dan panggung terbuka semacam amphitheater.
“Kemudian taman ini ditukarguling untuk dijadikan perumahan yang notabene mengurangi luas tangkapan air serta mengubah tata alur air di wilayah sekitar. Wilayah Taman Indrokilo sebelum ada perumahan dikelilingi oleh Jalan Retawu-Jalan Simpang Wilis Indah-Jalan Wilis dengan area di barat museum Brawijaya sekarang,” pungkas Indra. (ica/van)